Latif Anshori Kurniawan

Buat Tulisan dan Sitasi dengan Gembira

Diterbitkan pada dalam Blog.

Menulis tidak sulit sejatinya, insyaallah, ia hanya butuh kepekaan. Kepekaan atas semua hal. Kepekaan dari meraba banyak hal di sekitar kita melalui goresan harfiah huruf per huruf dan pungtuasi (tanda baca) yang ditata (dikaji dalam ranah ejaan dan tata bahasa) hingga konsistensi ketersambungan antarbagian isinya. Lantaran merupakan bagian keterampilan berbahasa produktif, banyak orang menempatkan aktivitas menulis sebagai keterampilan yang tidak mudah.

Menulis itu, pada dasarnya, sangat mudah dilakukan, kok. Tidak butuh upaya berat untuk mempelajarinya. Hanya sedikit memindahkan ranah wicara lisan kita menjadi rupa tulisan, dan hanya butuh pembiasaan. Memigrasikan maksud dan tujuan dengan lambang-lambang bahasa tulis. Hal ini memang perlu waktu, perlu untuk dilatih dan terus ditempa sedemikian rupa.

Dalam beberapa tugas menulis yang saya berikan, baik di dalam maupun di dalam kampus, saya tidak letih memotivasi teman-teman santri/mahasiswa ketika mengerjakan tugas, ujian, atau apa pun dari saya, untuk dikerjakan secara mandiri (tidak bergantung orang/sumber lain). Lebih baik berantakan daripada tampak rapi lantaran hasil salin-rekat karya pihak lain.

Beberapa orang, di mana pun nyaris masih tidak jarang didapati menyalin-rekat dari internet ketika ada tugas menulis. Alhamdulillah, masih sedikit elok daripada mengunduh. Dalam arti, tidak mengambil secara utuh sebuah berkas/dokumen dari internet, lalu diaku-aku sebagai milik pribadi. Apabila mengunduh utuh dan diakui sebagai karya sendiri, ini sama dengan menipu diri sendiri—elok sangat dihindari. Apabila sekadar salin-rekat, meskipun kadarnya tidak seberat mengunduh, alangkah elok tetap (wajib) dihindari. Kita perlu belajar/berlatih kutip-mengutip/nukil-menukil dengan baik.

Ketika menulis, perhatikanlah logika/penalaran berbahasa yang digunakan. Sebelum disampaikan kepada orang lain, elok kita membaca beberapa kali tulisan sendiri tersebut hingga benar-benar mencerminkan diri (pribadi) kita—sebelum diberikan kepada orang lain (untuk dibaca). Penalaran berbahasa dapat mencirikan penalaran berpikir seseorang, terutama ketika ia mengeluarkan apa yang dirasa dan dipikirkan (uneg-uneg-nya), melalui kata-kata (tulis).

Sebelum proses menulis, untuk membantu penalaran tersebut, elok memastikan diri dalam keadaan (berpikir dengan) tenang. Tidak ada aktivitas bercabang lainnya, tiada tanggungan mendesak saat menulis. Apabila masih ada kewajiban lain, tentu bergantung skala prioritas yang dimiliki (tiap orang berbeda-beda), elok belum menulis terlebih dahulu (selesaikanlah skala kewajiban yang tertanggung tersebut).

Kalau masih ada banyak hal lain pada waktu yang bersamaan dan kita tetap nekat menulis, hal ini dikhawatirkan konsentrasi kita terpecah. Lebih-lebih, sampai pada kondisi mendapati writer’s block (mendadak blank, tidak tahu apa lagi yang mesti ditulis). Beristirahatlah sejenak hingga dominan suasana pikiran dan hati dalam keadaan baik. Setelah tenang, baru kemudian kita goreskan kata per kata secara perlahan.

Beberapa kali saya lebih gemar menyatakan: jangan berpancang ejaan. Ejaan memang penting, saya pun cukup risih bila mendapati tulisan yang abai ejaan. Namun, runtutan alur berpikir yang nyambung antarkalimat, elok lebih diperhatikan. Barangkali, salah satu kiatnya (apabila Anda sangat khawatir bila keliru mengeja), menulislah secara bebas terlebih dahulu, baru kemudian disunting/diedit ejaannya.

Keluarkan kepingan-kepingan ilustrasi yang dapat dirangkai menjadi kata-kata dari pikiran Anda bertahap. Sekali lagi, pelan-pelan. Langsung saja dituliskan, manasuka, tanpa rasa khawatir kalau-kalau tidak padu atau banyak salah eja (atau saltik). Setelah dirasa cukup beberapa paragraf tertuang, bacalah kembali dari awal. Bacalahaberkali-kali dari awal dan rasakan sensasi-nya: kira-kira ada yang miss dari tulisan Anda itu? Atau, ternyata ada beberapa kalimat yang perlu dipindah atau bahkan dibuang (dihapus)? Disilakan, manasuka. Baca lagi, lagi dan lagi, hingga (sembari membaca) kita pun sembari memperbaiki beberapa hal. Sampai pada akhirnya kita pun percaya diri tulisan kita dapat dibaca orang lain. Yay!

