Latif Anshori Kurniawan

Coba Meminimalisasi ‘Distraksi’ Gawai

Diterbitkan pada dalam Blog.

Sayang sekali, kosakata ‘distraksi’ masih belum disahkan oleh Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan. Bukan masalah, barangkali sebagian warganet telah lazim dengan pemaknaan kosakata serapan bebas dari distraction ini. Pada tulisan ini, saya tidak ingin mengajak Anda untuk membicarakan mengapa serapan distraksi perlu diusulkan dan dibakukan oleh Badan Bahasa. Terlepas dari itu, agaknya jamak kita memang mudah terdistraksi gawai, ya, bahkan sebelum diberlakukan WFH pada masa pandemi ini—tidak terkecuali saya, he he he.

Orang-orang telah taat kepada pemerintah—alhamdulillah. Mereka sudah jamak berdiam diri di rumah (guna mengurangi penyebaran virus Corona/COVID-19). Terlebih, warga yang masih memiliki kewajiban di luar rumah pun tidak sedikit yang sudah kembali ke rumah (pulang lebih awal) daripada aktivitas normatif harian biasanya. Alhamdulillah, dari ikhtiar sederhana ini, mudah-mudahan sebaran wabah virus yang terjadi Diizinkan-Nya berkurang.

Lantaran lebih acap di rumah, tentu serbaneka aktivitas tidak begitu berat dilakukan. Tidak dapat dimungkiri, aktivitas di dalam rumah tersebut didominasi dengan kegiatan mengusap-usap layar sentuh ponsel dan gawai, apalagi terhubung jaringan internet. Saking banyak konten yang diakses, tidak jarang membuat seseorang lupa waktu. Hingga akhirnya, tidak jarang kalangan bapak-bapak atau mas-mas yang menjadi pemantik kesabaran para ibu-ibu/mbak-mbak di dalam rumah, he he he.

Sudah pasti, dapat ditebak, banyak grup WhatsApp (WA) mendadak lebih ramai daripada sebelumnya. Instagram (IG) dan YouTube (YT) pun menjadi aplikasi wajib setelah WA, dengan dalih sekadar untuk hiburan. Dua media sosial terakhir menjadi bagian tidak terpisahkan sebagian orang setelah televisi (alhamdulillah, kami tidak menggunakan televisi di rumah, tidak sering pula mengakses IG dan YT). Belum beberapa hal, terutama tugas-tugas pekerjaan yang dikerjakan secara remote (WFH) menuntut beberapa aplikasi tambahan terpasang di dalam ponsel, gawai, atau laptop/desktop sebagai penunjang.

Saya pribadi tidak berbeda jauh dari orang pada umumnya, bersahabat lekat dengan ponsel/gawai yang tergenggam. Sebelumnya, tidak jarang berpelukan dengan gawai (gadget) ketika tidur—astagfirullah. Hanya saja, beberapa waktu terakhir, sempat sedikit mengubah kebiasaan agak memisahkan diri dari gawai. Apabila semua orang melakukan aktivitas yang tidak kalah serupa, dengan disiplin yang semestinya bervariatif malah menjadi homogen, saya pribadi memutuskan untuk me-reset diri, “rehat sejenak” dari memegang ponsel/gawai. Belum sampai pada tingkatan tidak menggunakan ponsel sama sekali, selaik santri-santri yang tinggal di pondok-pondok Ahlussunnah, yang lebih memilih menyibukkan diri dengan belajar ilmu agama, sangat jauh di bawah mereka. Saya hanya ingin mengurangi “distraksi” ponsel/gawai.

Amat susah di awal. Sangat tidak mudah. Notifikasi, yang menandakan ada pesan WA masuk saja, acap mengganggu. Sering dag-dig-dug bila mendengar dering ponsel/gawai. Sampai-sampai nyaris tidak hafal dengan nada dering sendiri; yang berdering perangkat orang lain, yang sibuk mencari ponsel terlebih dahulu malah diri sendiri—malu. Belum keinginan-keinginan lain, seperti ingin mengikuti perkembangan informasi terkini, ingin mengetahui apa yang terjadi di belahan dunia sini-sana, dan seterusnya.

Sedikit demi sedikit, dapat dikendalikan—alhamdulillah. Jujur, masyaallah, berat. Saya memang sama sekali tidak bersedih atau gelisah. Hanya saja, naluri fitrah dasar manusia saya untuk penasaran nyaris susah dibendung. Namanya juga manusia, kepo-nya minta ampun. Namun, kali ini, sedikit ada pemantiknya untuk acap tersadar ketika merasa tidak perlu mengetahui informasi terbaru, cukup dikembalikan pada esensi saya bernapas hingga hari ini, “Kalaupun tidak mengetahui hal itu sekarang, tidak masalah, bukan? Masih ada kewajiban pokok/utama nan lebih genting.”

