Nasihat bagi yang Baru Menuntut Ilmu
Diterbitkan pada dalam Blog.
Bismillah.
Menuntut ilmu (agama) adalah wajib hukumnya bagi setiap muslim. Dengan bekal ilmu, kita dapat membedakan mana yang baik dan buruk bagi kesehatan jiwa kita. Tanpa pengetahuan ihwal syariat agama ini, sudah barang pasti tunggulah keruntuhan dan/ atau kerapuhan jiwa. Bahkan, katakanlah, sudah dirasa berilmu saja, masih perlu pembinaan lebih lanjut di sana-sini. Puncak tertinggi keilmuan adalah memeroleh rahmat dan ridha Allah Tabaraka wa Ta’ala, yang balasan itu merupakan jawaban dari topangan ilmu yang lurus dengan pengamalannya yang sempurna (walaupun tidak mudah, bismillah saja, berupaya dengan penuh kesungguhan: setelah memetik buah ilmu yang baik, amalkan ilmu itu).
Dalam menempuh jalur-jalur yang dapat mendatangkan pengetahuan ihwal ilmu agama di majelis-majelis ilmu, tentu tidak lepas dari beberapa adab yang harus diperhatikan, terutama bagi yang baru saja mengaji. Pada kesempatan ini, saya tidak membahas ihwal ada-adabnya di dalam majelis, tetapi sebatas apa-apa yang perlu diperhatikan bagi penuntut ilmu baru, yang sering saya dapati, bahkan yang pernah saya alami/ perbuat sendiri. Setelah direnungi lebih mendalam, ternyata perlu dibenahi, yang seolah sebelumnya dianggap tidak masalah. Hal ini sekaligus menjadi bumerang bagi saya pribadi yang masih fakir ilmu dan mengharap ilmu dari-Nya.
Luruskan Niat
Sudah hadiri majelis ilmu berapa kali dan di mana saja? Masih dirasa sangat sedikit, ya..!? Terlepas dari itu, sudah mendapati lurusan niat, belum, ketika memulainya? Mengapa berkenan menghadiri majelis ilmu, untuk apa, dan siapa, seharusnya sudah bukan merupakan pertanyaan yang membingungkan untuk ditanggapi.
Tidak hanya dalam mencari ilmu-Nya, lurusan niat yang baik akan mengantarkan kita kepada kebaikan-kebaikan-Nya pula. Seringkali, dapat dilihat, kok, mana-mana/ sesiapa yang sungguh-sungguh ingin mengais ilmu (tidak hanya membawa badan saja, tetapi juga alat pencatat; jika berlebih, ada pengikat-gandanya berupa alat perekam dan yang semisalnya), sekadar ikut-ikutan (mumpung ada teman-teman; jika tidak ada temannya, mana mau datang), atau hanya daripada menganggur tidak ada kerjaan (kemudian, sebabkan ia, ketika beranjak dari majelis ilmu, tidak ada ilmu yang terbawa sedikit pun—astaghfirullah).
Memang tidak mudah di awal ketika mencoba menuntut ilmu. Akan tetapi, hal itu dapat diupayakan, kok, lurusan niatnya. Perlu sedikit ‘dipaksa’ agar niat benar-benar lurus dan menjadi berbiasa. Bismillah, seiring berjalannya waktu, berbiasa dengan niatan yang baik akan mengantarkan kita kepada karunia perolehan ilmu yang baik dari-Nya pula.
Pengikat Ilmu
Namanya juga manusia. Tidak begitu saja mengingat semua hal dengan mudahnya. Sangat perlu adanya pengikat apa-apa yang kita dapat di majelis-majelis ilmu. Pengikat ilmu itu dapat berupa apa saja, seperti: alat-alat tulis (pensil atau pena beserta buku catatan kecil atau beberapa lembar kertas), alat perekam (jamak didapati ponsel kekinian dapat merekam format audio), dan sebagainya, yang dapat dijangkau dan kiranya tidak memberatkan.
Setidaknya, jika kita mencatat materi ilmu yang telah disajikan oleh para ustadz, kita dapat mengulang-ulanginya pada lain kesempatan. Tepat sekali, ilmu sangat perlu untuk senantiasa diulang-ulang kembali. Tidak hanya agar terpatri di pikiran sehingga menghafalnya, sedikitnya pembiasaan agar mengulang-ulang ilmu yang telah didapat. Biasanya, kebiasaan mengulang-ulang ini akan memunculkan hasrat untuk mencari penguatan ilmu yang seragam di lain majelis atau ditanyakan langsung pendalaman pemahamannya kepada para ustadz se-manhaj lainnya. Insya Allah, hasilnya luar biasa diperkenankan-Nya.
