Masih Ber-Linux
Diterbitkan pada dalam Blog.
Mohon selalu diingat, ketika saya menyebut Linux, selalu saya tidak sedang berkampanye agar Anda membenci Windows. Sedikit pun tidak. Atau, ketika singgung produk teknologi yang dikembangkan secara open-source lainnya, bukan berarti hal ini merupakan ‘perang’ dengan perusahaan teknologi close-source.
Well, rasanya tidak ada lagi perusahaan yang benar-benar close-source. Sebesar Microsoft pun telah berkontribusi tidak sedikit beberapa tahun terakhir di dunia free/libre open-source software (FLOSS). Bahkan, mereka menjadi member Platinum (tingkatan tertinggi) di Linux Foundation (Yayasan Linux Internasional), bersama Google, IBM, Intel, dan banyak lainnya.
Tulisan ini tidak akan membahas kembali rivalry pengembangan perangkat lunak open versus close. Kali ini sekadar berbagi semangat open-source yang masih terus menyala dan makin menggeliat dari waktu ke waktu. Lebih-lebih beberapa hari lalu mendapati ulasan dari kanal YouTube CNBC berikut ini.
Beberapa pekan lalu, saya terkesima perihal sesuatu. Salah satu pentolan (co-founder) pemodal ventura besar (venture capital, VC) East Ventures, selaku managing partner-nya (diketahui pula beliau sebagai founder EV Growth), yaitu Pak Willson Cuaca, pernah menggunakan Linux Slackware (satu distribusi Linux favorit saya). Mungkin Pak Willson kita kenal sebagai investor beberapa perusahaan rintisan bervaluasi triliunan rupiah (seperti Tokopedia, IDN Media, Ruangguru, dan sebagainya; menjembatani banyak investor asing, termasuk di antaranya SoftBank dan lainnya). Namun, luar biasa beliau juga memiliki perhatian dengan Linux, tidak tanggung-tanggung dan malu-malu untuk menyebut Slackware. Sangat rendah hati.
Omong-omong khusus Linux Slackware, CEO Red Hat Inc. (sekarang sudah di bawah perusahaan teknologi multinasional terkemuka IBM), Jim Whitehurst, pun juga pernah sempat ‘bersentuhan’ dengan Slackware ketika menggunakan komputer di kala remajanya.
Mine was Slackware Linux, although I use to just call it Slack. Now, here we are getting ready for Red Hat Enterprise Linux 8. Time really does fly. https://t.co/koh4uVnNGM
— Jim Whitehurst (@JWhitehurst) February 18, 2019
Terlupa entah tepatnya ditayangkan di kanal mana, Jim pun pernah sempat berujar secara lisan hal serupa (pengalaman terdahulunya ketika menggunakan Slackware) pada sebuah unggahan video YouTube. Selain mereka, ada juga yang sampai sekarang masih eksis aktif menggunakan Linux, sekalipun tidak tampak di komunitas, di antaranya Pak Boy Avianto dan Pak Ariya Hidayat.
Pak Boy dikenal sebagai pakar teknologi Informasi dan media sosial. Pria yang sekarang (sudah sejak lama) tinggal di Amerika Serikat ini juga masih ber-Linux. Lebih-lebih Pak Ariya Hidayat, tidak perlu disangsikan lagi. Sekalipun kita ketahui beliau jamak mengisi materi dan menjadi motivator teknologi informasi, keseharian beliau tidak lepas dari Linux dan open-source.
Baik Pak Willson, Jim, Pak Boy, Pak Ariya, maupun tokoh teknologi informasi lainnya, dengan serbaneka kepakaran dan bidang mereka (jangan salah, selain ada yang berkecimpung di dunia digital marketing dan pendidikan/akademik, ada pula yang berasal dari dunia kesehatan, tambang, dan pelbagai bidang lainnya), dapat dikata tidak tabu dengan Linux dan serba-serbi open-source. Tidak terlupa beberapa senior penggawa di Planet Slackware Indonesia, yang masih aktif berkontribusi bagi umat manusia. Mereka pun tidak sendiri. Masih banyak orang-orang yang tidak terdeteksi gaya berkomputasi mereka menggunakan Linux, lebih-lebih Slackware.
