Mengapa (Masih) Dorong Ber-Slackware
Diterbitkan pada dalam Blog.
Teringat beberapa tahun lalu. Ihwal nasihat dari salah seorang penggawa teknologi informasi di Indonesia. Saya terlupa, antara Pak I Made Wiryana, Pak Onno W. Purbo, Pak Budhi Rajardjo, atau bapak-bapak pegiat open-source lainnya. Nan pasti, penggawa yang dimaksud tidak jauh dari beliau-beliau yang telah disebut: menghasung (nyaris) siapa pun untuk menggunakan Linux. Lagi-lagi: Linux.
Tiada yang salah dengan Windows milik Microsoft atau sistem operasi populer lainnya. Tiada yang hasungan untuk tidak suka sistem selain Linux atau sejenis Unix (semacam macOS) lainnya. Tidak akan pernah terjadi kampanye untuk membenci sesuatu. Penekanan pada Linux adalah pada sifat pengembangannya yang terbuka sehingga hal ini pun berpengaruh pada bagaimana kita, sebagai pengguna, ‘berinteraksi’ dengan perangkat/peranti komputasi yang ada.
Linux merupakan wadah pemelajaran yang andal. Sekalipun seorang pemula di dunia komputasi, Linux kekinian adalah nyaris sangat cocok bagi ‘siapa pun’. Resources atau pustaka dokumentasi begitu berlimpah. Dari hal-hal berbau teknis ringan hingga aspek filosofis mendalam dari tiap karakter sistem, masih jamak tersedia di dunia maya.
Saya masih sangat senang bila ada mahasiswa yang tertarik dengan Linux, sekalipun masih dalam taraf bertanya: apa, sih, Linux itu. Dari ketertarikan itu, setidaknya, ada effort bahwa dia (tentu saja) ‘tertarik’, memiliki rasa penasaran/ingin tahu terlebih dahulu. Walaupun, tidak jarang, obrolan berhenti pada simpulan ‘cukup tau aja, sih‘, tetapi minimal ada sepercik gambaran mengapa mesti Linux.
Lebih senang lagi bila ada yang ingin mencoba. Ada yang ingin memasang Linux pada laptopnya, sekalipun masih di-dualboot dengan sistemnya yang lain. Bukankah salah satu dari rangkaian belajar bermula dari coba-coba? Entah nanti berhenti dalam sekejap atau memutuskan untuk terus mencoba adalah hal berikutnya.
Apakah para pencoba itu saya hasung untuk menggunakan distribusi Linux yang paling mudah? Dahulu, sih, iya. Beberapa bulan terakhir, saya cukup memaksa dan sangat-sangat ‘memohon’ untuk menggunakan Slackware. Sama sekali tidak selain Slackware? Tidak juga, tetapi lantara ‘memohon’ itu, saya acap kurang dapat membantu banyak bila ada layangan pertanyaan berkait sistem di luar Slackware; yang acap lebih banyak ditemukan di internet.
Pengalaman membuktikan bahwa ketika mahasiswa mulai mempelajarai permukaan pengantar sistem Linux Slackware, mereka akan dengan mudah menyesuaikan diri dengan sistem lainnya. Bukankah tiap distribusi sistem Linux berbeda? Tidak salah, hal ini sekadar pembiasaan yang didasarkan pada beberapa hal fundamental yang serupa-tapi-tak-sama. Tidak perlu berberat perbedaan, toh akhirnya mudah dipahami pula bahwa antara Linux satu dan lainnya ujung-ujungnya tidak jauh berlainan.
Effort ketika ber-Slackware adalah tidak main-main. Hopefully, demikian asa saya. Ketika memutuskan untuk ‘mencoba’ pun, mencoba dengan taraf serius. Hal ini memang berat sebab kadar ketertarikan dan kebiasaan berkomputasi pun juga berpengaruh. Namun, cukup efektif bila ada persona yang mau ‘memaksakan’-nya. Berawal dari paksaan—atau gara-gara terpaksa, tidak sedikit yang kemudian memetik manfaatnya.
Ihwal teknis memaksanya, saya terinspirasi dari Pak Budi Rahardjo, Pak I Made Wiryana, atau Pak Willy Sudiarto Raharjo ketika menghasung mahasiswa beliau berdua untuk menggunakan Linux. Salah satunya adalah ketika saya menugasi mahasiswa untuk membuat karya ilmiah menggunakan LaTeX. Bagi mahasiswa yang telah terbiasa dengan Word, barangkali hal ini memerlukan waktu yang tidak sebentar. Bukan masalah besar lantaran sekadar belum terbiasa. Barangkali, menggunakan LibreOffice Writer saja belum tentu menyamankan, apalagi langsung bercengkerama dengan LaTeX.
Hal itu mengingatkan saya pada pelajaran mengetik di komputer untuk pertama kali dalam kurikulum sekolah, tepatnya ketika menempuh studi di sekolah menengah pertama. Saya masih ingat betul betapa menyenangkannya belajar mengetik di papan tik dan komputer tua kala itu. Baik di mesin tik maupun komputer, kedua mata ajar ekstra pokok (bukan ekstrakurikuler, melainkan salah satu pelajaran mulok wajib) mesti ditempuh. Bagaimana mengetik dengan benar-benar dihasung menggunakan 10 jari tangan; bagaimana WordStar pada sistem DOS teramat ‘manual’ untuk dipelajari dari hal-hal yang paling mendasar. Glory days.
