Latif Anshori Kurniawan

Belajar dari Para Pengajar Bahasa

Diterbitkan pada dalam Blog.

Sejak SMP, saya suka belajar bahasa Inggris. Materi pelajaran dari Bu Sarmi, guru bahasa Inggris ketika itu, begitu mudah dipahami. Apalagi, rumus-rumus yang beliau terangkan dalam bahasa Inggris amatlah benderang, dalam arti amat mudah diaplikasikan.

Sebelum mempelajari bahasa Inggris, masih teringat bagaimana menyenangkannya belajar bahasa Arab—tingkat sangat pemula. Teringat pula bagaimana belajar ‘cara membaca’ huruf-huruf Quran melalui kitab kecil Iqra yang amat melegenda itu. Ketika masih TK-SD, guru Iqra saya dari kalangan Nahdliyin, sedangkan saya terlahir dan dibesarkan di lingkungan keluarga Muhammadiyah yang amat kental. Tentu apa yang melekat pada famili lebih dominan. Namun, saya tidak ingin mengikuti peribahasa bak kacang lupa akan kulitnya sehingga tidak akan pernah terlupa—insyaallah—dan haturan terima kasih tidak terkira kepada kakak-kakak senior terdahulu tersebut hingga kami dapat membaca Quran atas Izin-Nya (jazaakumullahu khairan).

Belum lagi perihal conditional sentences, alhamdulillah, ketiga aturannya tidak begitu sulit dicerna. Baik Bu Sarmi dan Pak Muhajirun, ketika SMP (ketika itu, masih disebut sebagai SLTP), hingga beberapa guru di SMA (ketika itu, sudah tidak digunakan lagi istilah SLTA), seperti Pak Qomar atau Pak Hadi Sumarsono, begitu menyenangkan dalam pembelajaran bahasa Inggris beliau-beliau dan masih terngiang apik di dalam ingatan.

Apabila menilik guru-guru mata pelajaran Bahasa Indonesia, salah seorang yang cukup berkesan adalah wali kelas ketika duduk di kelas 1 SMA, yakni Pak Samsi. Ketika itu, saya pernah diminta untuk membaca sebuah paragraf, tetapi ada kekeliruan pembacaan: saya tidak mendapati tanda baca koma (,) pada kalimat dengan kata tugas/hubung syarat ‘jika’.

Ya, sebab tiada tanda baca koma untuk menandakan mana klausa satu dan mana selainnya untuk kalimat yang diawali dengan ‘jika’. Entah mata saya yang burem atau bagaimana kala itu, yang pasti, saya keliru dalam pembacaannya. Kaidah umumnya, apabila ada penanda syarat ‘jika’ yang mengawali sebuah kalimat, tentu diperlukan tanda koma guna memilah antarklausa sehingga kalimat pun terbaca dengan baik. Tiada tanda baca koma ketika itu, saya membaca, “Jika … …. … … …,” hingga kesulitan memenggal bacaan kalimat tersebut dengan cantik. Saya pun gemas.

Kegemasan saya lebih pada penggunaan bahasa Indonesia dalam komunikasi aktif harian. Menyimak tuturan dalam bahasa Indonesia sebagian orang sungguh terdengar nyaman didengar, tetapi saya masih belum menemukan formula yang pas untuk saya implementasikan dari diri saya sendiri dahulu. Kalimat-kalimat saya, baik tulis maupun lisan, masih belepotan (bahkan mungkin hingga sekarang). Tidak disangka mendorong diri sendiri untuk berhati-hati.

Masih terngiang betul betapa Pak Samsi juga mengajari kami seperti itu. Beliau berbicara dengan sangat berhati-hati. Diksi-diksi beliau terdengar indah, nyaman beterima. Apalagi, kala pembacaan karya sastra, saya terkesima. Dengan suara beliau yang begitu mendalam, beberapa puisi tenggelam dalam ruang estetika embusan napas beliau. Ketika itu pula, saya makin menyukai membaca dan memilih karya sastra sebagai medium bacaan favorit. Karya sastra yang bersifat naratif, belum pada puisi ataupun syair.

