Roesli Lahani Yunus
Diterbitkan pada dalam Blog.
Saya suka sekali menulis. Insya Allah. Tunggu, barangkali ini masih sekadar pengakuan yang belum saya ikhtiari, ya. Masih belum memiliki tulisan yang banyak. Ini baru dari sisi kuantitas, belum dari kualitas, tulisan saya masih sangat jauh dari teman-teman seangkatan studi saya di Prodi PBSI FKIP UNS Surakarta.
Ada keinginan untuk terus menulis, terutama dengan dalih lantaran ingin berbagi bagi sebanyak mungkin orang. Setidaknya, apabila belum dapat produktif dalam menulis, saya terinspirasi dari orang-orang, terutama para ustaz, yang tak pernah letih untuk menulis meskipun usia mereka sudah tidak muda lagi. Salah satunya ialah Pak Roesli Lahani Yunus.
Tidak sengaja mendapati tulisan perihal beliau pada salah satu majalah populer wanita. Di sini, saya ketik ulang dari artikel majalah teman saya tersebut. Barangkali, hasrat dan semangat menulis Pak Roesli ini dapat kita inspirasi sehingga, atas Izin-Nya, memotivasi kita untuk terus menulis. Berikut kisah beliau.
Roesli Lahani Yunus: Menulis Tak Kenal Henti
oleh: Asmawati / Laporan Mutia P, Bandung
Banyak orang dapat menulis. Bahkan ada yang setiap hari menggeluti tulis-menulis karena bekerja di media massa. Namun, hal itu bukan jaminan tulisannya dapat dimuat dengan mudah di berbagai media. Roesli Lahani Yunus membuktikan kemampuannya menulis, sekaligus produktivitasnya dengan dimuatnya berbagai tulisannya pada sekitar 93 media massa, termasuk majalah Ummi.
Nama Roesli Lahani Yunus, mungkin, tidak terlalu banyak orang tahu, padahal ia telah malang melintang puluhan tahun di dunia pers. Mungkin, lantaran pria kelahiran Kumango, Batu Sangkar, Sumatra Barat, 17 Oktober 1931, ini memilih Bandung sebagai tempat tinggal, sekaligus tempat mengembangkan karirnya. Menurut pengakuannya, seorang temannya pernah menyarankan pindah bekerja ke Jakarta untuk kemajuan karirnya, namun ia menolak. “Hawanya panas. Saya sudah betah di Bandung,” tuturnya ringan. Tidak terhitung tulisannya yang pernah dimuat di berbagai media. Beberapa bukunya pun telah beredar, baik yang diterbitkannya sendiri maupun oleh penerbitan lainnya. Sebut saja, buku Kebahagiaan Hidup (1960), Antologi Puisi Nusantara I (1980), Kesehatan dalam Rumah Tangga Islam (1990), Kiat Jadi Penulis dan Wartawan (1999), dan beberapa buku lainnya. Namun, karena menulis sudah menjadi jiwanya, ia tidak berhenti menulis. Ia masih produktif di usianya yang sudah 71 tahun.
Bekerja dan Menulis Lepas
Selepas sekolah menengah di kampung halamannya, sekitar akhir 1950, Roesli merantau ke Bandung untuk melanjutkan sekolahnya. “Ingin meluaskan pengetahuan, selain juga ingin membiayai diri sendiri. Sudah diperhitungkan kalau orang tua tidak akan mampu membiayai,” jelas sulung dari 11 bersaudara, pasangan Lahani dan Noerkiah (keduanya telah wafat, — blogger). Memulai hidup mandiri di kota Kembang, Roesli mengikuti bermacam-macam kursus. Karena ketertarikannya pada tulis-menulis, kursus-kursus yang diikutinya tidak jauh berkisar dari masalah kepenulisan, semisal kursus jurnalistik.Dunia tulis menulis memang menjadi minatnya sejak kecil, meskipun tidak dapat dikatakan sebagai cita-citanya. Minatnya muncul karena sejak kecil ia terbiasa banyak membaca. Orang tuanya sering kali membelikan banyak buku. “Waktu itu, saya banyak membaca buku terbitan Bala Pustaka,” kenangnya. Karena kegemarannya membaca, ia yakin dapat menulis seperti penulis buku-buku yang dibacanya. “Kalau yang lain bisa menulis, maka saya pun pasti bisa,” tekadnya ketika itu. Maka, sejak tahun 1948, ia memberanikan diri menulis. “Waktu itu, yang saya tulis adalah puisi,” katanya lagi. Namun, puisinya hanya disimpan sendiri. Saat itu, ia belum berani mengirimkan karyanya ke media massa.
