‘Diet’ Ponsel
Diterbitkan pada dalam Blog.
Beberapa hari, seorang teman menyatakan bahwa ia tidak menyentuh telepon seluler (ponsel) bersistem operasi terkininya selama beberapa hari. Semula tidak disengaja, sebab ponselnya tidak dapat dioperasikan sebagaimana mestinya, kemudian mendadak ia pun melanjutkan menonaktifkan ponselnya dan belum sempat mendatangi reparasi ponsel untuk diperbaiki.
Singkat cerita, ia pun berdamai dengan hidupnya. Ia tidak lagi terdistraksi dengan notifikasi pesan instan WhatsApp yang setiap hari nyaris tidak berhenti berdenting, sekalipun semua grup di dalamnya telah disenyapkan. Ia tidak lagi merasa harus menonton serbaneka video di YouTube yang setiap hari menghiburnya.
Ia juga tidak perlu membuka laptopnya untuk mengakses internet. Ia merasa bebas, dan pikirannya lebih terkendali sehingga lebih tenang menjalani hidup. Demikian penuturannya.
Saya cukup terkesima dengan upayanya tersebut. Jujur, sekalipun tidak pegang ponsel, saya masih dapat menggunakan Mac untuk sekadar menulis ringan, dan sesekali berselancar di dunia maya sekadar membaca-baca beberapa hal. Saya termasuk yang masih tercandukan oleh gawai-gawai berinternet ini.
Bagaimana, tidak? Sekalipun sekadar melihat pesan singkat dari beberapa kanal Ahlussunnah di Twitter dan Telegram, aktivitas ini masih saya kategorikan ‘belum dapat lepas dari ponsel’. Sungguh luar biasa bila mendapati, “Ada, ya, orang yang biasanya pegang ponsel lalu lepas begitu saja selama beberapa hari,” atau bahkan sepekan, bahkan beberapa bulan berikutnya. Kalau yang saya sebut terakhir, adakah (dalam keadaan normatif menyengaja tidak memegang ponsel berbulan-bulan)?
Saya tidak tahu harus merespons bagaimana, apakah saya mengikuti gaya teman saya tersebut atau tidak. Yang pasti, sebab ponsel pribadi telah cukup menua, saya amat jarang memegangnya. Beberapa aplikasi yang dirasa cukup memberatkan ponsel, di antaranya adalah Facebook dan Instagram, saya lepas darinya.
Kebutuhan untuk mengakses dan membaca-baca lini masa akun pribadi di media sosial tidak begitu acap dilakukan sehingga melepas nyaris semua aplikasi mobile medsos adalah bukan masalah. Ponsel pun ringan sebab tidak banyak aplikasi. Yang jamak berdentang pun masih hanya WhatsApp, Telegram masih ada sekalipun tidak acap ditengok.
Untuk catat-mencatat, masih mengandalkan Simplenote kekinian. Namun, apabila kebutuhan mencatat cukup berlebih, saya cenderung menggunakan Simplenote di Mac. Hal ini sudah mencukupi. Sejak menggunakan Simplenote, gaya mencatat pun sedikit berubah. Acap jamak tulisan dibuat di Simplenote dahulu, baru kemudian disalin-tempelkan ke media lain, salah satunya tulisan untuk blog ini.
Hingga kini, belum memasang WordPress di Mac. Khawatir terlalu banyak aplikasi yang terinstal, di samping memang saya lebih suka bila satu aplikasi untuk mengerjakan satu tugas. Akhirnya, Simplenote masih terandalkan untuk menulis. Bagaimana dengan Evernote? Barangkali, memang lebih kaya fitur dan lebih unggul pada beberapa hal, tetapi saya belum memerlukannya.
Yah, bagi saya, ‘diet’ ponsel cukup menarik, mengingat jamak orang kekinian tercandukan atas ponsel. Banyak temuan data yang menyatakan bahwa setiap tidak lebih dari 10 menit, jamak orang akan menengok ponsel masing-masing, sekalipun tiada notifikasi, sekalipun tidak diperlukan. Paling sedikitnya adalah ponsel hanya dipegang-pegang sedimikian rupa.
Bagaimana dengan Anda? Adakah yang pernah tidak memegang ponsel selama beberapa hari dan memperoleh dampak positif? Adakah yang menyadari rasa kencanduan gawai sehingga perlu untuk melakukan terapi?