Latif Anshori Kurniawan

Bahasa yang ‘Mengancam’?

Diterbitkan pada dalam Blog.

Berbahasa adalah hak setiap individu. Tiap orang bebas berbahasa, berhak manasuka dalam bertutur kata, baik lisan maupun tulis, sesuai kebutuhan komunikasi. Ada kala para pengguna bahasa perlu saksama dalam menggunakannya, apakah telah sesuai konteks yang ada atau tidak. Ruang konteks acap diakomodasi oleh aktivitasnya dalam ranah formal (resmi) dan nonformal (tidak resmi). Porsi yang digunakan mesti pas. Namun, pada faktanya, hal ini tidak mudah dilakukan.

Ada kala orang bertutur tidak sesuai konteks tuturan, ada kala pula sudah berupaya empan-papan berbahasa, tetapi masih saja keliru. Sejatinya, kekeliruan ini dapat diminimalisasi sedemikian rupa dengan memedomani ‘tata-aturan’ yang diberlakukan pada bahasa tersebut. Tentu saja jamak bahasa di dunia memiliki pedoman aturan yang dapat ditaati, ada asas-asas yang dapat dipijaki sehingga—di antara faedahnya—bahasa tersebut digunakan sebagaimana mestinya dan dapat dipelajari oleh para penutur bahasa lain.

Kita tentu tidak melupakan bahasa Indonesia, bahasa tercinta kita. Ia juga memiliki pedoman kaidah yang dapat dipegangi. Teringat salah satu ujaran yang amat populer bagi penutur bahasa Indonesia pada masa lalu, yaitu berbahasa Indonesia yang baik dan benar, rasanya masih melekat dalam benak kita. Ada pedoman yang dirujuk kala itu, yaitu Pedoman EYD (EYD atau EyD: ejaan yang disempurnakan).

Penggunaan bahasa Indonesia yang baik dimaknai bahwa bahasa Indonesia dituturkan sesuai konteksnya. Kalau kita bersemuka orang yang lebih senior, tentu elok menggunakan bahasa yang lebih santun, lebih tertata, dan/atau lebih benorma. Ketika bersemuka teman sejawat, bukan masalah bila menggunakan bahasa ragam nonformal selaik bahasa gaul. Begitulah berbahasa yang baik dan benar diimplementasikan.

Saya pribadi tidak memberatkan istilah untuk penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Ada kala, sebagian kalangan, malah merasa terbebani dengan istilah ini sehingga saya sekadar menekankan: pergunakanlah bahasa Indonesia (saja). Saya tidak peduli ragam bahasa Indonesia apa yang digunakan, dalam ranah apa ia dituturkan (baik formal maupun nonformal), cukup menandaskan: berbahasa Indonesialah!

Sepanjang tujuan dan maksud dari komunikasi yang dilakukan tercapai, sesuai norma yang berlaku di lingkungan masyarakat setempat, serta ada ‘keselarasan’ pemaknaan antara penutur dan mitra/lawan tutur, selesai sudah salah satu capaian fungsi berbahasa yang hakiki. Selama bahasa Indonesia digunakan sesuai porsinya, tentu diharapkan tidak akan memunculkan perdebatan yang berkepanjangan lagi.

Sebagai sistem ujaran, bahasa memang terkesan tidak mudah dipelajari. Kajiannya yang amat bervariatif pun membuat para pemelajar dan penggemar bahasa tidak jemu-jemu membicarakan fenomena kebahasaan yang terjadi di lingkungan masyarakat. Salah satu fenomena yang menarik untuk didiskusikan perihal penggunaan bahasa Indonesia, misalnya, adalah serba-serbi penggunaan bahasa gaul yang makin menggejala.

Nyaris pada setiap bahasa terdapat ragam/variasi bahasa gaul, ‘kreasi’ bahasa yang dirasa lebih komunikatif—kata sebagian kalangan, tidak terkecuali dalam bahasa Indonesia. Tentu saja porsi dan kadar bahasa gaul yang digunakan pada masing-masing bahasa cukup beragam. Beberapa munsyi menyatakan bahwa kadar bahasa gaul yang ‘membersamai’ perkembangan bahasa Indonesia lebih majemuk daripada bahasa lainnya. Hal ini dapat dibuktikan dari fenomena beberapa kata bahasa gaul yang beragam, entah diturunkan dari variasi sebelumnya ataupun memang memiliki padanan yang terbaru.