Menyadari minat dan bakatnya, mulai tahun 1952, Roesli akhirnya bekerja di Harian Indonesia sebagai korektor. Koran ini boleh dikatakan saudara kandung dari koran berbahasa Sunda, Sipatahunan. Mengenang bentuk koran itu, Roesli menjelaskan bahwa koran itu hanya terdiri atas satu lembar kertas dengan empat halamannya. Cara mencetaknya masih manual dengan menyusun huruf satu demi satu di papan cetak. Roesli tidak lama bekerja di koran ini lantaran perusahaan gulung tikar. Tidak sampai mengganggur, pekerjaan di sebuah percetakan pun segera diperolehnya. Dalam tahun-tahun inilah, tepatnya 1955, ia menikahi Noerdana di kampung halamannya. “Saya dojodohkan,” komentar Roesli tentang istrinya. Beberapa hari di kampung, ia kembali lagi ke Bandung. Walaupun telah berkeluarga, Roesli tetap berusaha menambah pengatahuannya tentang kepenulisan. Ia menyempatkan diri untuk melanjutkan sekolah di Akademi Penerangan. “Saya kuliah itu sudah punya anak enam,” ujarnya.
Koran Pedoman adalah tempat kerja berikutnya. Dua tahun di sana, koran di-bredel. Roesli kembali pindah kerja ke Bandung Pos sampai tahun 1985. “Yang perlu diingat,” katanya, “saya tak pernah bikin surat lamaran.” Ketika ia diterima bekerja di media, itu lantaran mereka mengenalnya lewat berbagai tulisan yang ia kirimkan ke sana. “Sudah, jadi wartawan di sini saja,” tiru Roesli tentang proses penerimaannya sebagai wartawan di media tersebut. Setelah berhenti dari Bandung Pos, Roesli memantapkan diri sebagai penulis lepas di berbagai media, meneruskan kegiatan menulisnya seperti biasa. Ia tidak bekerja di media tertentu. “Ini juga pengaruh usia. Jadi, kalau menulis (lepas, – red. Ummi), ‘kan, tidak hanya di kantor. Di rumah, juga bisa,” katanya memberi alasan.
Sebenarnya, selama masih aktif bekerja di berbagai perusahaan penerbitan pun, ia telah aktif mengirimkan tulisan-tulisan itu ke berbagai media dan tentunya, dimuat. Keberhasilannya menulis tidak hanya di media tempatnya bekerja, pernah jadi masalah di antara kawan-kawan sekerjanya. Mereka mempermasalahkan namanya yang tersebar ke berbagai media. Setelah ditengahi, pihak pimpinan mengizinkan semua staf redaksinya mengirimkan tulisan ke media lain. Namun, setelah beberapa bulan, memang tidak ada yang mampu menembus media lain, kecuali Roesli sendiri.