Kalau sifat tidak khawatir mengikuti tren, barangkali sejak remaja, sih. Rasanya hampa bila kita perlu mengetahui dan mengikuti semua hal. Sekadarnya saja, tidak perlu berlebih, tidak perlu gumun (bahasa Jawa: terkejut terheran-heran) di dalam hati. Seperti sebelumnya, saat membaca-baca berita daring pun, tidak semua kabar terbaca, seperlunya sesuai kebutuhan dan minat.

Sangat sering memperoleh label tidak gaul kala muda dahulu, sangat tidak mengapa. Bahkan, sekalipun sudah tahu sebuah informasi, tidak jarang saya menanyakan hal itu lagi dan lagi, berulang-ulang, kepada beberapa orang yang berlainan. Senang merasa masih awwam dan amatir, merasa bodoh dan perlu belajar dari banyak orang. Saya hanya ingin lebih banyak mendengar. Hal ini karena, ketika saya banyak berbicara lisan berlebih, saya masih saja sering khawatir melukai hati orang, sekalipun dalam selip canda yang ringan, yang saya niatkan sebagai bumbu obrolan—astagfirullah.

Ketika bersosialisasi pun, rasanya kurang enak bila mengobrol dengan orang sembari memegang gawai. Saya masih yakin tidak 100% obrolan ditangkap bila sembari memainkan gawai. Hal ini sudah saya sadari sejak memperoleh hadiah ponsel pertama saya, yakni Siemens, dari kakak. Luar biasa rasanya, saat-saat mengobrol santai, sama-sama tidak sedang pegang gawai, menghabiskan waktu berjam-jam tidak terasa; bisa jadi tidak terasa haus dan lapar pula.

Berhari-hari tidak acap bergawai, bagaimanakah rasanya? Luar biasa! Sedikit lebih ringan ketika beraktivitas. Pikiran dan hati pun tidak terlalu terpenjara atas apa yang terjadi di dalam gawai. Biasa saja menjalani kehidupan, seolah lebih berbahagia. Atau, jangan-jangan sebelumnya saya memang sangat tercandukan (sampai-sampai stres lantaran penggunaan berlebih) gawai? Bisa jadi, wallahu A’lam.

Aktivitas menulis dengan tangan pun sudah mulai lebih dapat lebih dinikmati daripada sebelumnya yang masih didominasi ketik-mengetik. Membuat peta pikiran dan sedikit sketsa konsep beberapa ideasi sederhana di dalam buku catatan (yang lebih mirip buku gambar) lebih bersensasi dari sekadar menggunakan pensil elektrik pada peranti atau gawai. Apakah Anda juga menikmati menggambar bunga, atau mungkin pohon? Atau, tidak sekadar mencorat-coret ria, tetapi juga membaca. Sesekali sempat terngiang apa saja buku yang sudah Anda baca dan perlu saya baca—masyaallah.

Tidak jarang saya pun dapat beristirahat pulas lebih awal. Bangun-bangun tidak antusias lagi dengan siapa lagi yang me-WA dan terlewat untuk dibalas. “Nanti, ya, ada waktumu kupegang,” begitu barangkali ujaran saya bila dituturkan (kepada gawai). Masyaallah. Sekali lagi, bukan maksud hati mengabaikan informasi atau pesan-pesan yang menghampiri gawai, melainkan saya sekadar memastikan diri bahwa saya tidak sedang dalam ”kecanduan” gawai.

Ketika menulis dan mengepos ini pun, saya lakukan sekali duduk. Mengetiknya pun menggunakan papan ketik eksternal mekanik Mac yang sudah cukup berumur seperti biasanya, yang lebih terasa sentuhan getaran-nya. Dengan ini pula, sekaligus sebagai permohonan maaf saya pribadi bila tidak lekas merespons pesan-pesan Anda, yang tidak sengaja tertumpuk/tertimpa antara satu dan lainnya. Namun, saya berupaya merespons meskipun tidak selekas sebelumnya. Mohon dimaafkan dengan sangat, ya.

Saya rasa hal ini masih ada nilai positifnya, entah berapa kadarnya. Teringat nasihat salah satu asatiza bahwa kita masih sering mudah didapati bercengkerama dengan gawai alih-alih memegang Al-qur’an. Daripada berzikir (fokus mengingat-Nya), tidak jarang kita tertawa-tawa mendapati video-video lucu yang berpendar pada beranda lini masa status WA kita.

Dengan dalih informasi terbaru dan kontemporer perlu diikuti di dunia maya yang dapat diakses melalui gawai, kita abai kitab-kitab sahih berbahasa Arab dari para ulama pendahulu kita. Astagfirullah, saya pribadi belum sampai ke sana. Mohon doanya, ya, sekalian kita bersama-sama memperbaiki diri semampu kita. Semoga Allah Mudahkan pelbagai langkah baik kita, semoga Dia Melindungi kita dalam Kebaikan-kebaikan-Nya—amin, amin.