Permainan kata yang jamak terjadi dalam bahasa gaul, dalam ragam nonformal bahasa mana pun, adalah lumrah adanya. Hal ini dapat dimaklumi dari sifat dasar manusia yang ingin bermain-main pada banyak hal, termasuk kata-kata. Entah bagaimana kata-kata divariasikan dan digaulkan sedemikian rupa hingga tersebar pada kalangan yang lebih meluas.

Tidak dapat dimungkiri bahwa fenomena bahasa gaul tidak terjadi pada saat ini saja. Dari perkembangan awal bahasa Indonesia, telah lahir beberapa peristilahan gaul. Istilah-istilah gaul tersebut, sebelum muncul ke permukaan, biasanya merupakan peristilahan yang dibentuk oleh sekelompok orang dalam sebuah komunitas. Dari komunitas yang satu berpindah ke komunitas yang lain, dari wilayah yang satu menyebar ke wilayah lainnya, yang akhirnya populer bagi banyak kalangan di banyak tempat lainnya.

Apalagi, kala budaya populer memasuki Indonesia, terutama pada era ’80—’90-an, kala musik-musik asing jamak menghiasi radio anak muda pada masa itu, selaik Prambors. Acara-acara di televisi pun, terutama sinetron dan komedi situasi, jamak dihiasi dengan penggunaan ragam bahasa gaul a la Ibu Kota Jakarta. Penggunaan gue-elu marak terjadi. Anak-anak muda pun jamak meniru fenomena yang ada. Tentu banyak variasi kata yang dihasilkan dalam perkembangan awal bahasa gaul di Indonesia, yang tidak sedikit mencampur-kodekan pula beberapa kosakata bahasa Inggris.

Hal ini, secara tidak langsung, mengingatkan pula aspek kesejarahan bahasa Indonesia terdahulu, lebih lama lagi, terutama ketika masa prakemerdekaan, jamak beberapa pemuda Indonesia belum sepenuhnya berbahasa Indonesia. Masih ada beberapa istilah dalam bahasa Belanda yang digunakan, atau bahkan sepenuhnya masih berbahasa Belanda. Hal ini dapat dimaklumi sebab jamak hal dikabarkan dalam bahasa bekas penjajah Tanah Air tersebut sebab mereka yang mengalunkan roda pemerintahan pada waktu itu.

Kalau menengok arsip sejarah lebih dalam, ada beberapa temuan yang menyebutkan bahwa, sejatinya, Belanda tidak suka bila orang Indonesia kala itu dapat berbahasa Belanda sebab mereka khawatir bila banyak sumber pustaka dalam bahasa Belanda dapat mereka pelajarai. Sesuatu hal yang tidak mereka inginkan bila rakyat Indonesia yang telah mereka jajah sekian lama dapat belajar dan lebih berpengetahuan. Tentu saja hal itu akan meluruhkan kuasa mereka di Nusantara.

Perlu dikembalikan kepada esensi istilah bahasa gaul itu sendiri, terdapat unsur kata ‘gaul’ di dalamnya. Hal ini mengindikasikan bahwa bahasa gaul memang digunakan untuk menunjang komunikasi dalam pergaulan. Pergaulan yang dimaksud sejatinya tidak dibatasi oleh usia, tetapi tidak dapat dimungkiri bahwa para pengusung perdananya adalah kalangan remaja dan muda-mudi. Perkembangan bahasa gaul makin meningkat dari hari ke hari pada era ’90-an, hingga membuat Debby Sahertian merilis buku yang membahas bahasa gaul (atau prokem) secara khusus.

