Latif Anshori Kurniawan

Belajar Bahasa (Indonesia) Kepewaraan

Diterbitkan pada dalam Blog.

Gugup, panik, dan cemas adalah hal-hal yang teramat lekat pada saya beberapa tahun lalu sebelum menjadi mahasiswa jurusan bahasa Indonesia. Tidak sering bertemu dengan banyak orang membuat saya tidak jarang terbata-bata ketika berbicara lisan, lebih-lebih di depan umum atau di panggung. Pepatah terdahulu pernah mengatakan: bisa karena biasa. Alhamdulillah, di jurusan atau program studi yang saya tempuh, mengajarkan banyak hal perihal itu semua sehingga sekarang agak berbeda bagaimana berbicara di depan khalayak ramai.

Grogi adalah sesuatu hal yang lumrah. Hal ini pun masih sering didapati pada orang yang pekerjaan hariannya menuntutnya berbicara di depan banyak orang sekalipun. Ada yang mengatakan, bahkan seorang pewara (master of ceremony, MC) profesional sekalipun belum tentu dapat mengatasi permasalahan kegrogian yang dialami. Alhamdulillah, tiap individu adalah unik, dan masing-masing memiliki cara untuk meredam rasa dagdigdug-an itu.

Ada kala bidang kepewaraan adalah bukan tujuan final dari banyak orang. Dengan kata lain, menjadi pewara tidak selalu berkait dengan karier. Namun, tidak dapat dimungkiri bahwa profesi menjadi pewara adalah pekerjaan yang amat menarik, tidak jarang menggiurkan, dan tentu saja tidak ada kata tidak letih ketika menjalaninya. Di sini, pada tulisan ini, saya tidak sedang memantik Anda untuk menjadi pewara, tetapi hanya mengetengahkan apa saja hal yang menghiasi pewara ketika mewarakan sesuatu.

Tulisan ini pun bukan bermaksud memandu pembaca bagaimana menjadi pewara ideal. Tidak sama sekali. Namun, barangkali sekadar berbatas pada pengantar obrolan ringan tentangnya. Keidealan sesuatu yang melekat pada persona tentu dimaknai berbeda, tiap individu memiliki keidealannya masing-masing. Fokus dari tulisan kali ini menekankan pada penggunaan bahasa, khususnya bahasa Indonesia, ketika pewara mewarakan acara pada umumnya.

Seperti yang telah saya katakan sebelumnya bahwa menjadi pewara tidak tentu berkait dengan cita, atau bahkan panggilan hati. Tidak tentu ada korelasinya. Bisa jadi diawali dengan ketidaksengajaan atas sebuah tugas yang mesti dijalani, seperti yang pernah saya alami, he he.

Seperti pada banyak hal lain yang membutuhkan pemandu (orang yang ditugasi untuk memandu atau memimpin pemanduan), begitu pula dengan acara-acara seremonial kebersamaan atau pertemuan. Acara pertemuan tersebut harus dipandu lantaran tidaklah mungkin ada pertemuan yang disengaja tanpa adanya tujuan. Nah, agar terarah pada tujuan yang telah ditentukan di awal, atas dasar kesepakatan dan kesanggupan banyak pihak untuk hadir, diperlukan sosok yang dapat memandu jalan acara dengan semestinya, dari awal hingga akhir (hingga tujuan acara tercapai). Oleh karena itu, sosok yang dimaksud tersebut sering disebut sebagai ‘master of ceremony’ sebab ia yang menguasai round-down acara. MC adalah istilah populernya, ada saran dari para pencinta bahasa Indonesia untuk menggunakan istilah pewara alih-alih MC.

Pewara dituntut terampil dalam berbicara. Sejatinya, kemampuan berbicara dapat ditempa sedikit demi sedikit, perlahan-lahan, dan hal ini tentu memerlukan jam terbang tidak sedikit. Proses yang mesti dijalani amat bervariatif bergantung pada ragam acara yang diwarakan. Ragam acara ini pun berimbas pada ragam bahasa yang digunakan. Hal ini disebabkan mengingat dalam banyak kesempatan kita mesti memperhatikan konteks.

Konteks tuturan pada setiap kesempatan tidak selalu sama sehingga menghendaki setiap penutur bahasa untuk dapat menempatkan diri dengan semestinya. Pada agenda acara resmi kenegaran tentu kita tidak dapat menggunakan ragam bahasa nonformal, bukan? Pendek kata, banyak hal bergantung pada konteks.

Di mana kaki dipijak, di situ langit dijunjung.

Saya tidak bermaksud menggeneralisasi keidealan penggunaan bahasa Indonesia yang tepat digunakan dalam kepewaraan. Saya masih belajar juga, kok. Paling tidak, beberapa hal yang dikemukakan sebagai rambu pengingat saya sendiri. Berikut di antaranya.

Antara ‘yang terhormat’ dan ‘yang saya hormati’
Acap kita mendapati pewara menyampaikan setelah salam pembuka dengan menyapa segenap hadirin yang ada. Biasanya diawali dengan menyapa orang-orang penting, yang ditokohkan, para senior, yang dapat hadir pada kesempatan tersebut. Tersebutlah sapaan: “Yang terhormat,” dan ada kala, “Yang saya hormati.” Kedua penggalan ujaran tersebut mesti ditempatkan pada tempatnya.

Dibidik dari kedua sapaan tersebut, dapat sangat mudah didapati perbedaannya. Ujaran, “Yang terhomat,” adalah untuk seseorang yang sangat (yang paling, begitu ‘tinggi’ atau ‘besar’ kehadirannya) dihormati di antara para undangan lainnya. Ketika ujaran ini telah diujarkan, selesai sampai di sini. Elok dituturkan pada awal pertama sapaan, dan untuk seseorang saja.