Hindari Perdebatan
Ketika baru ngaji, kerapkali didapati perbedaan-perbedaan pemahaman keilmuan. Akan tetapi, perbedaan itu janganlah menjadikan kita terpancing untuk menghakimi, “Oh, itu salah, seharusnya begini, begitu, yeah.” Tunggu dulu, apa yang menurut hemat kita itu berbeda, bisa jadi memang ada ilmu atau dalilnya, sedangkan kita baru mengetahui sedikit. Bisa jadi, mitra tutur kita itu memiliki khazanah keilmuan yang lebih daripada kita. Malah, kita peroleh ilmu tambahan baru darinya. Barangkali, ilmu itu sekadar disampaikannya, tetapi sempat terlintas pula, tidak, bisa jadi Allah Ta’ala sedang menitipkan ilmu-Nya kepada orang itu untuk disampaikan kepada kita. Indah, bukan..!?
Apalagi beberapa kesalahan yang tampak kecil, seperti penyebutan istilah yang belum tepat, perbedaan pandangan ihwal gerakan-gerakan shalat, mendapati orang yang menguap sembarangan, ternyata ada teman yang berbiasa makan dan minum sambil berdiri dan dengan tangan kiri, serta sebagainya. Ketika mendapati hal-hal itu, hendaknya jangan langsung menghakimi. Perlu di-tabayyun-kan (cek-ricek).
Hindari penyampaian langsung di tempat umum. Bisa jadi, ia akan malah tersungging dan timbulah perdebatan sesama saudara Muslim. Inilah yang perlu kita hindari dan sudah jamak teladan nasihat dari para pendahulu kita sejak dahulu (para salafush-shalih). Barangkali, dapat dipantik dengan beberapa hal yang dapat melahirkan responsnya sebab bisa jadi pula hal-hal yang menurut kita kurang pener itu memang tidak diketahuinya (ilmu itu belum sampai kepadanya). Perlu ditinjau kembali.
Alangkah eloknya jika kita mericeknya secara empat mata (bersemuka secara pribadi) atau melalui perpesanan sendiri. Tentu, tetap tanpa menanggalkan kelemahlembutan dan kesantunan penyampaian.
Kurangi Maksiat
Sudah peroleh ilmunya, kemudian masih saja bermaksiat kepada-Nya..!? Inilah yang menjadi pekerjaan rumah terbesar saya pribadi. Atas sebab ke-jahilan saya, masih sering berasa blur di mata saya batasan-batasan antara bermaksiat dan biasa-biasa saja. Kadangkala, menurut kita biasa-biasa saja, tetapi menurut Allah Ta’ala bisa jadi membuat-Nya murka.
Setidaknya, kita berupaya semaksimal mungkin meminimalisasi jiwa kita dengan mengurangi maksiat. Maksiat bisa datang dari mana saja. Apalagi, pergaulan bebas di tempat-tempat umum pada dewasa ini. Akan tetapi, sedikit dapat kita upayakan untuk mengurangi maksiat adalah dengan menyibukkan diri dengan hal-hal yang bermanfaat (tentunya, masing-masing kita memiliki skala prioritas apa yang perlu segera diselesaikan terlebih dulu, bukan?).
Bisa tidak mengurangi kontak dengan lawan jenis nonmahram..!? Kalau perlu, tidak sama sekali. Inilah yang masih menjadi ganjalan berat saya. Apalagi, dalam ranah pergaulan kami yang sarat akan ikhtilat (bercampur baur antara pria dan wanita). Walaupun demikian, minimalnya, saya sudah berusaha untuk tidak melakukan kontak fisik dengan mereka (lawan jenis) dan sebisa mungkin menghindari zina mata dan hati. Jika dirasa hati ada kencenderungan memikirkan terlalu dalam, bersegera mengalihkannya dengan aktivitas, istighfar, atau sekuat tenaga tidak mengindahkannya. Alhamdulillah, saya termasuk yang easy going, tidak berberat pikir ihwal-ihwal lawan jenis. Akan tetapi, sebenarnya itu-itu saja belum mencukupi membetengi diri kita. Yah, saya masih biasa-biasa saja, mohon doanya agar kita menjadi pribadi yang lebih baik. Amin.
Demikian dulu beberapa hal sedikit berkait dengan poin-poin sesama penuntut ilmu seperti saya. Bukan maksud melarang atau bagaimana, melainkan sekadar mengingatkan sesama penuntut ilmu. Jika memang saya keliru, mohon dengan sangat koreksinya, yap.
Barangkali, ada masukan atau tambahan berkait dengan topik ini..!? Saya tunggu tanggapan Anda.
Semoga bermanfaat.
Salam hangat,
Latif Anshori Kurniawan