Latif Anshori Kurniawan

Skripsi

Diterbitkan pada dalam Blog.

Bagi sebagian mahasiswa semester akhir pada jenjang strata satu di sebuah perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, saat mendengar kata skripsi seperti mendengar guntur, padahal cuaca sesungguhnya sangat cerah. Ya, pada umumnya, mereka terlambat menempuh kelulusan dengan dalih terhambat skripsi yang tidak kunjung selesai. Skripsi kerap menjadi momok bagi mahasiswa angkatan tua. Entah pelbagai alasan yang mereka sampaikan berkait dengan kenapa mereka tidak segera lulus (tidak secepatnya menyelesaikan skripsi). Alasan-alasan mereka cenderung variatif. Ada yang tergadaikannya (terbengkalainya) skripsi mereka disebabkan kesibukan di dalam pekerjaan yang mereka geluti ketika masih mengambil kuliah di kelas. Bagi sebagian mahasiswi yang sudah menikah, dalih sibuk mengasuh anak merupakan hal yang sering disampaikan. Atau, bahkan, ada yang memang benar-benar malas mengerjakannya, padahal diketahui bahwa ia sudah tidak lagi mengambil kuliah di kelas

Lalu, apa yang dikerjakan di kampus, duduk-duduk di kantin, menggoda adik-adik tingkat, atau sekadar jalan-jalan menghabiskan waktu dan uang yang diberikan orang tua?

Setelah ditelusuri dan dikonfirmasikan kepada beberapa pihak yang bersangkutan, banyak di antara mereka memberikan alasan tertundanya skripsi disebabkan rasa malas saja, bukan karena sudah bekerja dan sangat sibuk sehingga tidak dapat mengelola (mengalokasikan) waktu untuk mengerjakan skripsi, tidak pula dalih sudah berkeluarga.

Malas
Malas memang sebuah penyakit, dan itu sangat sulit untuk disembuhkan jika sudah berakar di dalam tubuh dan bersifat kronis. Entah dengan terapi macam apa pun jika yang ingin disembuhkan tidak bersedia diobati, sia-sialah threatment yang dilakukan. Ya, rasa malas bisa diobati secara internal (faktor dari dalam individu). Faktor dari luar (eksternal) pun sebenarnya bisa menyembuhkan rasa malas, tetapi tidak terlalu efektif jika tidak dibersamai faktor dari dalam.

Mahasiswa Takut Dosen
Selain rasa malas, ada yang unik dari sebagian lainnya lagi berkenaan dengan sebab menunda menyelesaikan skripsi, yaitu takut bertemu dosen, terutama dosen pembimbing skripsi. Walah. Bukankah dosen juga manusia biasa..!? Kenapa harus ditakuti, sih..!? Memang benar dosen yang, pada umumnya, usianya lebih tua daripada mahasiswa hendaknya dihormati atau disegani, tetapi bukan ditakuti. Ada yang beralasan dengan nada lain, tetapi sejatinya sama hakikat, yakni malu bertemu dosen karena sudah lama tidak konsultasi skripsi sebab khawatir ditanyai macam-macam karena tidak memiliki alasan yang dapat meyakinkan (*atau memang tidak punya alasan?).

Rasa malas, malu, atau rasa-rasa lainnya sejatinya boleh-boleh saja, dan hal itu wajar karena memang manusia memiliki sifat-sifat seperti itu. Akan tetapi, harus empan papan (bahasa Jawa: menempatkan sesuai tempatnya). Kalau berbagai rasa negatif(?) itu terus dibiarkan menggejala di dalam diri mahasiswa semester akhir yang menyebabkan tertundanya skripsi mereka, masa penundaan itu tidak akan pernah berakhir, kecuali ada inisiatif mandiri dari mahasiswa tersebut untuk memusnahkan rasa-rasa itu.

Jalan Pintas
Syukur, rasa-rasa negatif, seperti rasa malas, malu, takut dosen, dan lain-lain, telah hilang, dan mahasiswa berkeinginan kuat untuk secepatnya menyelesaikan skripsinya. Akan tetapi, penyelesainnya dengan cara keren, yaitu plagiasi (menjiplak secara brutal punya orang lain tanpa seizin empunya). Hal negatif diganti dengan hal negatif yang lain. Jalan pintas memang sudah identik dengan kita, bangsa Indonesia. Akan tetapi, saya yakin tidak semua warga negara Indonesia setuju dengan pengidentikan ini. Ya, tidak semua orang Indonesia gemar mengambil jalan pintas. Mungkin hanya pada umumnya, tidak semuanya.

Plagiasi merupakan salah satu jalan pintas seorang mahasiswa akhir yang ingin secepat mungkin menyelesaikan skripsinya. Plagiasi merupakan sikap tidak bertanggung jawab seseorang karena kehebatan ilmiah orang lain diakui sebagai karyanya sendiri. Tinggal salin-tempel, atau diubah yang kira-kira mengkhawatirkan, seperti identitas karya (tahun disusunnya, nama penyusun aslinya, dan sebagainya).

Selesaikan Tanpa Membuat Masalah
Bagi mahasiswa tua, untuk menyelesaikan skripsi memang membutuhkan kerja ekstra keras. Akan tetapi, hal itu bisa dinikmati asal dibersamai dengan ikhlas, sabar, dan ketekunan yang tinggi. Tanamkan dalam diri bahwa harus menyelesaikan skripsi secepat mungkin. Kasihan orang tua di kampung halaman yang bersusah payah mencari nafkah sekadar untuk membiayai kuliah kita sekian waktu lamanya, uang-uang hasil keringat mereka kita buang percuma dengan menghabiskan waktu tidak ada arti di kampus. Oh, kalau begitu cari uang saja agar bisa membiayai kuliah sendiri..!? Silakan jika hal itu menurut kalian adalah tanggapan yang terbaik. Akan tetapi, apakah dapat dipastikan kalian bisa mengelola dan menyeimbangkan antara mengumpulkan pundi-pundi dan secepatnya menyelesaikan skripsi..!? Tidak ada yang dapat memastikannya, atau malah, pada umumnya, terjatuh pada semakin (bertambah) lamanya waktu studi di perguruan tinggi pilihan yang dipilih saat masih merasakan sisa kehangatan merayakan kelulusan dari sekolah menengah atas.

“Masuknya saja, susah. Apalagi keluarnya,” begitu mungkin kelakar asal (tidak ada alasan yang dapat dijadikan alasan) sebagian mahasiswa tua menanggapi pertanyaan yang memojokkan kenapa tidak segera lulus. Baik, tidak mengapa asal segera selesaikan skripsinya, ya…!