Tidak jauh berbeda dengan warganet pada umumnya, saya bisa senyum-senyum sendiri bila mendapati adik-adik siswa sekolah kekinian. Ada yang sejak PAUD telah dibekali langsung dengan perangkat yang ‘memudahkan’, dengan software yang tinggal pakai. Langsung bersentuhan dengan gawai dengan layar sentuh yang dapat dilipat, dengan peranti yang melingkat di pergelangan tangan, semuanya tampak berbeda jauh daripada kondisi lebih dari dua dekade lampau. Luar biasa dan wajib disyukuri.
Saya rasa, selaik pengalaman masa lampau, apa yang Dihadiahkan-Nya kepada adik-adik masa sekarang tentu membekali mereka guna menghadapi masa berikut. Bisa jadi, teknologi yang digunakan dan dipelajari mendatang lebih sulit, kompleks, dan berskala luas dengan subcabang tidak terhingga. Barangkali, sekarang, jempol jemari mereka masih luwes menari di atas layar sentuh dengan teknologi displai Retina yang memanjakan mata, mereka pun tertuntut-kan hal bervariatif ke depan. Bisa jadi tuntutan makin kompleks dan makin canggih, sejak remaja sudah dibiasakan programming atau sudah ditugasi untuk mepublikasikan/merilis aplikasi di toko aplikasi.
Bisa jadi—insyaallah, sekitar lebih dari dua dekade lagi, seorang balita pun sudah dapat mempelajari pengembangan perangkat lunak untuk infrastruktur industri kompleks berbasis kecerdasan buatan yang merasuk hingga serbaneka makanan/minuman yang telah dicerna oleh tubuh. Wallahu A’lam, semua hal bisa terjadi, dan Slackware pun masih dapat dimungkinkan—insyaallah—untuk membantu proses mereka. Memangnya, apakah Slackware masih tetap digunakan kelak?
Saya rasa, selama Linux masih berkembang, akan ada—paling tidak—pengguna yang masih memanfaatkan Slackware untuk memenuhi kebutuhan komputasinya. Sudah terlalu umum bagi senior di barat, masa-masa pensiun mereka, ada sebagian di antaranya masih berkomputasi ringan dengan Unix atau Linux, bahkan dalam versi yang tidak lagi muda—sebab ketiadaan dukungan atau pengembangannya discontinued. Hal ini bukan berbatas pada pemenuhan hasrat bernostalgia, melainkan memang guna menunjang kebutuhan mereka.
Selaik hal kala dahulu disibukkan ketik-mengetik di atas mesin tik atau menggunakan DOS atau shell di variatif sistem, beribu yakin masih ada saja orang yang menggunakan kedua hal ini sekarang—insyaallah. Dunia dan keduniawiannya adalah penuh dengan pelbagai kemungkinan, selaik ia bergerak dengan penuh kebelumtentuan.
Mengapa lagi-lagi Slackware? Bukankah ada Linux dalam negeri? Saya tidak menafikan keandalan Linux BlankOn, IGOS Nusantara, dan lainnya—yang masih dikembangkan hingga kini. Ketika masih SMA pun, WinBi menjadi harapan. Benar-benar suka dikembangkan oleh putra-putri bangsa, terlebih bila menggunakan bahasa Indonesia secara penuh. Namun, bukan berbatas pada prinsip ini Slackware dihasungkan.
Bisa saja dibuat versi turunan Slackware yang sangat Indonesia (Indonesia banget), yang lebih ramah bagi pengguna di Indonesia sebab berbahasa Indonesia barangkali. Masih teringatkah Anda dengan ZenCafe? Berbahasa Indonesia yang tidak sekadar pada antarmukanya, tetapi juga pada halaman manualnya (manpage-nya) atau halaman bantuannya (help-nya). Bisa saja menggerakkan banyak pihak, termasuk meminta bantuan pemerintah untuk mendukung hal ini. Atas se-Izin-Nya, mengapa tidak? Namun, tidak begini maksud saya.
Lain hal, lain konteks. Bukan soal siapa yang mengembangkan dan dalam bahasa antarmuka apa dan bagaimana. Lebih pada ranah memelajarkan diri. Kebiasaan-kebiasaan aktivitas di Slackware menempa penggunanya untuk lebih banyak concern dengan sistem sekecil atau seremeh apa pun. Aktivitas di Slackware tidak sekadar serba-serbi pemaketan dan kompilasi. Tidak selalu membutuhkan jaringan internet kencang dan stabil, atau/serta kapasitas cakram padat berlebih—lantaran memuat source yang berlimpah, apalagi bila sejak awal dipasang memilih proses instalasi penuh secara asali (default). Saya lebih memilih perspektif filosofis.
Sudut pandang yang dapat dipadan-ilustrasikan pada kasus perawatan mobil. Banyak piliah untuk perawatan kendaraan roda empat ini, dari membawanya ke bengkel resmi tepercaya rekomendasi dealer tempat mobil dibeli hingga ditangani sendiri. Slackware pada posisi yang terakhir. Bagaimana kita memang agak sedikit sok-tahu atas sistem yang berjalan, selaik kita melepas baut-baut mobil ‘seolah tahu’ apa yang benar-benar terjadi.
Lagi-lagi memang dikembalikan kepada tiap individu yang memilih: ini adalah pilihan. Tentu saja, apa pun putusan kita dalam memilih ‘selalu’ melahirkan serbaneka risiko. Namanya juga hidup. Ada banyak proses yang dijalani, kenangan pilu atau membahagiakan, perjalanan yang tidak sebentar tentunya, bersama Slackware.
Itulah mengapa tidak jarang para penggawa Slackware adalah orang-orang dengan pelbagai latar belakang berkomputasi bersama Slackware dalam kurun waktu yang ‘lama’. Alasan memilih mereka dan saya pun tentu bervariatif, tetapi barangkali masih ada keserupaannya, yaitu masih sama-sama menggunakan Slackware.