Latif Anshori Kurniawan

Praanggapan dalam Pragmatik

Diterbitkan pada dalam Blog.

Tugas perkuliahan kali ini adalah tentang salah satu subkajian pragmatik, yaitu tentang praanggapan. Berikut bagian latar belakang (terdapat rumusan masalahnya) dan kajian teori (meskipun tidak disertakan sumber referensi pada tulisan ini) dari tugas makalah yang dikerjakan secara kolaboratif bersama Arief Rahmawan, partner kelompok dalam pengerjaan tugas ini.

Latar Belakang
Pragmatik merupakan kajian bahasa yang mencakup tataran makrolinguistik. Hal ini berarti bahwa pragmatik mengkaji hubungan unsur-unsur bahasa yang dikaitkan dengan pemakai bahasa, tidak hanya pada aspek kebahasaan dalam lingkup ke dalam saja. Tataran pragmatik lebih tinggi cakupannya. Secara umum, pragmatik dapat diartikan sebagai kajian bahasa yang telah dikaitkan dengan konteks yang mendasari penjelasan pengertian bahasa dalam hubungannya dengan pengguna bahasa.

Pragmatik sebagai ilmu memiliki hubungan dengan ilmu-ilmu lain. Pragmatik terpola dan berkaitan dengan ilmu lain sehingga menelurkan beberapa kajian. Kajian dalam bidang pragmatik sangat beragam. Bidang kajian itu meliputi: variasi bahasa, tindak bahasa, implikatur, percakapan, teori deiksis, praanggapan, analisis wacana dan lain-lain. Bidang kajian tersebut memiliki lingkup kajian yang lebih sempit. Seluruh bidang kajian ini tentu berpokok pada penggunaan bahasa dalam konteks.

Sebagaimana lingkup bidang kajian pragmatik yang cukup luas ini, makalah singkat ini membahas tentang praanggapan sebagai bidang kajian dalam pragmatik. Praanggapan merupakan kajian yang cukup rumit dan banyak perselisihan pendapat di antara para ahli bahasa. Dari itulah perlu kajian untuk membedah praanggapan secara lebih lanjut berdasar teori atau pendapat para linguis.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

  1. Apakah praanggapan itu?
  2. Apa sajakah jenis-jenis praanggapan itu?

Kajian Teori
Nababan (1987: 46), memberikan pengertian praanggapan sebagai dasar atau penyimpulan dasar mengenai konteks dan situasi berbahasa (menggunakan bahasa) yang membuat bentuk bahasa (kalimat atau ungkapan) mempunyai makna bagi pendengar atau penerima bahasa itu dan sebaliknya, membantu pembicara menentukan bentuk-bentuk bahasa yang dapat dipakainya untuk mengungkapkan makna atau pesan yang dimaksud. Sejalan dengan hal tersebut, Levinson (dalam Nababan, 1987: 48) juga memberikan konsep praanggapan yang disejajarkan maknanya dengan presupposition sebagai suatu macam anggapan atau pengetahuan latar belakang yang membuat suatu tindakan, teori, atau ungkapan mempunyai makna.

Selanjutnya, pendapat lain dikemukakan oleh Louise Cummings (1999: 42) bahwa praanggapan adalah asumsi-asumsi atau inferensi-inferensi yang tersirat dalam ungkapan-ungkapan linguistik tertentu. Menambahkan pendapat Levinson yang dikutip oleh Louise Cummings (1999: 52), pengertian praanggapan secara teknis dibatasi pada inferensi-inferensi pragmatik tertentu atau asumsi-asumsi yang tampaknya sekurang-kurangnya dibangun dalam ungkapan-ungkapan linguistik dan yang dapat dipisahkan dengan menggunakan tes-tes linguistik khusus (khususnya, secara tradisional, keteguhan di bawah penegasian…. Kridalaksana (dalam Sarwidji, dkk. 1996: 40) memberi batasan praanggapan sebagai syarat yang diperlukan bagi benar tidaknya suatu kalimat.

Dari beberapa pendapat ahli di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa presupposition yang dalam bahasa Indonesia berarti praanggapan dimaknai secara berbeda dari tiap-tiap ahli bahasa. Namun demikian, dapat dilihat bahwa para ahli menampilkan beberapa kesamaan sudut pandang. Dari sekian pendapat yang ada, penulis cenderung pada pendapat yang dikemukakan oleh Louise Cummings karena lebih sederhana dan mudah dipahami, namun sudah menyeluruh. Dengan bahasa sendiri, penulis pun dapat menyimpulkan berbagai pendapat tersebut bahwa praanggapan merupakan anggapan awal yang secara tersirat dimiliki oleh sebuah ungkapan kebahasaan sebagai bentuk respon awal pendengar dalam menghadapi ungkapan kebahasaan tersebut.

Setelah mengetahui pengertian praanggapan menurut beberapa ahli seperti yang telah dikemukakan di atas, penulis berusaha memaparkan jenis-jenis praanggapan menurut beberapa ahli bahasa. Menurut Nababan (1987: 60), mula-mula pengkajian praanggapan dikerjakan oleh ahli-ahli falsafah dengan pendekatan semantik. Belakangan ini, linguis dan ahli antropologi/sosiologi dan psikologi mengkaji praanggapan ini dengan pendekatan pragmatik.

Pendapat senada diungkapkan oleh Louise Cummings (1999: 42) bahwa memang ciri-ciri praanggapan itu sendirilah yang telah menyebabkan pokok permasalahan ini diteliti baik dilihat dari perspektif semantik maupun perspektif pragmatik. Selanjutnya, Marmaridou dalam Louise Cummings (1999: 52) mengatakan bahwa perlakuan pragmatik didasarkan pada ketidakcukupan semantik yang bergantung pada kebenaran untuk menerangkan banyak fenomena praanggapan. Adapun Sarwidji, dkk. (1996: 51a) mengungkapkan hal yang sama. Praanggapan dibagi menjadi dua jenis, yaitu praanggapan semantik dan praanggapan pragmatik. Praanggapan semantik adalah praanggapan yang dihasilkan oleh pengetahuan leksikon, sedangkan praanggapan pragmatik adalah praanggapan yang ditentukan oleh konteks kalimat atau percakapan.

Dari beberapa pendapat di atas, tampak jelas bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan terhadap pendapat para ahli bahasa tersebut tentang jenis-jenis praanggapan. Hanya mungkin terdapat perbedaan istilah saja. Penulis dapat mengambil simpulan bahwa jenis praanggapan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu praanggapan yang ditinjau dari segi semantik dan praanggapan yang ditinjau dari segi pragmatik. Perbedaan ini disebabkan sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Marmaridou (dalam Louise Cummings, 1999: 52) di atas. Pada awalnya, praanggapan dikaji berdasarkan ilmu semantik, jadi hanya berkutat pada makna leksikal dan gramatikal saja. Namun, praanggapan semantik kurang dapat menjelaskan pada aspek tertentu sehingga muncul pendapat baru ahli bahasa yaitu praanggapan pragmatik yang telah mengaitkan aspek konteks bahasa di dalam ujaran atau kalimat tersebut.

Demikian sebagian penggalan atau scrap dari tugas makalah yang telah dikumpulkan dan telah memperoleh tanggapan positif dari dosen pengampu perkuliahan. Sekalipun hanya secuil hal dan tidak disebutkan sumber referensi, setidaknya ada sedikit gambaran bagaimana konsep praanggapan dalam pragmatik. Semoga dapat dimanfaatkan dengan semestinya.