Tulisan pun siap dinikmati, terutama dari sisi rasanya. Hal ini lantaran, bagi sebagian orang, olah rasa pada bahasa tulis lebih mengena (dapat dirasa) bila dibandingkan bahasa lisan. Well, tiap orang memiliki kekhasan karakter dan rona kehidupan yang serbaneka sehingga hal ini pun dapat mempengaruhi rasa bahasa yang dimilikinya. Rasa bahasa tuturan tulis, biasanya, dapat dengan mudah diketahui melalui diksi (pilihan kata) yang diputuskan. Berhati-hatilah ketika memilih kata, sesuaikanlah dengan konteks kalimat/paragraf yang disusun.

Mau tidak mau, seperti pelbagai sunatullah lainnya, input yang bagus akan menghasilkan output yang tidak kalah bagus. Aktivitas menulis setali tiga uang dengan aktivitas membaca. Dari membaca berlebih, kita mendapatkan berlimpah amunisi untuk dituangkan kembali—tentu dengan bahasa sendiri.

Paling tidak, memori kita pernah mendapati banyak hal dari pelbagai konten yang pernah kita baca. Dari hal-hal itu, sedikit elemen pikiran kita akan mengambil inspirasi dari bahan yang kita baca. Barangkali, bukan perihal substansi, melainkan lebih terasa pada diksi yang dengan kreatif kita rangkai sedemikian rupa dengan rasa bahasa kita sendiri. Sekali lagi, diksi kami adalah mengambil inspirasi, tidak serta-merta mengambil keutuhan-nya.

Ketika memang kita menyukai kalam-kalam orang lain, elok kita tetap menisbatkan (memberikan kredit penghargaan) kalam itu sebagai perkataannya, bukan perkataan pribadi. Teladan salaf (para pendahulu) kita sudah terbiasa dengan hal ini, ketelitian mereka terhadap nisbat perkataan sangat presisi. Seperti halnya pengetahuan orang terdahulu atas nama-nama orang tua sebelum-sebelumnya, hingga diketahui siapa saja yang menjadi leluhurnya.

Tidak terkecuali soal pernyataan orang per orang, apabila memang bukan milik kita, entah dalam rupa kata maupun bilangan angka, jangan lupa sebut-lah ia dan dari mana hal itu kita ketahui. Hal ini terakomodasi melalui bagaimana teknis mengutip/menukil atau membuat sitasi pernyataan orang lain. Pada banyak ranah kehidupan, lebih-lebih dunia ilmiah akademis, tidak akan pernah terlepas dari kutipan/nukilan—insyaallah. Beberapa hal yang perlu dicermati berkait dengan kutip-mengutip/nukil-menukil adalah sebagai berikut.

  • Dianjurkan menggunakan kutipan tidak langsung. Sesekali, dalam banyak kesempatan, terutama ranah nonformal, disilakan mengutip secara langsung (dengan menggunakan kutip-dua [“…”] dan menyebut nama penuturnya). Namun, dalam ranah formal ilmiah akademis cenderung sudah sangat dianjurkan untuk menggunakan kutipan tidak langsung sesuai kebutuhan (apabila data angka yang teramat presisif, elok disebut apa adanya).
  • Kata-kata kutipan/nukilan sepenuhnya menggunakan rasa bahasa sendiri. Hasil mengutip idak sekadar diganti kosakatanya, tidak sekadar dipindah (dari depan ke belakang), tidak sekadar dimodifikasi. Sepenuhnya menggunakan rasa bahasa pengutip sendiri (secara mandiri) tanpa mengganti substansi makna dari rujukan yang dikutip. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari plagiarisme. Ada kala, pada beberapa kesempatan, mahasiswa diinstruksikan untuk memparafrasa ketika menukil, tetapi praktiknya tidak sedikit dari mereka yang justru kebingungan dengan istilah parafrasa ini. Alih-alih berberat istilah parafrasa kepada mereka, kami cenderung berdiksi dengan mengungkapkan kembali dengan rasa bahasa sendiri.
  • Kekinian, untuk ranah akademis, sangat dianjurkan memperbanyak pengutipan artikel ilmiah (dari jurnal-jurnal ilmiah), baik berbahasa Indonesia maupun berbahasa asing, selama berkait dengan konteks konten topik penelitian pengutip. Tahun diterbitkannya artikel pun tidak luput dari perhatian, elok tidak lebih dari 5 tahun, syukur dapat kurang dari 3 tahun atau paling terbaru (pada tahun yang sama ketika dirujuk).
  • Artikel ilmiah rujukan dapat disarikan menjadi (minimal) dua hal: sebagai pendukung khazanah teoretis dan sebagai pembanding topik (ditempatkan pada penelitian yang relevan). Konten yang dikutip/dinukil adalah berdasar pembahasan/diskusi temuan dan hasil analisis (atau simpulan) penulis/peneliti yang dirujuk.

