Latif Anshori Kurniawan

Santai Berwicara di Publik

Diterbitkan pada dalam Blog.

Saya bukan pengampu ranah keterampilan berbicara, baik individual maupun kelompok. Beberapa kali berkesempatan mengisi pelatihan berbicara, terutama untuk berwicara di depan publik (public speaking) dalam bahasa Indonesia membuat saya ingin beberapa hal kecil di sini. Berikut di antaranya.

Menghujam sasaran

Pemilihan topik pembicaraan tentu elok berkesesuaian dengan kondisi (konteks yang menghiasi) audiens, terutama tema acara/kegiatan. Sebelum mengisi sebuah acara, elok kita, baik sebagai narasumber, moderator, atau sekadar pewara, mengetahui siapa saja yang menjadi audiens. Penguasaan konteks yang baik akan mengantarkan pembicara dapat menyampaikan tema/topik wicara mengarah tepat sasaran. Perhatian pada konteks menjadi penting lantaran berkait dengan penyelarasan atas pemahamanan audiens dari konten yang disampaikan.

Lantaran perlu saksama dengan konteks tuturan, hal ini tidak jauh berkait dengan pemastian ranah apa yang memayungi, apakah formal ataukah nonformal. Beberapa kosakata masih dilafalkan dalam bahasa nonformal oleh sebagian orang di ruang formal, di antaranya: cuma alih-alih hanya, ndak alih-alih tidak atau enggak (boleh tak), kayak alih-alih seperti, dan sebagainya.

Hal tersebut barangkali lantaran interferensi dari bahasa ibu, bahasa daerah, bahasa gaul, bahasa asing, bahasa keseharian, preferensi pribadi—memang disengaja agar mudah beterima—atau lainnya. Sejatinya, manasuka, satu-dua kosakata tidak mengapa, tetapi dihindari untuk berlebihan (terlalu sering), lebih-lebih dalam konteks formal. Tidak 100% keliru.

Sekali lagi, kita perhatikan konteks tuturan yang berlaku di tempat kita berujar. Mesti presisi untuk memilahkan mana formal dan nonformal. Empan-papan berbahasa amat ditekankan. Kita tidak sedang saling memaksakan untuk berutur baku, tetapi di sini penandasannya adalah menghormati konteks.

Mengalir saja, enjoy your parts

Ketika di stage dan Anda diberi kesempatan untuk berbicara, nikmatilah. Rasakan seolah panggung tersebut memang milik Anda. Ketika berwicara, bahasa yang digunakan untuk berkisah tidak jauh dari ketika menuturkannya dalam bentuk tulis. Karena itu, anggap saja tidak jauh berbeda ketika Anda sedang bercerita seperti membuat sebuah cerita pendek.

Perlahan saja. Hati-hati, tidak perlu terburu, jangan to-the-point, elok diawali dengan pembukaan (atau pengantar), kemudian inti (atau isi), selanjutnya ditutup (dengan simpulan kecil, pelajaran/ibrah yang dapat dipetik dari inti cerita, atau selainnya, guna menutup proses berkisah).

Sikap berbahasa

Sikap berbahasa yang baik ketika bertutur adalah menghadap atau melihat orang yang diajak berbicara, baik dari sisi memandang maupun hingga posisi badan. Posisikanlah badan Anda untuk tegak, baik duduk maupun berdiri, dan penuh gairah (semangat). Posisi badan yang terbuka sangat menyamankan mitra tutur/wicara, audiens Anda, sehingga mereka memusatkan perhatian atas gerak-gerik dan wicara Anda.

Sangat tidak dianjurkan untuk terpaku pada hal-hal yang tidak jarang dilakukan sebagai bagian dari menyamankan diri (agar tidak grogi). Hal yang teramat lumrah bila Anda grogi lantaran sifat dasar kita (sebagai manusia) yang khawatir (kalau tidak boleh dikata: takut) keliru/salah, baik dalam perkataan maupun perbuatan. Santai, Anda tidak akan berbicara di atas panggung lebih dari sehari secara nonstop, semuanya ada jeda dan akhirnya; nikmati saja.

Apabila audiens Anda berlimpah, sering-seringlah menyapu pandangan secara menyeluruh kepada mereka. Kalau diperlukan, berinteraksilah dengan beberapa perwakilan audiens dan hafalkanlah nama-nama mereka (sebagai bagian dari refleksi pewicaraan sebelum closing). Anda sebagai penutur elok memerlakukan mitra tutur/wicara Anda dengan semestinya.

LANTANG!

Hey, audiens Anda tidak hanya yang duduk di depan dekat panggung/mimbar Anda, audiens Anda bejibun (barangkali lebih dari 500 orang), mengapa tidak cukup lantang hingga setengah berteriak agar suara Anda terdengar? Sekalipun ada menggunakan mikrofon dan kondisi speaker (pelantang suara) sangat berkualitas, tidak ada salahnya Anda cukup bersemangat sebagai pembicara melebihi gema suara motivator kekinian.

Apalagi, ketika berbicara dalam takaran waktu yang tidak sebentar (bermenit-menit, atau bahkan berjam-jam lamanya), selaik penceramah, Anda harus selalu berhasil merebut perhatian peserta/pendengar Anda. Berupayalah agar mereka tidak bosan, bahkan mengantuk. Hal ini dapat kita siasati dengan kelantangan volume vokal kita. Adakah orang yang masih dapat tertidur ketika ada orang yang berteriak-teriak? Saya kira jarang terjadi. Lantanglah! MERDEKA!

Perhatian pada kelantangan suara ketika bertutur pun cukup dipengaruhi oleh penyesuaian bentuk mulut (gerak bibir), yang disesuaikan dengan pelafalan konsonan-vokal dari kosakata yang diucapkan. Well, olah vokal seperti yang umum dilakukan oleh para pewara, atau bahkan pekerja seni, tidak kalah elok untuk dilatihkan secara mandiri (sebagai latihan).

Terus berlatih

Yap, latihan berbicara sesering mungkin. Faedahilah sebanyak-banyak kesempatan untuk berbicara, terutama berbicara di depan khalayak ramai. Semua hal butuh proses, memerlukan waktu yang tidak sebentar. Dapat lantaran terbiasa. Tidak perlu bercita menjadi mahir, menjadi bisa saja sudah lebih dari cukup. Biasa saja, toh kehidupan ini hanyalah sesaat.

Tulisan ini merupakan materi untuk perkuliahan daring selama masa bekerja dari rumah ketika wabah virus Corona/COVID-19 masih menggejala beberapa pekan ini.

Selamat belajar, selamat berlatih. Selamat berproses, selamat menikmati hidup Anda dengan niat selalu untuk beribadah kepada-Nya (selamanya)!

Tulisan ini merupakan salah satu bahan/materi belajar daring perihal serba-serbi berbahasa Indonesia bagi semua teman santri/mahasiswa #BelajarDariRumah (dan/atau teman-teman pegawai swasta #KerjaDariRumah) di seluruh penjuru dunia.