Latif Anshori Kurniawan

Betapa Tidak Mudah: Tidak ‘Ambil’ Citra Gambar/Video

Diterbitkan pada dalam Blog.

Saya sedih. Teramat sedih. Masih banyak orang mengambil citra/gambar/foto dan video dari dunia maya dengan mudahnya tanpa peduli apakah berkas citra tersebut berhak karya/cipta. Sebab berhak cipta, tentu ia dilindungi oleh peraturang perundang-undangan. Bisa-bisa terjadi pelanggaran hukum bila digunakan semena-mena (tanpa pemberitahuan/notifikasi, tanpa berizin).

Bukankah menggambar, melukis, atau mengkreasi video itu tidak mudah? Apa susahnya membilang pada si empunya, sang seniman, bahwa ada niat baik kita untuk mengambilnya dan tetap menyertakan kredit (sebuah bentuk apresiasi, penghargaan dengan tetap menyebut nama kreator asal) kepadanya. Siapa seniman, perupa, fotografer, atau videografer yang tidak sedih bila ia mengepos atau mengunggah sebuah gambar/video, gambar/video kreasi asli darinya, entah apa pun pesannya, tetapi ada oknum yang mengambil hak-nya, dengan mengunggah ulang tanpa bilang-bilang.

Mengunduh amatlah mudah dilakukan. Untuk keperluan pribadi dan tidak akan didistribusikan ulang, apalagi dengan niat tidak akan mengambil profit, barangkali masih dapat dikata boleh. Namun, beda kasus unggah-mengunggah, tidak sedikit yang tidak memperhatikan apakah bila mengunggah ulang suatu konten akan berdampak kurang baik bagi semua.

Biasanya, pada sebuah gambar digital, selalu saja ada yang dibubuhkan oleh pekarya sebagai kredit atas produknya. Dapat berupa tanda tangan atau sekadar penanda manasuka ia sehingga ia pun akan bertanggung jawab atas kreasinya tersebut. Tanggung jawab, dalam arti, bagaimanapun respons para penikmat karyanya, ia menanggung risikonya. Namun, betapa tidak membuatnya bersedih bila ada oknum yang mengambil karyanya dengan menghilangkan (dengan melakukan cropping atau memotong sebagian) kredit yang telah disematkan. Sangat tidak beretika. Tidak sopan!

Tidak jauh berbeda dengan foto/video. Barangkali, orang memfoto atau shooting cukup berandalkan kamera yang ia pegang. Bisa kamera sungguhan atau kamera atributif pada ponsel/gawai. Bukankah mengambil foto/video dari fenomena kejadian nyata membutuhkan upaya yang tidak main-main? Bahkan, tidak sedikit para pengambil foto/video sampai harus mempertaruhkan kemanan dirinya. Lalu, kita dengan mudah mencomot foto-foto/video-video tersebut tanpa menelisik siapa yang punya; bagaimana hak-hak kita atas foto itu, dan seterusnya?

Sampai pun gambar atau foto/video konteks pewicaraan kita sekarang adalah berasal dari hasil tangkapan layar (screenshots) atau dari hasil screening, lebih berhat-hati lagi. Tidak setiap skrinsut adalah dibenarkan. Berhati-hatilah ketika melakukan tangkapan layar, terlebih bila itu berasal dari percakapan dalam layanan pesan instan semacam WhatsApp (WA). Lebih-lebih dari dalam grup. Obrolan di dalam sebuah grup adalah amat privatif dan milik bersama setiap anggotanya.

WA adalah layanan krusial kekinian. Jamak orang nyaris memasang WA sebagai aplikasi wajib mereka, apa pun platform yang digunakan, baik berbasis iOS, Android, maupun web desktop. Tidak jarang kabar bohong (hoax) terdistribusi meluas hingga hinggap ke ponsel orang-orang yang tidak paham konten yang dimaksud selaik anak-anak kecil. Untungnya, Facebook sigap bersikap, mereka mengeluarkan fitur yang dapat membatasi sebuah pesan atau konten WA untuk dialihkan (di-forward-kan) kepada orang lain.

Setali tiga uang dengan penyebaran hoks, menyebarkan berkas gambar/video (mm, diksinya, sih, ‘membagikan’, he he) tidak jarang dilakukan lantaran sangat mudah untuk melakukannya—dukungan lintas platform amatlah membantu. Lebih-lebih, sebagai pengguna, kita tidak peduli apakah memang perlu untuk disebarkan, terlepas menurut kita bagus atau barangkali—ada niat—agar berfaedah bagi yang lain. Yang perlu diingat adalah kehidupan ini penuh dengan kebelumtentuan. Menurut kita baik, belum tentu menurut orang lain; pun sebaliknya. Bagaimana pun juga kita perlu acap-acap menahan diri untuk berbuat, termasuk di antaranya adalah membagikan konten digital.

Alternatif Cukup Aman
Beruntung sekali telah ada beberapa situs web yang menyediakan gambar atau foto gratis untuk diunduh dan digunakan, semacam Pixabay, Pexels, dan sejenisnya. Namun, elok tetap dibaca dengan saksama atas syarat dan ketentuan yang diberlakukan sehingga tidak asal unduh. Bisa jadi boleh diunduh, tetapi tidak boleh didistribusikan. Bisa jadi demikian. Sah-sah saja. Kita tetap dihasung untuk mematuhi apa saja yang disyaratkan.

Alhamdulillah, telah dirilis ke publik beberapa lisensi terbuka untuk memayungi pelbagai rupa karya digital di internet. Salah satu di antaranya adalah Creative Commons. Perihal lisensi ini, Anda dapat mempelajarinya via laman resmi komunitas Creative Commons Indonesia (CC-ID).

Lisensi Creative Commons sudah banyak digunakan. Ia tidak berbatas memayungi rupa-rupa berkas digital Anda dalam bentuk gambar/foto/video. Apa pun wujud berkas Anda, apabila Anda bersedia melepas ke khalayak di bawah naungan Creative Commons, siapa pun dapat menggunakan karya Anda tersebut. Tentu saja menggunakan dalam konteks pernyataan yang dituangkan di dalam lisensi. Tidak lupa pula, apabila memang di bawah payung lisensi terbuka, elok tetap menyertakan lisensinya.

Hal tersebut umum telah berlaku lama. Apabila telah ada lisensi terbuka untuk sebuah produk, pengguna tetap mesti memastikan lisensi tersebut masih melekat padanya, sekalipun telah berpindah tangan. Hak konten yang didistribusikan menjadi jelas ketika ada lisensi yang disertakan. Jadi, siapa pun yang mendapatinya tidak akan kebingungan bagaimana menempatkan hak-hak atas konten tersebut.

Sekali lagi, hati-hati, ya, bila mengambil sesuatu dari dunia maya. Belum tentu ia bebas diambil atau bebas digunakan, lebih-lebih direproduksi. Begitu banyak hal perlu menjadi perhatian kita, salah satunya adalah pelbagai rupa hak atas orang lain yang senantiasa perlu kita junjung tinggi.

Daripada terlalu banyak mengambil, mari memberi sebanyak-banyaknya!