Hasrat Ingin Viral?
Diterbitkan pada dalam Blog.
Ujian duniawi kekinian bagi orang tua milenial adalah tidak sedikit di antara putra-putri mereka bercita-cita menjadi … kalau tidak selebgram, ya youtuber. Ditambah satu lagi, yang makin marak beberapa bulan belakangan: menjadi atlet esport. Masyaallah.
Sedih bercampur resah lantaran apa yang tersebut di atas tidak lain dan tidak bukan mencari pundi-pundi dan ketenaran secara instan. Mau tidak mau, teknologi media sosial turut mengambil peran atas terjadinya hal ini. Pihak Instagram dan YouTube pun sadar bahwa media sosial mereka digandrungi dan sekaligus mendisrupsi model bisnis kita sebelumnya.
Menjadi conten creator adalah idaman kalangan muda=mudi kekinian. Nyaris apa pun mereka lakukan demi tampak lucu atau minimal menarik bagi audiens atau pengikut mereka. Tidak sedikit yang berubah drastis menjadi menggila lantaran ingin viral. Sayangnya, tidak sedikit yang menyadari bahwa kadangkala ada pelbagai rambu yang dilanggar hebat.
Pro dan kontra akan mewarnai. Namun, kita mesti adil. Ada sesuatu, biasanya kisah, menjadi viral dan ini bernilai positif. Tidak sedikit yang berkebalikan. Persentasenya? Tidak diketahui, barangkali kita main aman 50%-50% atau 60%-40% bergantian, baik berfaedah maupun unfaedah.
Entah siapa yang memulai atau mengawali, seringkali tidak terlacak. Belum tentu merupakan konten unggahan terbaru, tidak jarang sudah lama terdapat di media sosial, tetapi baru viral belakangan. Tentu, sekali lagi, viral di sini dimaknai secara umum sebagai sesuatu yang tersebar/menggejala/mendisrupsi cepat dan berlimpah, selaik virus yang menyerang tubuh manusia.
Rambu norma dan etika seolah sekadar isapan teoretik. Jamak tahu nilai, hafal, barangkali sempat membilang telah memahami pula, tetapi nihil di lini praktik. Tiada yang salah. Kalaupun ada, siapa pun juga akan terkena imbas. Pribadi tiap individu, orang tuanya, keluarga, kerabat, tetangga, teman-temannya, semuanya—semestinya turut andil untuk mengingatkan.
Hanya saja, kadar pemaknaan nilai-nilai yang menghiasi kehidupan kita amat bervariatif. Barangkali, menurut kita, sesuatu itu buruk, belum tentu menurut orang lain. Barangkali, sama-sama buruk atau negatif, tetapi kadar pemaknaannya bisa serbaneka.
Sejatinya, tiada salah menjadi viral. Hal ini lantaran kita tidak dapat menangkal eksistensi dan sebab-musababnya. Menjadi viral karena disengaja tentu berbeda bila lantaran menyengaja. Esensi dari sengaja memviralkan diri tidak jauh dari hasrat ingin terkenal—sesuatu yang hal yang amat dihindari oleh alim terdahulu.
Ingin menjadi dikenal tentu berawal dari ingin menampakkan diri berlebih. Hal ini cenderung bermula dari kebiasaan berswafoto atau berswavideo perihal diri sendiri terlalu rutin atau sering sehingga penampakan diri dijaga untuk kepentingan publikasi ke publik.
Tidak sedikit orang menilai bahwa melakukan selfie atau wefie dengan kadar berlebihan adalah hal yang kurang baik sebab hal ini menandakan kendali narsistik diri telah pincang. Hal ini mengingat pula bahwa segala sesuatu yang terlalu berlebihan adalah tidak khair. Sewajarnya saja, normatif-normatif saja menjalani kehidupan.
Sesekali narsis, barangkali boleh-boleh saja, tetapi selalu berulang dengan frekuensi yang teramat masif? Elok perlu direduksi. Dikhawatirkan kontrol diri pun menjadi lemah, tidak tahan banting, dan tunggu waktunya untuk tumbang. Hal ini sudah jauh hari diwanti-wanti oleh Erich Fromm perihal malignant narcissism (sebelum masa disrupsi digital dan aktivitas ber-selfie makin menggejala beberapa tahun terakhir).
Lagi-lagi, terlepas dari pro dan kontra, mencintai diri sendiri memanglah baik, tetapi tidak perlu berlebihan. Narsistik tetaplah kurang khair sebab mudaratnya lebih berlimpah daripada faedahnya. Mafsadahnya lebih dapat mencuat, baik untuk diri sendiri maupun orang-orang tercinta sekitar, daripada maslahat, lebih-lebih untuk umat. Masing-masing individulah yang dapat menakar sejauh mana kadar narsistik yang telah melekat di dalam dirinya.
Kita kembalikan kepada-Nya. Apa-apa yang kita buat kontennya sekarang akan Dimintai-Nya pertanggungjawaban kelak di Hari Akhir. Apa pun niat kita sekarang, tentu elok berjalin kelindan dengan rambu-rambu-Nya. Apabila memang kurang baik, sedapat-dapat dihindari. Sesuatu bisa mendadak viral lantaran Izin-Nya. Sesuatu pun dapat kita sengaja untuk tetap tersembunyi, tidak menjadi viral, lantaran kita pegang kuat rahasia-Nya.
Kalau kita menilai diri terlalu baik, kecenderungannya adalah akan menilai orang lain buruk, lebih mudah memandang yang lain lebih buruk atau lebih rendah dari kita—wallahul musta’ān. Tidak terlalu, sekadar merasa diri baik saja sudah sangat membahayakan, apalagi merasa diri lebih baik daripada orang lain. Merendahkan sesama adalah sangat tidak terpuji di Mata-Nya. Bukankah merendahkan orang lain bagian dari kesombongan? Wallahul musta’ān.
Dunia ini memang indah, Kawan, tetapi tidak setiap hal mesti diviralkan dan tidak setiap hal viral layak untuk menjadi santapan penglihatan. Jangan sampai kita abai dengan rasa/sifat malu yang semestinya menghiasi kepribadian fitrah kita.
Ya, rasa malu memang makin tergerus dari waktu ke waktu, tetapi apakah kita yang juga akan menjadi bagian penggerusnya? Menanamkan rasa malu butuh waktu, begitu pula mengembalikan rasa yang sama bila telah lama memudar. Malulah terlebih dahulu sebelum itu menjadi viral.
(Tulisan ini adalah sebagai pengingat pribadi diri saya sendiri dan tidak memiliki maksud untuk menghakimi siapa pun. Mari berbijak hati.)