Mulai Mengkliping
Dalam menulis, Roesli tidak mengkhususkan diri pada bidang tertentu. Berbagai jenis tulisannya seperti cerita pendek, kesehatan, agama, lingkungan hidup, dan jurnalistik tersebar di Pikiran Rakyat, Sinar Harapan, Kompas, Panji Masyarakat, dan banyak lagi. Menurutnya, dengan artikel kesehatan, ia terpacu untuk menjaga kesehata diri, selain juga memberi pengetahuan pada pembacanya. Untuk artikel agama, tidak lain sebagai sarana menyebarkan ilmu dan pemahaman agamanya. Dari berbagai tulisan, Roesli mengakui paling suka ketika menulis agama dan jurnalistik. “Mungki karena sudah ada jiwa saya di pers, maka saya suka menulis tentang jurnalistik,” katanya.Soal ide, dapat diperoleh dari mana saja. Namun, utamanya, Roesli mendapatkan ide menulis dari membaca. “Orang yang tidak banyak membaca, tidak akan bisa menulis,” ujarnya pasti. Setiap hari, paling tidak Roesli menyempatkan waktu khusus, minimal sekitar satu jam, untuk membaca. Dulu, ia sangat suka membaca buku-buku sastra, buku-buku pers, dan lain-lain. “Kalau sekarang, saya banyak membaca koran saja,” tambahnya.
Untuk urusan koran, dulu, ketika harganya masih murah, ia dapat membeli sampai tujuh macam koran. Namun, sekarang, tidak banyak lagi yang dibelinya. “Paling banyak tiga atau empat,” imbuhnya. Dan, koran yang dibelinya setiap hari, dari tahun ke tahun, menghasilkan tumpukan koran-koran bekas di rumahnya yang sempit. Ini menjadi masalah tersendiri, terutama bagi keluarganya. Jalan paling mudah menyingkirkannya tentulah dengan menjual koran-koran bekas itu. Namun, hal itu tidak dilakukan Roesli. Selain karena harga koran bekas sangat murah, ia juga sayang kalau artike-artikel berharga dalam koran terbuang percuma atau sekedar menjadi kertas pembungkus. Sewaktu-waktu, ia juga membutuhkan artikel itu sebagai bahan tulisannya. Daripada membuang atau menjualnya, maka Roesli menyempatkan diri membuat kliping artikel dari koran bekas tersebut. Sebelumnya, ia juga selalu mengkliping tulisan-tulisannya yang dimuat di berbagai media.
Dalam membuat kliping, ia membutuhkan teknik sendiri, bukan sekadar menempelkan guntingan koran ke atas kertas. Diperlukan juga kesabaran dan ketelitian agar kumpulan artikel ini nantinya tersusun baik dan enak dibaca. Itulah yang dilakukan Roesli dengan koran-koran bekasnya.
Hasil klipingnya ini ternyata diminati banyak orang. Beberapa kali ia mengadakan pameran hasil klipingnya, terutama kliping tulisannya, mulai tahun 1989 sampai tahun 1993. Setelah itu, ia tidak ikut pameran lagi karena tidak ada yang mensponsorinya.
Hidup Sederhana
Di negeri ini, honor menulis tidak dapat menjamin kehidupam seorang penulis. Roesli bercerita, suatu kali ada seseorang yang menanyakan berapa honor yang diterima dalam satu kali pemuatan artikelnya di salah satu koran di Bandung. Ketika Roesli menjawab honornya hanya Rp100.000,00, sang penanya langsung menukas bahwa jumlah itu tidak mencukupi kebutuhan hidupnya.Menurut Roesli, bila hanya mengandalkan satu tulisan saja, mana mungkin cukup. “Kita harus produktif. Kalau dia produktif, tentu cukup,” kara Roesli. Produktif, berarti rajin membuat tulisan yang akan dikirim ke banyak media. Kesempatan dimuat semakin besar bila jenis tulisan yang dibuat pun banyak ragamnya, dari cerpen sampai soal teknologi, misalnya.
Inilah yang dilakukan Roesli. Lantara produktivitasnya, masalah ekonomi rumahtangga sedikit banyak teratasi. “Boleh dikatakan, anak-anak sekolah, ya dari hasil tulisan saya,” imbuh Roesli sembari menambahkan bahwa empat dari delapan (tiga laki-laki dan lima perempuan) anaknya berhasil sekolah sampai perguruan tinggi.