Bagi saya, hal itu sebuah anugerah. Karunia pengingat untuk saya berhati-hati ketika membaca. Herannya, pernah pada suatu ketika, diminta oleh Pak Qomar (guru Bahasa Inggris) untuk membacakan sebuah wacana dalam bahasa Inggris yang sederhana, diketik dengan pungtuasi yang tepat, kapitalisasi yang mudah terbaca, aspek keterbacaan (readability) dan pemahaman yang mengikat sekaligus memikat, alhamdulillah beruntung sedikit kekeliruan. Sempat beliau meminta saya untuk mengisi sesi berbicara di kelas privat beliau, tetapi saya kurang dapat sebab memang bukan kapasitas saya. Kalau membacakan tentu berbeda dengan berbicara. Sungguh, tingkat kecemasan saya lebih tinggi ketika berbicara di depan orang daripada membacakan tulisan, atau sekadar menulis.

Entah mengapa lidah saya masih kelu saat itu, bahkan mungkin tidak berubah signifikan sampai pada saat sekarang ini, ketika sudah berani berbicara di depan umum (meskipun masih lebih sering cemas sejujurnya). Tidak dapat dimungkiri, saya masih bodoh, sangat bodoh, sampai sekarang. Kendali emosi dan meminimalisasi kegrogian adalah hal yang tidak mudah. Namun, sujud syukur ke hadirat Allah, saya berlatih di kelas-kelas jenjang pendidikan dalam ranah humaniora bahasa Indonesia hingga Diizinkan-Nya menyelesaikan studi pada bulan-bulan terakhir ini. Saya bersyukur kepada-Nya sebab banyak belajar bagaimana berbahasa, bercakap, atau berkomunikasi, dalam bahasa Indonesia yang tertata sedemikian rupa adalah justru di jurusan ini.

Saya sangsi bila mengambil jurusan lain pada 2005 dahulu bahwa saya akan mudah mengutarakan pelbagai hal dengan jelas. Terima kasih tidak terkira kepada para guru bahasa, baik yang telah saya sebut di atas maupun yang belum sempat di-mention di sini. Terima kasih berlebih pula kepada para dosen yang mengajari saya untuk bertutur kata dengan santun, tanpa menaggalkan estetika berkaidahannya, kepada Prof. Herman J. Waluyo, Prof. Sarwiji Suwandi, Prof. Andayani, Dr. Muhammad Rohmadi, dan semua—yang telah membersamai pendidikan strata 1 dan 2 saya selama ini.

Teringat Latif remaja masih suka membaca-baca buku dan majalah. Daripada melakukan aktivitas produktif berbahasa (berbicara dan menulis), saya masih lebih memilih mendengar dan membaca. Keterampilan mendengar saya belum tentu baik, pun dengan keterampilan membaca. Jangan ditanya perihal berbicara, saya masih sering ‘bergetar’ di atas panggung. Mungkin untuk menulis, seperti di blog ini, saya masih sering merasa lebih nyaman. Sekali lagi, terima kasih kepada para guru dan dosen saya di atas.

Keempat keterampilan berbahasa tersebut tidak mudah dijalani. Hal ini belum menitikberatkan dalam bahasa apa keempat-empatnya dipelajari dan didalami. Bahasa Inggris seolah mudah, tetapi faktanya ia memerlukan fondasi tempaan dari waktu ke waktu, apalagi bukan bahasa sehari-hari, tiada native-speaker di dekat kita. Bahan bacaan saya masih jamak/dominan dalam bahasa Indonesia, nah barangkali ini intinya sehingga saya masih lebih nyaman berbahasa Indonesia daripada Inggris.

Saya tidak malu dikata berbahasa Inggris pas-pasan, kurang cakap, dan seterusnya. Namun, saya bisa malu bila dikata: kurang bisa berbahasa Indonesia. Tentu dengan mengikatkan keempat keterampilan berbahasanya.

Saya masih percaya bahwa keempat keterampilan berbahasa dalam berbahasa Indonesia adalah saling melengkapi dan memperkaya. Keempatnya tidak dapat berdiri sendiri. Memang, sih, tidak dapat dimungkiri bahwa ada orang yang sangat terampil menulis, tetapi belum tentu terampil berbicara. Selalu ada ketidakseimbangan di antara keempatnya. Namun, sekali lagi, keempat-empatnya bisa ditempa, salah satunya adalah apa yang terjadi pada Bapak Presiden SBY.