Fenomena bahasa gaul pada sebelum 2000-an tersebut memang masih menyisakan pesona gejala kebahasaan tahun ’80-an. Jamak merupakan derivative (turunan) dari bahasa Betawi, ada campuran dengan bahasa Inggris (well, entah mengapa tiada sisa untuk bahasa Belanda, selain beberapa kosakata yang sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia), dan beberapa pemendekan kata-kata yang ‘diinspirasi’ dari bahasa sms (layanan pesan singkat, short message service). Tujuan awal dari bahasa sms tentunya untuk menghemat jatah ruang ber-sms yang dibatasi 160 karakter. Bagi Anda yang pernah menggunakan layanan sms pada masa kepopulerannya, tentu masih ingat beberapa singkatan: as, ak/aq, km/u, yg, dng, olh, ttdj, otw, y, g, dan banyak lainnya (jamak kata diringkas, terutama dengan menghilangkan vokalnya dan menyisakan konsonan, ini pun dapat manasuka-bebas bergantung kebiasaan).

Entah bagaimana bahasa gaul yang digunakan, tetapi fenomena penggunaan bahasa Inggris, agaknya, keduanya diparadigmakan berbeda. Barangkali, jamak pihak masih memaafkan popularitas bahasa gaul, tetapi belum tentu dengan bahasa Inggris. Selaik yang telah saya sampaikan sebelumnya, mengapa mesti bahasa Inggris, bukan bahasa Belanda, atau mungkin bahasa asing lainnya. Bisa jadi lantaran gema yang digaungkan bahwa bahasa Inggris merupakan bahasa internasional, bahasa global, sehingga seolah mau atau tidak mau mesti dikuasai.

Saya masih geli sendiri hingga sekarang bila mendapati ujaran dari sebuah obrolan ringan beberapa waktu terakhir, yakni perihal eksistensi bahasa Indonesia. Salah satu ujaran yang dimaksud menandaskan bahwa bahasa Indonesia mesti waspada sebab bahasa Inggris berpotensi mengancam. Sontak saya tertegun, lebih tepatnya terpingkal-tertahan di dalam hati, bila mendengar pernyataan tersebut. Perlu kita luruskan kembali esensi ‘mengancam’ yang dimaksud bagaimana.

Ancaman biasanya memang bersifat membahayakan, keberadaannya sungguh mengkhawatirkan, hingga barangkali perlu ada upaya agar ancaman tersebut tidak betul-betul terjadi. Apa sebab kita mudah membuat pernyataan-pernyataan dengan unsur kosakata ‘ancam’ tersebut? Bukankah sayur ‘terancam’ lebih maknyus bila disantap dengan nasi hangat—yang baru saja diangkat dari wadah penanaknya?

Tidak dimungkiri, bukan, bahwa kata ‘ancaman’ nyaris mudah kita dapati dalam tiap perbincangan, baik dalam taraf ringan maupun berat, baik dalam lingkup rumah tangga maupun permasalahan multinasional. Ringkasnya, semestinya kita tidak bermudah-mudah dengan kosakata ini bila tidak dapat menyertakan evidensi untuk memperkuat penyebutan kosakata tersebut. Dengan kata lain pula, hati-hati ketika menyebut ‘ancaman’.

Kalau dikata bahwa bahasa Inggris mengancam kedigdayaan bahasa Indonesia, kalau masih mempertahankan kata ‘mengancam’, sebelum jauh menyimpulkan, kita tengok pula bahwa dengan kata lain bahasa Indonesia juga dapat mengancam. Lo, bagaimana bisa bahasa Indonesia dapat mengancam? Tidak ingatkah Anda dengan bahasa-bahasa daerah? Adakah di antara Anda yang pernah merasa bahwa bahasa Indonesia mengancam bahasa daerah?

Kita sedikit mengingat perkembangan bahasa nasional tercinta kita, bahasa Indonesia, yang telah disahkan oleh peraturan perundangan yang berlaku di Tanah Air, bahwa bahasa ini digunakan secara resmi dan sadar pada setiap aktivitas keseharian kita di bumi Nusantara. Kita tentu tidak lupa bahwa nenek moyang bahasa tersayang ini adalah dari bahasa Melayu (sebagian Melayu Tinggi, jamak diturunkan dari Melayu “pasar”). Dalam bahasa Melayu sendiri, sudah terdapat jamak kosakata yang diserap dari bahasa Arab, bahasa Indonesia sendiri juga menyerap beberapa kata-kata berbahasa Arab lainnya secara mandiri. Apalagi, sebab pernah mengalami masa lalu dengan pemerintah Belanda, beberapa kosakata dalam bahasa Belanda pun asik-masyuk masuk ke dalam perbendaharaan bahasa Indonesia. Bagaimana dengan bahasa daerah? Ia juga tidak luput memperkaya khazanah bahasa pemersatu bangsa ini.