Penulisan daftar pustaka dari sumber referensi yang dirujuk pun beraneka macam. Terdapat ciri umum seperti mengambil dari sumber pustaka berupa buku: dari nama pengarang, tahun terbit, judul buku, lalu kota dan nama nama penerbit. Untuk referensi buku, umum digunakan berikut ini.

Kurniawan, Latif Anshori. 2020. Berbahagia dengan Menulis. Semarang: PT Media Medium Mediari.

Yang harus diperhatikan adalah kita wajib menaati kaidah gaya selingkung jurnal yang akan merbitkan artikel kita. Ketika jurnal tersebut telah menetapkan demikian, elok kita pun berkonsistensi penulisannya (dari sumber pustaka awal hingga akhir). Contoh daftar pustaka dengan selingkung “manasuka” kami di sini berikut ini.

Kurniawan, L.A.; dan Lestari, F.W. (2020). “Menakar Implementasi Kecerdasan Buatan untuk Asesmen Keterampilan Menulis Mahasiswa”. Libas: Lumbung Ilmu Bahasa dan Sastra, 9(1), 24-29. DOI: 00.0000/0000-0000000.

Contoh daftar pustaka di atas merupakan sari dari kaidah selingkung kekinian pada jamak jurnal. Muara intinya tetaplah tidak jauh serupa: nama penulis (yang dibalik, diawali nama keluarga/akhir terlebih dahulu); tahun diterbitkannya artikel; judul artikel diapit kutip-dua (“…”; untuk kaidah internasional, sudah jamak tidak menggunakan tanda kutip dua) dan tidak dimiringkan (kecuali barangkali ada istilah asing bila jurnal tersebut berbahasa Indonesia).

Nama jurnal dimiringkan (ketentuan umum sebuah terbitan, dari buku, majalah, jurnal, ataupun lainnya) dan pelbagai keterangan yang menghiasi jurnal tersebut (dari volume, isu, edisi, halaman, alamat/URL laman daring—yang sudah jamak cukup diwakili alamat DOI (Digital Object Identifier), dan seterusnya—termasuk apabila tersedia versi cetak, tidak mengapa disebut kota penerbit dan subunit lembaga penerbitannya). Apabila belum ada DOI, dapat pula ditulis alamat berkas/dokumen yang diakses terbuka dari jurnal tersebut (beberapa jurnal bahkan menyediakan akses berkas PDF artikel gratis secara langsung).

Penulisan alamat/URL laman rujukan daring (bukan jurnal, seperti warta daring, blog pribadi ahli, dan lain-lain) elok ditulis lengkap, terutama waktu pengaksesannya, yaitu dari hari apa dan pukul berapa artikel daring tersebut kita akses/baca/rujuk. Hal ini lantaran sifat dinamis sumber rujukan dari internet yang real-time (dapat berubah dengan cepat sewaktu-waktu; hak pemilik/pengelola konten untuk melakukan perubahan/updates dengan pelbagai pertimbangan).

Kurniawan, Latif Anshori. 2020. “Buat Tulisan dan Sitasi dengan Gembira”. Blog Latif Anshori Kurniawan: Faedah Berbahasa Indonesia, https://latif.id/tulisan-sitasi-gembira, diakses tanggal 11 April 2020, pukul 09.00 WIB.

Bagaimana dengan Wikipedia? Secara jamak tata aturan selingkung yang diberlakukan, terutama di Indonesia, tidak diizinkan mengutip atau merujuk Wikipedia. Hal ini lantaran begitu sering dan cepat pernyataan atau kalimat yang dirangkai wikipediawan disunting/diubah. Namun, tidak ada salahnya sebagai referensi awal pengetahuan. Walaupun belum tentu absah, tetapi paling tidak, apabila sudah ada artikel perihal sesuatu, Wikipedia pun dapat membantu. Nah, guna melatih keterampilan Anda menukil pengetahuan, tiada salahnya berkontribusi di Wikipedia, terutama Wikipedia bahasa Indonesia (tersedia pula dalam bahasa daerah senusantara lainnya). Yuk!

Jangan letih untuk terus menulis, ya! Selamat menulis!

Tulisan ini merupakan salah satu bahan/materi belajar daring perihal serba-serbi berbahasa Indonesia bagi semua teman santri/mahasiswa #BelajarDariRumah (dan/atau teman-teman pegawai swasta #KerjaDariRumah) di seluruh penjuru dunia.