Mengapa Mesti Bertanya perihal Kehamilan?
Diterbitkan pada dalam Blog.
Lebaran ternyata malah menyisakan kekeruhan bagi hati Susana. Baru tiga bulan pernikahan, jamak keluarga yang jarang ditemuinya menanyakan kapan ia hamil. Entah kalimat mana lagi yang perlu Susana rangkai agar dapat menghentikan pertanyaan-pertanyaan serupa. Hingga pada akhirnya, ia pun lebih memilih untuk tidak menjawab dan sekadar tersenyum. Alhamdulillah, syukur atas kondisi psikisnya yang Dikuatkan-Nya.
Lain kisah dari Ocha. Tiba-tiba mendadak seorang kolega dari kantor lain menanyakan suatu hal kepadanya ketika hari pertama kerja pascalibur Lebaran, apakah ia sedang diet untuk program hamil (promil). Si kolega itu pun mendengar kabar tersebut dari partner sekantornya. Tentu Ocha pun bingung dan linglung, apalagi ia seorang wanita, banyak hal sedang melayang-layang di dalam benaknya kala mendapati pertanyaan itu–selain ada banyak permasalahan lain yang masih menghinggapi pikirannya.
Sungguh menggelikan memang hal privatif perihal kehamilan dikaitkan dengan diet yang sedang dilakukan oleh Ocha. Semestinya, yang dilakukan oleh partner kolega tersebut selaik yang diperbuat oleh kolega Ocha: mengonfirmasi langsung dan tidak menyebar gosip yang belum pasti. Tabayyun. Betapa tidak linglung dengan konfirmasi itu, Ocha pun beranggapan jangan-jangan seluruh orang di perusahaannya telah sama-sama tahu: menyimpan kabar yang masih simpang-siur itu.
Masyaallah. Untuk menghadapi hal itu, yang perlu dilakukan Ocha adalah tetap tenang dan bersabar. Tentu elok tidak menanggapi dengan amarah, dan mudah-mudahan ia senantiasa Dilapangkan-Nya. Dada tidak mendadak selalu merasa sempit bila ia dihujani dengan nada-nada tanya serupa.
Mengapa (selalu) ada tanya perihal kehamilan?
Kadang masih dapat disyukuri bila ada pertanyaan atau pernyataan perihal kehamilan dan masih dapat beterima–disesuaikan dengan konteks wicara yang ada. Ada kala karib kerabat atau sahabat bertanya, hal ini adalah lumrah adanya, dan acap nada-nada tanya pun masih bersahabat. Lain hal bila yang bertanya adalah persona yang benar-benar lain, yang tidak tahu-menahu perihal kehidupan pribadi yang ditanya.
Bertanya perihal program diet misalnya, apalagi bila dihubungkan dengan kehamilan, tidak jauh berbeda dengan menanyakan hal-hal privatif lainnya. Hingga sekarang, sebagian masyarakat masih heran dengan kultur sebagian kalangan lain yang menanyakan hal-hal privatif sebagai bentuk kepedulian–atau bahkan kasih-sayang. Apabila ujaran yang digemakan sudah pelupuk kesabaran, “Saya tidak tertarik membicarakan hal-hal privatif saya!” tinggal hitungan menit mitra wicara memperoleh dinding pembatas yang terbangun amat tebal–bahkan hingga bertahun-tahun lama ke depan.
Berbicara mengenai diet dan kehamilan, apa korelasi keduanya? Memang, ada sebagian dokter kandungan yang menyarankan atau merekomendasikan untuk melakukan ini dan itu, barangkali memang berkait dengan diet, untuk menunjang kehamilan. Namun, bukankah hal ini tidak selalu demikian?
Bisa jadi memang seseorang sekadar menjalani sebuah diet, kebetulan ia belum berputra, sebab memang belum merencanakan momongan. Jangan disamakan dengan orang lain yang barangkali jamak ingin lekas berputra sebab khawatir tidak dapat membiayai kehidupan anak mereka ketika mereka meninggal kelak.
Bukankah setiap insan memiliki ‘jatah’ dari-Nya nan berlainan? Tidak dapat antarinsan saling menjustifikasi bila tiada evidensi untuk di-tabayyun-kan, bukan?
Diet jamak dimaknai sebagai upaya menyeimbangkan antara asupan gizi dan proporsi tubuh (bobot badan, tinggi badan, aspek kesehatan organ dalam dan luarnya, dan lain-lain). Antara orang yang satu dengan lainnya, berbeda-beda pola rona diet yang berlaku. Barangkali, apabila mendapati program diet yang berhasil untuk seseorang, dapat diinspirasi. Namun, belum tentu dapat diimplementasikan untuk orang selainnya. Semua orang tidaklah sama, selaik semua hal ada kadarnya–ada takarannya. Begitu pula dengan diet.
Memang, bisa jadi, ketika ada gangguan hormonal yang diakibatkan kondisi fisik yang kurang memungkinkan, seorang suami atau istri perlu menjalani terapi diet. Namun, hal ini tidak selalu terjadi, bergantung pada diagnosis yang ada. Kecenderungannya adalah diagnosis dari seorang dokter yang sama tidak selalu sama untuk pasien yang berbeda. Perlu dikedepankan frase: bergantung pada.
