Geliat Efek Streisand
Diterbitkan pada dalam Blog.
Ada kalanya, kita tidak mudah mengakses sebuah laman web di internet. Biasanya, laman-laman yang tidak dapat ditelusur alias diblokir, terutama oleh pemerintah (bila menggunakan layanan internet atau operator seluler berplat merah), ditandai dengan laman pemberitahuan dari Nawala atau bahkan tidak menampilkan apa-apa. Pemblokiran ini acap malah menimbulkan tanda tanya: mengapa diblokir? Ada sesuatu yang tidak pantas, ‘kah?
Lain kasus pada keseharian kita, saat bercengkerama dengan keluarga, teman, atau tetangga. Barangkali, terdapat beberapa hal yang kiranya diujarkan secara tersirat, seolah ada sesuatu yang ditutup-tutupi sehingga melahirkan rasa ingin tahu atau kepo yang luar biasa. Apalagi bila telinga kita terbiasa menyimak pelbagai gosip atau gunjingan yang amat asyik untuk diperbincangkan.
Berdasarkan dua kejadian di atas, terdapat benang merahnya, yaitu ketika sesuatu itu dilarang atau disembunyikan (tidak transparan), seolah memunculkan rasa penasaran. Ketika sesuatu itu disensor, kita malah bergejolak ingin mencari tahunya, entah bagaimana cara yang kita tempuh.
Barangkali, rasa penasaran atas sesuatu yang tersembunyi tersebut merupakan sifat dasar atau fitrah manusia. Ketika ada sebuah upaya untuk menghalang-halangi suatu informasi agar tidak tersebar, malah mengakibatkan informasi tersebut menjadi tersebar lebih luas. Jamak orang menjadi memperbincangkannya sehingga malah bisa jadi menjadi informasi yang tidak “rahasia” lagi. Fenomena ini diwakiliki oleh sebuah istilah yang disebut sebagai “Efek Streisand“.
Awal mula istilah Efek Streisand muncul dari kasus yang menimpa Barbra Streisand, seorang penyanyi dari Amerika Serikat. Fotografer dari Pictopia, Kenneth Adelman, digugat oleh Streisand lantaran Adelman dirasa telah melanggar privasinya dengan menampilkan foto rumahnya di Malibu, California. Hal ini terjadi pada 2003.
Sejatinya, Adelman tidak bermaksud melanggar privasi Streisand, ia sekadar mengabadikan momen di garis tepi pantai Malibu tersebut dan tidak sengaja memuat citra rumah Streisand. Adelman sama sekali tidak tahu sebelumnya bahwa rumah itu adalah milik Streisand. Streisand merasa keberatan sehingga mengajukan gugatan atas foto yang menampilkan rumahnya tersebut.
Awalnya, hanya sedikit orang yang mengunjungi Pictopia, termasuk melihat dan mengunduh foto yang memuat rumah Streisand. Namun, gara-gara gugatan Streisand tersebut (lantaran ia adalah penyanyi masyhur), banyak orang menjadi penasaran seperti apa rumah yang dikasuskan. Akhirnya, lebih dari ratusan ribu orang mendapati foto yang memuat citra rumahnya.
Peristiwa-peristiwa yang dapat dilabeli sebagai Efek Streisand ini terus berlanjut dari waktu ke waktu, dengan pola rona peristiwa yang beraneka rupa. Yang jamak populer adalah selaik yang saya sebutkan pada pendahuluan wacana ini. Bukan hal baru lagi bila telah banyak situs web diblokir pemerintah. Namun, sayang sekali, pemblokiran ini tampaknya tidak malah membuat sebagian masyarakat untuk tidak mengakses.
Seakan terpantik rasa penasaran, sebagian berupaya mengakses situs-situs web terblokir tersebut dengan pelbagai upaya atau cara. Ada yang menggunakan Proxy, ada yang memanfaatkan VPN. Atau, cukup dengan meramban Google, kita dapat dengan mudah membuka blokir yang ada. Akhirnya, terakseslah, dan barangkali tersebarlah konten-konten yang terdapat di dalam situs-situs terblokir tersebut.
Kalau menilik dari pelbagai kegiatan pemblokiran oleh pemerintah, yang semestinya kita dukung dan taati regulasi ini, pada dasarnya bukanlah kunci utama. Selaik yang pernah disampaikan oleh Pak Onno W. Purbo, kembali pada karakter warganet tersebut. Pendek kata, mau sehebat bagaimanapun teknologi blokir yang ada, selalu ada tools atau cara untuk menembusnya.
Kembali pada Efek Streisand, fakta menunjukkan bahwa efek ini makin menjadi dari hari ke hari. Ada sesuatu yang semestinya tidak pantas untuk ditampilkan lantaran mengandung aib-aib tertentu menjadi viral. Ada hal-hal yang semestinya tetap dalam keadaan aman-aman saja, tetapi menjadi terusik ketika banyak pihak menggunjingnya. Namun, beginilah fenomena yang terjadi, makin banyak hal ditutupi, makin banyak cara untuk membukanya. Makin banyak hal buruk tersebar, malah makin banyak pula yang menjadi penasaran untuk meluaskannya sehingga menjadi santapan publik.
Elok kita tetap mengedepankan nilai-nilai baik yang ada. Apabila memang ada hal buruk atau aib melekat pada diri seseorang, sepantasnyalah kita mengupayakan untuk menjaganya. Terlebih bila sesama kaum muslimin, elok kiranya melindungi dan memberikan uzur (pemakluman) bagi kesalahan-kesalahan kecil, apalagi kesalahan yang sifatnya duniawi dan tidak signifikan, dari saudara-saudari sesama kita.
Menahan diri dari rasa penasaran atas sesuatu memang tidaklah mudah. Namun, Islam mengajarkan kita untuk tetap bersabar bila menghadapi hal-hal yang membuat penasaran tersebut. Selain itu, perlu kiranya kita menghargai atau menghormati privasi orang lain.