Beliau istimewa dalam berbahasa Indonesia. Saya percaya, apabila beliau diikutkan UKBI, beliau peroleh nilai tertinggi–insya Allah. Yang makin menguatkan saya, kemampuan berbahasa Inggris beliau juga di atas rata-rata. Berdasar temuan ini, saya sedikit dapat melakukan generalisasi bahwa orang yang terampil dalam satu bahasa bisa jadi ia juga terampil dalam bahasa lainnya–yang sempat ia pelajari.

Tidak hanya Bapak Presiden, banyak contoh lainnya. Orang-orang yang benar-benar terampil berbahasa Indonesia, bahkan mempelajarinya secara mendalam, juga tidak kalah terampil ketika mempelajari atau mendalami bahasa lain. Tidak melulu bahasa lain yang dimaksud adalah bahasa Inggris, bahkan tidak jarang bahasa Arab, atau bahkan bahasa daerah.

Saya memiliki teman, ia ialah peranakan Jawa asli. Ia dibesarkan dengan nilai-nilai kultur Jawa yang teramat kental, tetapi tidak sampai terjatuh pada kepercayaan kejawen. Ia masih muslim taat, bahasa Jawa krama-inggil-nya mlipir terpresisi sedemikian rupa. Ia bisa menempatkan diri kapan menggunakan bahasa Jawa halus, kapan berbahasa ngoko (kurang halus, tetapi sudah berkonteks). Sangat empan papan berbahasa. Luar biasanya, ia juga terampil mengisi acara dalam bahasa Indonesia formal, nyaris tanpa cela.

Luar biasanya lagi, teman saya tersebut juga tidak jarang dipercaya orang-orang di dekat tempat tinggalnya untuk membawakan acara (sebagai pranatacara). Tidak kesulitan sama sekali dalam bahasa Jawa tataran tinggi, bahkan mungkin sempat sesekali ada variasi kawi. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Tentu atas Izin-Nya. Masya Allah!

Pada akhirnya, saya pribadi pun tidak begitu mempermasalahkan orang mau bertutur dalam bahasa apa. Selama dalam bahasa ‘manusia’ yang masih dapat dipahami, tidak masalah. Bahasa apa pun itu. Rasanya lebih elok bila kita mendalami bahasa Indonesia, tetapi juga mendalami bahasa lainnya, tidak terkecuali bahasa daerah dan juga bahasa asing—Arab, Inggris. Tiada halangan, tiada larangan. Kecintaan Anda pada bahasa Indonesia tidak menghalangi untuk mempelajari, bahkan menyeriusi begitu mendalam, pelbagai banyak bahasa lainnya.

Sekali lagi, tidak masalah! No big deal. Seperti bahasa Inggris, saya pribadi tidak tabu dengan bahasa ini. Tidak membatasi diri untuk tidak peduli, tetapi tetap lebih mengutamakan bahasa keseharian pribadi yang masih dominan dalam bahasa Indonesia—sama sekali tidak melunturkan kecintaan saya pada bahasa Indonesia.

Saya akui bahwa bahasa Inggris lebih acap saya bertuturkan pada beberapa akun media sosial pokok personal. Hal ini lantaran—tentu ada dalihnya—beberapa teman yang kami bercengkerama di sana lebih akrab dengan bahasa internasional ini. Tidak jarang, misalnya, meramban artikel ilmiah atau sekadar berkait dengan hal teknis komputasi, ternyata masih lebih mudah menemukan ‘panduan’ sekaligus ‘pedoman’ di dalam persentase kecil rimba maya dalam bahasa Inggris.

Alhamdulillah, para pengajar bahasa saya sebelumnya dan terdahulu tidak pernah ‘melarang’ saya atas hal itu. Tidak pernah mencibir atau mengkritik kala saya bertutur dalam bahasa asing tersebut. Seperti pada umumnya hal, selama masih berkait dengan konteks tuturan yang ada, selesai. Bagaimana dengan para pengajar bahasa Anda?