Semua pihak pun perlu berbijak dalam bertanya. Tidak setiap pertanyaan yang mengandung unsur permohonan maaf adalah dapat beterima bagi setiap orang. Sebagai permisalan, seorang wanita yang ditanya oleh sesamanya (sama-sama wanita) belum tentu menerima dengan baik pertanyaan: “Kok kamu belum hamil? Padahal, (sambil menunjuk wanita yang lain) ia sudah, lo.” Ujaran tanya ini elok perlu dihindari, terlebih bila sesama wanita. Hal ini pun berlaku di dunia para suami, tetapi acap didapati kadarnya jarang terjadi.
Tentu pertanyaan tersebut bisa jadi amat menyakitkan bagi saudari-saudara kita. Kondisi tiap orang berbeda selaras dengan aib-aibnya yang diketahui dari penampakan lahirnya. Belum tentu aib orang yang satu adalah sama sense-nya di mata orang lain. Apabila kebelumhamilan seorang wanita adalah aib, sebagai sesama–terlebih–muslim, tentu elok kita sembunyikan aib-aibnya.
Bukankah kehamilan adalah anugerah dari-Nya? Tidak setiap orang dapat hamil sesuai dengan asanya. Bukankah hamil adalah wujud dari rezeki-Nya pula? Siapa yang dapat mengatur dan menentukan suatu rezeki bila bukan Sang Maha Pemberi rezeki?
Siapa yang tidak ingin punya anak? Wanita atau istri mana yang tidak ingin mengandung dan membesarkan seorang anak? Betapa banyak orang Dikaruniai-Nya putra/putri, tetapi anak-anak mereka seolah sebagai sosok yang tidak diharapkan. Betapa tidak sedikit orang tua menjalani waktu membesarkan putra dan putri mereka ala kadarnya (tanpa tarbiah agama yang baik–sesuai tuntunan-Nya, tanpa spirit asuh duniawi yang tayib).
Betapa banyak remaja yang belum sah menikah berhubungan badan, lalu Diberi-Nya anak, tetapi anak itu pun sengaja digugurkan–nauzubillah minzalik. Apakah mereka tidak pernah mendengar ada pasangan suami-istri bertahun-tahun mengaharapkan kehadiran si buah hati, tetapi belum kunjung Diizinkan-Nya? Begitu dengan mudah mereka takdir yang mesti mereka lalui dengan lebih baik lagi, tetapi mereka tempuh dengan cara instan–dengan kehilangan nurani dan akal sehat mereka.
Sebagai orang tua, kitalah yang bertanggung jawab atas anak-anak kita, buah hati kita. Tarbiah Islam yang layak, berlandaskan akidah yang lurus, adalah mutlak tanggung jawab penanamannya dari kita.
Kehidupan anak-anak kita tidaklah berbatas pada duniawi semata, atau sekadar dapat dibilang, “Yang penting, halal. Yang penting, berkah.” Tiada sedikit pun segala apa yang ‘diinspirasi’ dari kita–oleh putra/putri kita–tidak akan Dimintai-Nya pertanggungjawaban kelak. Akhirat adalah yang paling utama.
Elok nian nasihat para Salaf kita: apabila kita kejar akhirat kita, duniawi akan mengikuti dengan sendirinya. Duniawi yang diikhtiarkan seperlunya adalah baik, tetapi hal-hal ukhrawi adalah lebih tinggi derajatnya di Mata-Nya. Betapa indah bila surat Alfatihah yang kita ajarkan senantiasa putra-putri kita lantunkan pada setiap salat mereka hingga akhir hayat.
Ada kala memang kita cenderung lebih tahu dari orang lain sehingga tidak jarang menggeneralisasi apa yang menimpa diri kita dengan hal yang sedang menimpa seseorang. Sekali lagi, hidup ini penuh ketidaktentuan. Belum tentu begitu, belum tentu demikian. Dari formulasi yang diramu hingga apa saja yang perlu dilakukan bergantung pada kebutuhan tiap individu yang beraneka ragam.
Kita tidak dapat menggeneralisasi seseorang akan mengalami hal serupa dengan kita bila ia begini dan begitu–seolah mirip dengan yang terjadi dengan diri kita sebelumnya. Semua hal yang Diciptakan-Nya adalah sama sekali tidak akan pernah sama.
Barangkali, kita yang terlalu acap menggeluti dunia penyelidikan atau penelitian, baik formal maupun jamak nonformal, sehingga mudah menggeneralisasi keadaan. Bahkan, dalam penelitian yang bersifat generalisasi saja masih ada wanti-wanti agar tidak ditelan mentah-mentah, agar tetap disampaikan kebenaran yang ada bila memang ada koreksi dari luaran yang ada. Wallahu A’lam.
Paradigma kita acap dibatasi oleh prasangka. Kata orang, acap prasangka itu keliru, bahkan salah. Betapa mengerikan bila buah pemikiran didasari oleh prasangka semata. Senapas dengan prasangka, yakni asumi, orang acap membilang: “Asumsi pun dapat membunuhmu.”
Mari lebih mengendalikan diri dengan tidak mudah menyakiti yang lain; dengan tidak mudah menggeneralisasi kondisi orang lain selaras dengan kita; dengan tetap berupaya menyampaikan banyak hal secara santun dan penuh adab. Mudah-mudahan Allah senantiasa Membantu kita agar kita senantiasa beradab. Wallahu A’lam, wallahul muwaffiq.