Setelah seseorang ‘yang terhormat’ tersebut disapa, baru menyapa tokoh/senior berikut-berikutnya sesuai prioritas kepentingannya dengan ‘yang saya hormati’. Untuk yang terakhir ini, dapat diulang beberapa kali sesuai keperluan. Variasi pun perlu dimainkan agar tidak monoton.

Bagaimana dengan ‘waktu dan tempat, saya persilakan’?
Saya rasa tidak ada perbedaan pendapat atas penggunaan ujaran, “Waktu dan tempat, saya persilakan.” Hanya memang sebagian khalayak menandaskan bahwa bukan waktu dan tempat yang dipersilakan, melainkan persona-nya. Hal ini, barangkali, benar adanya, tetapi apabila menilik dari sudut yang lain, rasanya tidak perlu begitu dipermasalahkan. Hal ini disebabkan ada lesapan dalam ujaran lisan tersebut.

Hakikat awal dari ujaran tersebut: “Waktu dan tempat, saya persilakan (kepada Bapak/Ibu).” Sebab tuturan lisan menuntut penggunaan kalimat yang teramat efektif sehingga ada beberapa hal yang ‘sengaja’ dihilangkan. Esensi maknawi dan penalaran berbahasanya pun masih dapat beterima, segenap hadirin akan memaknai hal tersebut sebagai pemersilaan bagi seseorang untuk berbicara. Jadi, bagaimana simpulannya? Sejatinya manasuka (kembali pada penggunaan bahasa yang arbitrer). Namun, memang rasa bahasa lebih ditekankan pada penggunaan diksi yang sesuai: kepada siapa kesempatan berbicara itu diberikan, misalnya: “Kami persilakan Bapak Gubernur untuk menyampaikan sambutan dan membuka acara,” adalah boleh. Variasi lainnya? Mengapa tidak? Disilakan!

Antara ‘disilakan’ dan ‘saya persilakan’
Saya asumsikan kita telah mengeklirkan perdebatan antara penggunaan kata ‘sila’ dan ‘silah’ sebab yang dibakukan oleh Badan Bahasa telah jelas: sila. Yang membuat mengernyitkan dahi adalah ketika mendapati beberapa pewara mengujarkan ‘disilakan’ dan ‘saya persilakan’.

Sejatinya, menurut hemat saya, tidak masalah atas dua kata atau frasa tersebut. Hanya memang ada prioritas keelokannya. Sekali lagi, tulisan ini masih pendapat pribadi, bisa jadi memang keliru. Saya lebih memilih ‘saya persilakan’ alih-alih penggunaan ragam pasif ‘disilakan’. Kalau dalam tataran ilmiah, pemasifan adalah tidak dapat dihindarkan, bahkan cenderung disukai untuk digunakan. Namun, rasanya hal ini sedikit berbeda bila ‘disilakan’ digunakan untuk ranah acara yang cukup sangat formal, selaik acara-acara kenegaraan.

Bahasa kepewaraan adalah bahasa lisan yang cenderung tidak saklek, fleksibel, penuh dinamika. Penggunaan pemasifan seperti ‘dimohon’ dan sejenisnya adalah sangat boleh, misalnya: “Hadirin dimohon berdiri.” Barangkali, Anda akan mengonfirmasi balik: mengapa saya memilih bukan ‘disilakan’ dan permisif untuk ‘dimohon’. Sekali lagi, hal ini didasarkan pada rasa bahasa tiap individu yang cenderung manasuka dan beragam. Apa yang saya sampaikan belum tentu benar adanya, sangat dibebaskan untuk tidak digunakan sebab berbatas pada sekadar penyaranan dari sudut pandang pribadi.

Penggunaan bahasa hanyal sekian persen dari beberapa di antaranya yang perlu dipersiapkan dengan baik oleh calon pewara. Selain bahasa, calon pewara mesti memperhatikan hal-hal lain yang tidak kalah penting, seperti: bahasa tubuh (termasuk di antaranya adalah ekspresi mimik wajah, tatapan mata yang terbuka, posisi badan yang terbuka dan menghadap audiens, dan sebagainya), gaya berbusana (tentu Anda lebih pahami hal ini), kesiapan teknis (kondisi mikrofon dan pelantang yang baik, sistem suara yang sudah diatur sedemikian rupa, dan lain-lainnya–alangkah elok dipastikan fungsionalitasnya sejak sebelum acara dimulai), hingga–tentu saja–kesiapan mental (percaya diri, keberanian, dan beberapa hal lain yang esensinya dapat dilatih dan dibiasakan). Jam terbang itu penting, Kawan.

Ketika proses yang tidak sebentar itu dijalani, ada banyak aral melintang. Ada banyak hal dihadapi. Beberapa kekeliruan atau kesalahan akan sangat mudah didapati. Namun, the show must go on. Ketika salah mengucapkan sesuatu atau keliru bertindak, langsung saja lanjut kemudi seolah tidak terjadi apa-apa. Langsung merampungkan acara hingga akhir dan tuntas. Kesalahan sebelumnya dapat diperbaiki pada kesempatan berikutnya. Barangkali, pada aktivitas setelahnya, kesalahan berbeda akan muncul. Kesalahan-kekeliruan bervariatif. Selama Anda masih Diizinkan-Nya hidup, tidak masalah, bukan? Santai saja dengan tertawaan dan cibiran orang bila mendapatinya, Anda punya sikap dan–sekali lagi–the show must go on!