Doa-doa Baik untuk Segenap Ibu Tunggal
Diterbitkan pada dalam Blog.
Orang tua adalah kunci sukses dunia dan akhirat kita. Kita sampai di sini dan hari ini pun, salah satunya melalui pelbagai doa baik yang dipanjatkan orang tua untuk kita. Lahir dan batin, mereka tidak peduli, dukungan untuk kita terus mengalir dari waktu ke waktu.
Saya pun mengakui hal itu. Peran serta ibunda tiada duanya dalam kehidupan saya. Tanpa beasiswa, saya Diizinkan-Nya bersekolah dari jasa ibu. Tiada bagian lahir saya tanpa peran serta ibu. Dari apa yang melekat pada tubuh, kendaraan (seperti motor), saya akui dibantu ibu. Sampai pada saat ini pun, beriring bersama doa-doa baik ibu.
Tidak akan pernah malu mengakui bahwa ibu masih sering dan selalu membantu saya, sekalipun melalui doa. Tidak akan saya tutupi bagaimana secara fisik duniawi ibu membantu saya, seperti yang dilakukan Pak Habibie ketika ditanya masa-masa mengenang bersama ibunda beliau. Beliau dengan bangga bahwa studi dan kesuksesan beliau di Jerman tidak lepas dari peran serta ibunda beliau.
Pak Habibie tidak pernah menjemput beasiswa pendidikan sedikit pun, semua dari pembiayaan yang diupayakan oleh ibunda beliau. Tidak masalah, rasanya hal ini lebih ksatria dari apa pun jua (tidak malu atas peran serta ibundanya). Betapa banyak teladan para salaf yang menginspirasikan hal demikian, dibantu orang tua, lebih-lebih oleh seorang ibu orang tua tunggal.
Sayang sekali, tidak sekali orang bersombong diri. Merasa dirinya bisa tanpa peran serta orang tua, selalu dapat menyebut bahwa ini atas kerja keras saya sendiri. Mereka pun berdalih lebih baik hidup sendiri (tidak menerima bantuan orang tua), tetapi apa yang melekat pada diri mereka sama sekali tidak lepas dari orang tua mereka.
Orang tua selalu mendukung dalam banyak hal. Orang tua mereka selalu ada melalui doa-doa baik yang dipanjatkan. Namun, orang-orang berbangga diri itu pun lebih memilih memendam nama orang tua mereka dalam-dalam. Mereka lebih suka tanpa melibatkan pewicaraan berkait dengan orang tua. Mereka lebih bangga bisa begini-begitu tanpa mendikusikan dengan orang tua. Hal ini lantaran mereka merasa lebih dewasa, dapat memutuskan banyak hal sendiri (tanpa campur tangan orang tua).
Tidak jarang mereka membanggakan hasil jerih payah sendiri, meskipun hasil dari ribawi, meskipun hasil dari memiliki kewajiban kepada pihak lain (tanpa diketahui orang tua). Mereka bangga bisa beli ini-itu tanpa sedikit pun menyebut orang tua. Padahal, sejatinya mereka keliru.
Sungguh orang tua selalu hadir, ada untuk mereka. Lebih-lebih bila masih satu daerah atau satu kota dengan mereka, mustahil tiada tahu sedikit pun bagaimana kabar putra-putrinya. Sungguh miris bila ada orang yang seperti ini (merasa bisa mandiri tanpa orang tua).
Saya dididik bersama seorang ibu, dan seorang kakak perempuan. Banyak hal, saya tidak malu mengutarakan kepada mereka. Menyebut mereka kepada orang lain. Tidak malu pula peran mereka. Seperti salah satunya peran kakak saya, saya memperoleh ponsel pertama, yakni Siemens, adalah dari kakak. Padahal, ketika itu, saya masih sekolah menengah.
Hal tersebut lantaran ada kebutuhan fungsionalitasnya pula. Salah satunya agar kakak dapat berkontak dengan saya dan bercakap dengan ibu; ibu dan saya lebih jamak bersama di rumah di kampung halaman. Juga, banyak hal lainnya, baik ibu maupun kakak, sama-sama berperan untuk saya. Mereka yang membersamai tumbuh dan kembang saya hingga hari ini.
