Rintisan (Startup) Makin Menggejala, Anda Ingin Bangun Satu?
Diterbitkan pada dalam Blog.
Beberapa kali saya konfirmasi kepada teman-teman mahasiswa mengapa mereka perlu mengembangkan sebuah app sehingga mereka pun ingin mendirikan startup. Semangat muda dalam darah mereka pun mengalir deras, mereka ingin menjadi tech startup founder, memulai perusahaan rintisan berbasis teknologi selaik beberapa unicorn startup Tanah Air, seperti Go-Jek, Tokopedia, atau Traveloka. Mungkinkah?
Apa yang tidak mungkin di dunia ini atas Izin Allah. Apapun serbamungkin bila Dia Yang Berkehendak. Realitanya, keinginan kita dan Kehendak-Nya tidak dapat kita tebak, kita sekadar dapat berprasangka, dan acap kali prasangka manusia tidak selalu selaras dengan Prasangka-Nya. Namun, tidak perlu khawatir, bukankah Allah menyesuaikan prasangka hamba-Nya.
Menjadi founder perusahaan rintisan, atau bahkan menjadi CEO (ahem, rasanya masih jamak menukar istilah founder dan CEO, padahal esensi keduanya berbeda), adalah kebanggan beberapa anak muda kekinian. Perannya pun masih didominasi generasi milenial. Sosok Nadiem Makariem, William Tanuwijaya, hingga Ferry Unardi, menjadi idola para muda-muda yang ingin merintis usaha. Keinginan menjadi wirausahawan pun meningkat beriring dengan menurunnya minat para fresh-graduated untuk mengikuti seleksi menjadi abdi negara. Beberapa di antaranya pun terpacu area entrepreneurship yang lebih menantang.
Alhamdulillah, kekinian, rasanya tidak sedikit anak muda yang urung diri dari keinginan menjadi pegawai negeri sipil. Teringat salah seorang teman dahulu yang membawa slogan: izinkan aku tidak memikul PNS di pundakku. Subhanallah, mengedepankan tawakal kepada Allah.
Tidak ada yang dapat membendung keinginan mereka, startup di Indonesia terus tumbuh dari tahun ke tahun. Hal ini pun didukung oleh pemerintah secara langsung, di antaranya melalui peran Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), yang mengadakan serbaneka kegiatan untuk menopang keberadaan startup pemula yang ada di Indonesia, baik dari proses pendanaan awal (pre-seed funding), inkubasi, akselerasi, growth-hacking, hingga meningkatkan valuasi melalui scale-up, baik mandiri oleh pemerintah sendiri maupun bersama beberapa pihak (angel investor, venture capitalist, dan lainnya), baik lokal maupun regional, bahkan global.
Startup teknologi yang bermunculan pun berusaha untuk menyelesaikan suatu atau beberapa permasalahan, memenuhi kebutuhan, atau memberikan solusi alternatif bagi pelbagai kendala. Nyaris tidak mudah menemukan kembali startup yang benar-benar pure ide untuk sesuatu hal kekinian, nyaris seolah serupa-tapi-tak-sama.
Tidak sedikit yang telah meniru para unicorn. Begitu bejibun e-commerce, tidak sedikit marketplace yang menyediakan platform jual-beli. Fintech lending yang terus lahir, entah sudah terdaftar di OJK atau belum. Betapa tidak sedikit para penyedia layanan tiket, baik untuk bertransportasi maupun sekadar menonton film di bioskop. Apakah Anda pernah mendapati variasi nama penyedia layanan ojek, tetapi dengan nama yang berbeda-beda? Belum perihal unsur jasa pengantaran barang yang tidak lagi disokong oleh Pos Indonesia saja. Platform penyedia lapangan kerja pun beraneka rupa, bukan, meskipun sudah ada LinkedIn?
Saya sedang tidak mengamuk lagi kali ini, tetapi begitulah adanya. Ada beberapa di antara rintisan tersebut yang masih bertahan hingga sekarang, tetapi tidak sedikit pula yang dying atau bahkan telah ditutup. Ada yang sudah menjadi perusahaan publik, tidak sedikit yang terburu-buru menjadi private agar lebih mandiri.
Disrupsi digital yang ada pun seolah mem-framing bahwa mendirikan startup mesti bernuansa teknologi, mesti dibuat app-nya, harus tersedia di toko aplikasi, terlepas dari model bisnisnya seperti apa. Padahal, ketika membangun usaha, apapun bentuknya, tidak dapat dilepaskan dari bagaimana model bisnisnya.
Berbicara perihal model bisnis tidak selalu mesti profitable, tidak selalu perihal monetisasi, tetapi lebih pada kanvas model bisnis yang seperti apa yang diberlakukan. Founder pun tidak sekadar gaco (bahasa Jawa: asal) membuat aplikasi, baik berbasis web (webapp) maupun mobile. Entah bagaimana antarmuka (user interface, UI) yang didesain. Hal ini belum membahas perihal pengalaman pengguna (user experience, UX). Apalagi bila harus mengkaji co-hort progres organisasi. Semua hal tidak dapat dibayangkan dan diperkirakan di awal!