Kita dapat menengok sebagian istilah dalam salah satu bahasa daerah yang cukup jamak mengambil porsi besar, yaitu bahasa Jawa. Betapa banyak kosakata yang diambil dari bahasa yang jamak dituturkan di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur ini diserap ke dalam bahasa Indonesia. Di sisi lain, jamak orang tua Jawa (yang terlahir dari tanah Jawa asli serta masih memegang kuat tradisi dan budaya Jawa), yang tidak letih memberi wejangan, bahwa para pemuda, dari waktu ke waktu, dinilai jamak tidak peduli dengan bahasa Jawa dan hal-hal yang menghiasinya.

Hal tersebut didukung makin sedikit orang yang dapat berbahasa Jawa ragam Krama-Inggil. Hal ini pun belum menyinggung makin sedikit pula yang masih memiliki hasrat/gairah (passion) untuk mempelajari atau bahkan peduli dengan bahasa Jawa serta unggah-ungguh-nya. Yang menjadi ‘tersangka’, masih generasi muda, tetapi memang tidak dapat dimungkiri bahwa fakta di lapangan menunjukkan realitanya. Selain para duta bahasa, jamak pemuda/pemudi sudah tidak peduli dengan bahasa Jawa. Beberapa telah melupakan nilai-nilai yang terkandung dalam Macapat (belum perihal bagaimana tatanan kalimatnya), bisa jadi kurang dapat menikmati geguritan yang acap mengandung beberapa nilai kehidupan, dan banyak lainnya. Bagaimana dengan kondisi bahasa daerah lainnya, apakah mengalami hal yang serupa?

Fakta mengejutkan lainnya adalah, ternyata, jamak pemuda/pemudi yang dilahirkan di Jawa kekinian telah dikenalkan bahasa Indonesia sejak dini, tidak memandang ia dibesarkan di desa ataupun di kota. Bahasa Jawa atau bahasa daerah lainnya tidak diajarkan sebagai bahasa ibu mereka, tidak dilatihkan sebagai bahasa pertama mereka, bukan menjadi pilihan menarik bagi orang tua terkini untuk mengenalkan bahasa Jawa pada awal perkembangan putra-putri mereka. Bukankah fenomena ini menjadi bukti bahwa bahasa Jawa cukup ‘terancam’ dengan bahasa Indonesia—bila masih ingin menggunakan istilah ‘ancaman’? Pendek kata, kalau kita mengatakan bahwa bahasa Inggris mengancam bahasa Indonesia, bahasa Indonesia pun sejatinya juga mengancam bahasa daerah. Pada simpulannya, akan dikata bahwa antarbahasa akan saling mengancam. Tidak lucu, bukan?

Bahasa Diciptakan-Nya, dengan salah satu tujuan, untuk memudahkan kita berkomunikasi. Tidak ada unsur ancaman di sana, sama sekali tidak ada. Kalau bahasa Inggris dinilai mengancam, semestinya bahasa Belanda kala masa kolonialisme dahulu juga menjadi bahasa yang mengancam—pada kenyataannya, tidak ada literatur yang mengatakan demikian. Kalau bahasa Inggris dapat mengancam, bagaimana dengan bahasa Melayu, bagaimana dengan bahasa Korea dan bahasa Jepang, serta—yang barangkali lebih ‘mengancam dan berbahaya’, yaitu—bahasa Mandarin? Sungguh tidak lucu bila antarbahasa dikata saling memberi ancaman.

Bukan bahasanya yang mengancam, melainkan manusianya.

Tiada ancaman dalam penggunaan bahasa. Apabila kita minder dengan bahasa Indonesia dan seolah ingin memperjuangkan bahasa Indonesia (sebab dianggap tertinggal daripada bahasa lainnya), perlu adanya upaya-upaya agar muncul lagi kecintaan terhadap bahasa Indonesia ini. Tidak dimungkiri lagi bahwa penggunaan bahasa gaul lebih mewabah daripada penggunaan bahasa Indonesia. Tidak dapat dinafikan lagi bahwa, ketika kita membiarkan para generasi muda berbahasa gaul, kita tidak dapat memastikan bahwa pengetahuan atas empan-papan berbahasa telah ada di dalam diri mereka.