Hal lumrah, bukan, bila saya cukup banyak mengetahui hal-hal bernuansa wanita? Sekalipun begitu, sayangnya saya cukup keras di dalam keluarga, meskipun tidak saya luapkan dengan kemarahan. Keras ini dalam hal pada pendirian dan prinsip hidup. Kalau masih berkait dengan duniawi dan masih dapat ditolerir atas apa yang terjadi atau menimpa saya, masih dapat dimaafkan. Namun, tolong, Kawan, kita saling menghormati bila menyangkut keakhiratan.
Ibu pun mengajarkan hal tersebut, bagaimana menghargai orang lain, terutama perihal pemahaman keakhiratan mereka. Masyaallah, atas Izin-Nya, saya tidak pernah memaksa ibu seperti saya atau saya mengikuti ibu perihal keagamaan. Ibu sangat membebaskan. Kami sangat berbeda, saya akui ini, dan ibu pun tidak malu bila menceritakan kepada orang lain. Bagi beliau, perbedaan perspektif adalah keniscayaan.
Saya bercelana cingkrang saat awal sekolah menengah dahulu, ibu pun tetap support. Ibu berhijab sederhana pun, saya tetap biarkan. Bagi saya, soal peribadatan, apalagi yang melekat pada orang tua, Allah lebih Tahu daripada kita, bukan? Lebih-lebih hal mubah duniawi, bahkan ibu yang mengajarkan kepada saya untuk menghadapi dunia ini dengan ndableg. Saya masih, “Wow,” untuk ibu saya, seolah ada sosok ‘ayah’ pula dalam diri ibu.
Kehidupan yang penuh toleransi dari ibu itulah, atas Izin-Nya, yang membuat (lagi dan lagi, selalu) saya tidak malu menyebut peran serta ibu. Ada orang yang mengulik apa yang melekat pada ibu dan menganggap remeh ibu, saya biarkan sebab saya yang tahu bagaimana ibu sangat presisif dengan pengelolaan harta, lebih-lebih yang beliau berikan kepada saya. Mengapa mereka melakukan itu? Apakah lantaran beliau seorang janda? Apakah mengetahui bagaimana ikhtiar dan doa-doa ibu?
Ibu sangat berhati-hati memilah mana yang halal dan haram. Saking setiti-nya beliau, yang jamak orang mengira sebagai pemberian keluarga, masyaallah, banyak hal di luar jangkauan prasangka mereka. Biarlah, kami yang menjalani hidup kami seperti ini. Ibu pun selalu menandaskan demikian, kami hidup dengan cara kami (selama tidak melanggar syariat).
Berdasar ke-ketat-an diri itulah, terlekati seorang saya yang tidak jauh berbeda dengan ibu. Dalam hidup sederhana kami, yang makan sekadarnya lebih baik daripada membeli pakaian baru tiap tahunnya, terkandung nilai-nilai kehidupan yang tidak diajarkan oleh pelbagai mata pelajaran di sekolah. Saya memang benar-benar anak mami, saya sama sekali tidak malu mengakuinya.
“Apa-apa, ibu; apa-apa, ibu,” biarlah, toh ini adalah kami. Ibu (yang janda) dan saya berproses dari waktu ke waktu. Bersyukur sekali, saya memiliki sahabat-sahabat yang masih menganggap ibundanya di samping-nya. Mereka pun juga tidak malu bila mengakui bantuan dari ibu mereka, terlebih di antaranya juga dari ibu yang single parent. Biasanya begitu, ya, bila sama-sama yatim? Seolah memiliki rasa nan tak kalah serupa–masyaallah.
Semoga Allah senantiasa Memberkahi orang tua kita. Semoga Allah senantiasa Merahmati mereka sepanjang masa, baik di dunia maupun di akhirat. Amin. Salam untuk ibumu yang sama-sama sebagai orang tua tunggal, ya! Salam hangat dan penuh takzim dari seorang anak laki-laki yatim di sini.