“Sebab semua hal tidak dapat ‘dipaksa-app-kan’.” Lumrah adanya bila kekinian telah dirilis pelbagai aplikasi untuk mendukung serbaneka kebutuhan. Dari aplikasi untuk mengantri, mencari sesuatu, hingga menunjang hal-hal berat dengan ukuran bergiga-gigabita melebihi games yang populer sekalipun.
Saya pribadi tidak menggemari banyak aplikasi di dalam satu perangkat/peranti. Cukup satu aplikasi untuk satu tugas. Kalau sudah ada satu pemutar audio, ya sudah hanya itu, tidak perlu aplikasi pemutar audio lainnya. Begitu pula dengan aplikasi pembayaran dan lain-lainnya sehingga sistem tidak dibebani oleh bloated-apps. Alhamdulillah, ada salah satu gawai yang saya perlakukan demikian dan bertahan (masih dapat digunakan) lebih dari lima tahun hingga sekarang–atas Izin-Nya.
Apakah dengan demikian Anda akan menyerah untuk mendirikan startup? Tentu pos ini sekadar salah satu lecutan kecil agar Anda benar-benar mengeksekusi startup apa yang Anda inginkan. Jangan salah, bisa jadi Anda pun akan berubah pikiran ke depan dan mengubah arah fungsionalitas produk Anda. Hal ini adalah lumrah adanya sebab tidak semua hal, yang kita sengaja inginkan, adalah sesuai dengan perkembangan yang ada, tidak selalu sesuai dengan kebutuhan sebelumnya. Namun, alhamdulillah, kita (manusia) Diciptakan-Nya sebagai makhluk yang dapat beradaptasi, berkenan belajar, bahkan mempelajari hal-hal baru.
Sudah terlalu menggejala kekinian bahwa semuanya dapat berubah dan berganti begitu cepat, disrupsi apapun (tidak hanya digital), meluluhlantakkan pelbagai rupa hal. Selaik hal ujian yang datang beraneka rupa secara bertubi-tubi dan tidak dapat disangkakan sebelumnya, begitu pula pelajaran kehidupan yang lain sehingga kita tidak perlu khawatir atas apa yang akan terjadi ke depan.
Nan pokok, kita telah berikhtiar semampu kita, dan segalanya telah Digariskan-Nya. Oleh karena itu, sila tetap bersemangat berupaya untuk mendirikan startup perdana Anda! Tidak perlu menggubris apa yang saya bahas pada pos ini! Hanya saja, barangkali, dapat ditarik garis simpulnya, yakni agar kita meluruskan niat di awal ketika merintis usaha.
Proses belajar adalah proses berkelanjutan yang akan dijalani sepanjang hayat kita, selama masih Diizinkan-Nya bernapas di dunia ini. Kita pun dapat belajar mandiri atau bersama orang lain. Tidak sedikit yang menyarankan untuk para pendiri startup agar memilih salah satu atau beberapa pihak yang kiranya dapat difigurkan untuk menjadi mentor bagi sang pendiri. Kecenderungan kita adalah membutuhkan peran orang lain, tidak mungkin kita memikirkan banyak hal dalam merintis usaha sendirian.
Begitu pula dalam dunia startup, banyak yang berhasil lantaran atas Izin Allah dan ia tidak sendirian dalam merintis. Minimal ada rekanan yang berkenan untuk berjuang bersama, menderita di awal bersama. Memikirkan pelbagai rupa hal dengan dua otak lebih baik daripada seorang diri. Oleh karena itu, kita Dianjurkan-Nya untuk menikah–cie.
Sebab bisnis tidak lepas dari hubungan antarpersonal, elok selalu mengedepankan komunikasi yang baik dalam banyak hal, tidak terkecuali ketika menjalin relasi. Bukan tidak mungkin orang yang kita kenal beberapa detik lalu di kafe adalah pemodal besar yang menopang usaha kita di kemudian hari–insyaallah. Perbaikilah hubungan dengan siapa pun. Walaupun demikian, kita mesti berprinsip, apabila memang tidak dapat bekerja dengan orang yang tidak sevisi dengan diri, elok tidak perlu memaksakan diri untuk berkolaborasi dengannya. Bijak-bijaklah mengatur hubungan Anda dengan orang lain. Berkawanlah dengan siapa pun sebanyak-banyaknya, tetapi tetap tidak melupakan saringan yang tepat ketika memilih di antaranya.
Tenang saja, tidak apa-apa memilah-pilah satu orang dengan yang lainnya, hal ini adalah lumrah terjadi dalam hubungan antarsesama. Nan utama, kita tidak saling membenci. Tidak berteman bukan berarti membenci, bukan? Terlebih bila sesama muslim, tidak elok berlawanan sebab duniawi–wallahul musta’aan. Berbijaklah, berprinsiplah!
Barangkali, cukup sampai di sini pos kali ini. Saya tunggu startup inovatif Anda! Jangan sungkan-sungkan untuk menyambung wicara atau sekadar ingin mengobrol ringan dengan kami.