Kalau kita ‘anak bahasa’, barangkali kita sangat memahami bahwa penggunaan bahasa Indonesia ada empan-papan-nya, perlu disesuaikan konteksnya apakah termasuk dalam ranah formal atau nonformal. Barangkali, kita sangat mengetahui hal ini dan dapat menempatkan diri ketika berbahasa. Namun, adakah jaminan bahwa saudara-saudara kita yang lain dapat berbahasa Indonesia dengan semestinya? Siapa dapat menjamin?

Sungguh, sejatinya, tiada masalah dengan keberadaan beberapa bahasa selain bahasa Indonesia. Bahasa lain itu pun tidak akan mengancam eksistensi bahasa Indonesia, bahasa Indonesia pun dapat menjadi bahasa yang ‘tangguh’ dan disegani di kancah internasional. Teringat wejangan dari Prof. Anton M. Moeliono yang pernah menyatakan—kurang lebih atau pada intinya—bahwa, kalau bahasa Indonesia ingin menjadi bahasa internasional, bukan kuantitasnya (jumlah penuturnya) yang ditekankan, melainkan kepiawaian, kecendekiaan, dan kemahiran ketika menggunakan bahasa Indonesia. Sekali lagi, bukan jumlah penuturnya.

Kita dapat menengok bahasa Jepang, bahasa yang tidak lebih banyak daripada bahasa Inggris ataupun bahasa Mandarin. Namun, bahasa ini menjadi perhatian tersendiri, terlepas dari kiprah orang Jepang yang dikenal tekun, tangguh, dan pekerja keras. Begitu pula dengan bahasa Jerman, barangkali tidak banyak negara selain Jerman yang menggunakan bahasa ini, tetapi bahasa resmi Negeri Panzer ini cukup disegani. Kemudian, salahkah bila ada orang Indonesia yang belajar (melalui praktik) berbahasa Jepang dan Jerman sebab ia memang memiliki kebutuhan atas dua bahasa tersebut? Mengapa, tidak?

Hak setiap orang belajar berbahasa asing mana pun, sesuai kebutuhannya. Namun, barangkali memang perlu diingatkan pula untuk tidak melupakan bahasa sendiri, baik bahasa resmi negara (bahasa Indonesia) maupun bahasa daerah/lokal. Hal ini yang—barangkali—perlu digalakkan lagi: bagaimana bahasa Indonesia dan bahasa daerah diindahkan kembali, dipelajari lagi, serta lebih dipedulikan lagi; bagaimana saja upaya yang perlu dilakukan agar setiap pemelajar dan pengguna bahasa Indonesia dan daerah dapat menggunakan bahasa sesuai dengan porsi dan penempatannya.

Selaik dalam kehidupan ini, semua harus sesuai kadarnya, mesti pas. Tidak perlu mengkhawatirkan eksistensi bahasa lain selain bahasa Indonesia. Bahasa-bahasa tersebut tidak akan pernah mengancam bahasa Indonesia selama kita masih peduli dengan bahasa resmi negara Indonesia ini. Tidak perlu mengancam atau merasa terancam atas keberadaan bahasa asing. Selama kita masih berkenan mendalami, peduli, dan menggunakan bahasa Indonesia dengan semestinya, hal ini sudah lebih dari cukup. Mengutip intisari kalam Prof. Anton sebagaimana telah disebutkan di atas, tentu ada asa bagi bahasa Indonesia untuk dipandang menjadi penting bagi penutur aslinya, yaitu rakyat Indonesia.

Mari lebih peduli dengan bahasa Indonesia! Memang tidak mesti berbahasa Indonesia setiap saat, setiap waktu, di setiap tempat, tetapi sedikitnya kita awali dengan ‘peduli’. Awal kepedulian ini nanti barangkali—atas Izin-Nya—akan menginisiasi pelbagai hal atau kegiatan yang mengerenkan bahasa Indonesia. Ayo berbahasa Indonesia!