Bagi Roesli dan keluarga, kehidupan mereka memang terhitung sederhana. Sampai saat ini, rumah yang ditempatinya di Jalan Pamarset 90/22B, Bandung, masih berstatus rumah sewa. Rumah panggung sederhana, berbilik bambu dan berlantai kayu ini disewanya sejak tahun 1952 dengan harga Rp17,00 per bulan sampai sekarang Rp105.000,00 per bulan. Anak-anaknya, terutama yang telah memiliki rumah sendiri, seringkali mengajaknya tinggal bersama mereka. Namun, Roesli dan istri lebih suka tinggal di rumah sewanya.
Untuk menambah pemasukan keluarganya, Roesli pernah berjualan koran keliling kampung. Mulanya hanya ingin coba-coba saja. Namun, karena untungnya lumayan besar, usaha berjualan koran ini dilakoninya sampai satu tahunan, meskipun sempat malu dan gengsi juga. “Jadi, sekarang itu tidak ada gengsi-gengsi,” ujar kakek 18 cucu ini.
Baginya, urusan gengsi memang tidak terlalu dipikirkan. Sampai saat ini pun, ia masih rajin memasarkan sendiri kliping yang dibuatnya atau buku yang ditulisnya. Biasanya, Roesli mangkal di emperan masjid, seperti Masjid PUSDAI, Bandung, atau Masjid Sunda Kelapa, Jakarta. Daerah kampus juga menjadi daerah pemasarannya. Ia juga rajin menitipkan buku-bukunya di toko-toko buku di Bandung dan Jakarta. “Masalahnya, saya belum mampu untuk membayar orang lain memasarkannya, jadi saya yang memasarkannya,” jelas Roesli.
Dengan segala kegiatannya, Roesli merasa masih banyak memiliki waktu luang. Ia pun membuat kegiatan lain. Pada tahun 1990, ia mendirikan Balai Pendidikan Jurnalistik (BPJ), berpusat dirumahnya. BPJ ini adalah semacam kursus menulis jarak jauh. Balai ini didirikan karena keprihatinannya pada minat baca bangsa Indonesia yang terhitung rendah. Padahal, tanpa membaca, orang tidak dapat menulis. Kata Roesli, tidak heran bila jumlah penulis di sini tidak terlalu banyak. “Dapat dikatakan yang menulis di koran, orangnya itu-itu juga. Tida banyak pertambahannya.”
Kehadiran BPJ mendapat sambutan hangat. Roesli mencatat, ada 584 orang dari seluruh Indonesia yang telah mengikuti bimbingannya. Sementara, jumlah peminat yang cuma sekadar bertanya tentang kepenulisan ada 8.150 orang. Roesli memang mencatat dan mengelompokkan rapi setiap surat yang datang.
Dalam perkembangannya, Roesli tidan hanya mengadakan bimbingan menulis lewat surat menyurat saja. Kursus tatap muka pun diadakannya karena permintaan dari para peminatnya.
Bagi Roesli, BPJ seolah menjadi sarana baginya untuk mewariskan ilmunya pada anak didiknya di seluruh Indonesia. Namun, ia juga mengingatkan bahwa keinginan untuk menjadi penulis bukan lantara keinginan mendapatkan honor belaka. Jangan sampai penulis terjerumus menuliskan sesuatu yang sia-sia hanya karena honor. “Hendaklah, yang ditulis itu benar-benar berguna bagi pembacanya,” pesan Roesli mengakhiri wawancara.
(Sumber: Majalah Ummi edisi 7/XIV/2002, halaman 6-7 dan 40)
Keren, bukan? Alhamdulillah, para ustaz juga menghasung kita untuk menulis sesuai bidang kita, semampu kita, dan hanya dengan mengharap Rida-Nya semata. Menulis, yuk!