Tidak hanya perusahaan yang telah disebut di atas, atau beberapa perusahaan teknologi besar lainnya, seperti Apple, tentu Google (yang lebih banyak porsi kontribusi mereka di dunia open-source), Facebook, dan lain-lain. Bahkan, sekelas NASA sekalipun, perusahaan antariksa di bawah pemerintah Amerika Serikat, juga beralih ke Linux sekitar 2013 yang lalu, terutama untuk lini International Space Station (ISS).
Jangan ditanya di Amerika Serikat (AS), nyaris jamak perusahaan teknologi besar dan beberapa departemen di pemerintahan yang mengurusi pelbagai permasalahan krusil mempercayakan fondasi sistem Linux (dan sistem terbuka lainnya selaik Unix BSD) untuk menampung data penting mereka. Perusahaan swasta bonafide HashiCorp pun melek open-source, apalagi Linux. Di luar AS, badan nuklir Eropa, yakni CERN, ber-Linux.
Tidak terlupa Indonesia, beberapa peladen pemerintah pun sudah disokong oleh workstation bersistem Linux. Warna-warni respons masyarakat, terutama pemerintah mengimplementasikan Linux di KPU. Alhamdulillah, departemen lain di pusat pemerintahan juga telah menggunakan Linux untuk menopang tugas harian mereka. Semoga ke depan makin menggeliat lagi gerakan Indonesia Goes Open-Source (IGOS) selaik satu dekade lampau.
Lantaran sifatnya yang open-source dan gratis digunakan, beberapa pun mempertanyakan ke-powerfull-annya atau bahkan keamanannya. Wajar, sih, barangkali mereka terbiasa dengan Windows yang berbayar. “Yang berbayar saja, banyak masalah, apalagi yang gratis,” begitu? Sayangnya tidak berlaku untuk Linux.
Linux memanglah gratis. Gratis di sini bukan berarti tanpa biaya sama sekali, tetapi ditekankan pada bebas untuk didistribusikan. Kendali distribusi Linux bukan atas nama perusahaan dan tidak berlisensi tertutup sehingga Linux pun tersebar secara masif dan siapa pun bebas menggunakannya, mempelajarinya, bahkan bisa jadi menjadi sumber inspirasi untuk pengembangan serbaneka produk open-source lainnya.
Ada yang masih menyangsikan keandalan Linux? Apakah perlu dibuktikan bahwa divisi pertahanan AS, serta/atau pemerintah Jepang, Singapura, dan beberapa negara maju lainnya juga percaya pada Linux? Apakah perusahaan start-up terkemuka, seperti Gojek, Tokopedia, dan kawan-kawan-nya tidak menggunakan Linux atau perangkat (bahkan peranti) open-source lainnya? Google is your friend!
Saya pun masih memotivasi mahasiswa untuk tidak asing dengan Linux. Baiklah bila masih enggan berkomputasi dengan Linux sebab sebagian orang pun masih menghasung perangkat lunak yang mesti digunakan mahasiswa berbasis Windows. Tidak ingin berpanjang lebar soal ini, tetapi saya bisa sangat senang—insyaallah—bila ada mahasiswa yang peduli apakah Windows dan perangkat Office yang mereka gunakan genuine atau tidak, dan memasang Linux.
Hey, Android kita pun sebenarnya berbasis kernel Linux, lo. Apakah kita tidak menyadarinya? Barangkali sangat sadar telah mengetahui nama-nya, barangkali tidak peduli esensi sistemnya. Hal ini lantaran yang penting user-friendly dan menunjang kebutuhan bermedia sosial? Hmm. Setidaknya kita mengetahui hal ini: Linux begitu lekat dengan kita on a daily basis kekinian. Apakah Anda masih enggan ber-Linux?