Latif Anshori Kurniawan

Tiada Orang ‘Nganggur’, ‘Kan?

Diterbitkan pada dalam Blog.

Kadang, ada orang yang tiba-tiba membilang kepada kita bahwa kita tiada kerjaan. Lalu, ia pun seakan ingin memberi ‘pekerjaan’ kepada kita, padahal ia bukan pimpinan kita, bukan pula rekan tim kita. Bagaimana rasanya? Jengkel? Tentu jangan. Barangkali, orang tersebut memang belum tahu kesejatian kondisi kita.

Kita perlu berlapang hati kepada orang tersebut. Selain barangkali ia kurang tahu-menahu keadaan kita yang sesungguhnya, bisa jadi ada sesuatu yang dapat kita bantu darinya. Memang risih bila mendapati orang-orang selaik itu, ya? Tidak perlu.

Begitu mudah kita tidak menampakkan beban tugas dan kesibukan kita yang teramat-sangat, bahkan kita seolah tampak ‘longgar’ sebab tidak ingin menunjukkann kepanikan yang ada dan beraktivitas berbingkai senyum tulus yang tidak terkira. Namun, masih saja ada yang melabeli kita sedang menganggur atau tiada sesuatu yang sedang dikerjakan lantaran penampakan kita yang ‘baik-baik saja’?

Amukan responsif Anda tidak akan menenangkan kekeruhan yang ada. Sesungguhnya, sabar tiada batasnya—jamak alim terdahulu mengingatkan demikian. Barangkali, memang perlu menumbuhkan prasangka yang baik (husnuzan) terhadap orang yang membilang dengan nada-nada kurang enak didengar.

Rupa husnuzan pun dapat bermacam-macam. Selain yang telah saya sebut di atas (pada inti-pokok kalimat: bisa jadi orang tersebut sedang perlu bantuan), dapat pula ditumbuhkan prasangka baik lainnya, misalnya barangkali ia perlu minum air hangat dan sejenak beristirahat dari rutinitasnya. Atau, barangkali ia ingin mencurahkan isi hatinya, sekadar butuh teman mengobrol. Masyaallah, indahnya.

Bisa jadi begitu. Mungkin kita dapat mengendalikan serba rupa ‘penat’ (yang jamak orang menganggap sebagai stres) yang ada. Namun, apakah setiap orang dapat menundukkan rasa penat yang menimpanya? Tentu kadar orang satu dan lainnya berbeda dalam mengelola penat. Bisa jadi, atau anggap saja, memang orang yang dimaksud sedang perlu beristirahat. Penat di tempat kerja adalah lumrah adanya, bukan? Walhamdulillah.

Pekerjaan duniawi memang memenatkan, tetapi di situlah ujian-Nya. Bagaimana kita dapat mengendalikan diri kita dengan baik, bagaimanna kita dapat mengelola banyak hal sesuai porsinya. Dengan kata lain, cukup diartikan saja bahwa pekerjaan yang ada—kalau menukil jamak orang membilang—adalah untuk ‘dijalani dan disyukuri’.

Barangkali, bukan lantaran masih banyak yang belum bekerja (bukan soal memperoleh pekerjaan), melainkan dengan Diizinkan-Nya kita masih bekerja, bermakna kita masih Diizinkan-Nya untuk belajar. Hidup ini penuh proses belajar yang tiada habis dan beraneka rupa, bukan? Dengan demikian, tidak perlu tersinggung bila ada persona-persona, baik rekan kerja maupun yang lain, yang masih saja membilang kita sedang mengganggur. Apabila kenyataan berikutnya adalah orang yang membilang kita sedang menganggur tersebut membebani sebuah tugas yang bukan dia yang berwenang memerintah kita, lebih enak bila direspons baik. Kalau kita mampu, sila dikerjakan; kalau tidak pun, sila tolak dengan diksi yang tidak menyakiti.

Atau, barangkali dengan kasus yang lain, kita bermaksud ke luar sebentar (barangkali keluar untuk sekadar memfotokopi berkas atau membeli sesuatu, mungkin juga hendak ke gedung tempat kerja yang lain—yang masih berafiliasi dengan lembaga), tetapi malah peroleh ujaran yang mengherankan.

“Mau pulang, ya?
Kok sudah pulang jam segini?”

Rupa-rupa ujaran lainnya, padahal realitanya tidaklah begitu. Kadang, atau bahkan sering kali, basa-basi memang dapat ‘menyakitkan’. Bijaklah berbasa-basi, yap!

Apakah tetap perlu menunjukkan kepada orang tersebut bahwa kita sebenarnya lebih sibuk dari dia? Tenang, tidak perlu terbawa emosi. Saat emosi, lebih elok untuk lekas-lekas duduk dan berlindung kepada-Nya dari gangguan ‘makhluk-Nya yang lain’, serta belum perlu bicara dahulu sebelum sungguh-sungguh tenang (belum perlu berbicara ketika marah).

Amarah dan memamerkan kesibukan tidaklah mendamaikan. Respons seperlunya dengan nada-nada yang tetap lembut dan ‘membaikkan’ keadaan. Selaik hal yang telah saya sebut sebelumnya, apabila ada sesuatu yang dapat dibantu dan kita mampu, dibantu saja, sambil dikerjakan tetap dengan senyum tulus yang mengembang. Dapat pula sambil dicandai atau mengalihkan perhatiannya agar kepenatan, kegelisahan, atau bahkan kepanikan yang ada dapat sedikit terurai.

Dibuat santai saja, nikmati sisa waktu yang ada dengan terus bekarya dan berkontribusi hal-hal berfaedah. Jadi, apabila masih ada yang membilang perihal Anda untuk kesekian kali, “Enggak ada kerjaan, ya?” cukup direspons dengan senyuman, lalu segera beranjak bila Anda mulai merasa tersinggung (senyum).