Mendadak Cakap Berkomentar
Diterbitkan pada dalam Blog.
Teringat nasihat para pendahulu. Apabila suatu hal atau urusan dibidani (dikerjakan) oleh orang yang bukan ahli di bidangnya, tunggulah petaka. Agaknya nasihat ini bukanlah isapan jempol semata, ia benar-benar mewujud menjadi pelbagai fakta yang tidak terbantahkan. Tidak sedikit hal menjadi berantakan sebab ditangani oleh orang-orang yang bukan ahlinya. Termasuk di antaranya adalah pembahasan perihal orang-orang yang pandai berkomentar dengan bahkan sudut pandang yang berlainan melalui media sosial beberapa waktu dewasa ini.
Siapa pun mudah berkomentar di dunia maya. Siapa pun seolah memiliki hak yang sama sebab barangkali, bisa jadi, lantaran sebagai pemaknaan dari hasungan untuk saling nasihat-menasihati. Ada kala terlupa, tidak jarang terjadi, ‘nasihat-nasihat’ atau ‘pengingat’ begitu teramat mudah terutarakan, padahal belum tentu menjadi wewenang kita sepenuhnya.
Seringkali terjadi, seseorang dapat menjadi siapa saja, berkomentar apa saja, untuk konten apa pun, di dan dari mana saja, serta bagaimana karakter seseorang tidak dapat dengan mudah diidentifikasi dari sekadar apa yang ia unggah di internet. Namun, mereka tidak menyadari, sudah terlalu banyak kasus yang menyeret beberapa orang pada ranah hukum lantaran komentarnya yang kurang empan papan.
Lebih-lebih begitu, sekalipun sudah berempan papan sekalipun adalah bukan jaminan seseorang terlepas dari ‘kesalahan’. Kebijakan pelbagai layanan media sosial yang ada untuk menggunakan nama asli alih-alih nama saduran atau samaran telah lama digaungkan. Namun, agaknya kurang menjadi perhatian sehingga begitu mudah membuat surel, akun layanan internet, dan banyak lainnya, dengan suka-suka.
Sepandai-pandai tupai melompat akhirnya jatuh ke belanga juga.
—Peribahasa Indonesia
Duhai netizen/warganet, sekali torehan digital yang Anda bubuhkan adalah ‘buruk’, pemerintah lebih hebat daripada Anda—walhamdulillah, mari kita doakan kebaikan bagi pemerintah Indonesia. Sekalipun Anda menggunakan nama samaran dengan protokol internet yang disembunyikan, tidak ada jaminan Anda tidak akan terdeteksi. Sekalipun sudah terlanjur, tetapi sempat dihapus atas aktivitas yang terjadi, tidak ada lubang melarikan diri untuk ke sekian kalinya.
Tidak hanya di dunia maya, di dalam kehidupan secara umum, tidak ada jaminan Anda dapat bersembunyi dari ulah ketidakbertanggungjawaban Anda. Ittaqillah! Apabila kita beriman bahwa Allah Mahalihat dan Mahatahu, mengapa mesti ‘lari’ atas hal yang telah diperbuat? Bukankah setiap hal akan Dimintai-Nya pertanggungjawaban? Barangkali, kita masih bisa aman di dunia ini, tetapi belum tentu di hari akhir nanti—hal ini sebagai pengingat saya pribadi.