Menakar Renik ‘New Normal’
Diterbitkan pada dalam Blog.
Ada beberapa munsyi (ahli bahasa) yang telah berikhtiar untuk membantu Badan Bahasa untuk mencari padana istilah yang pas untuk New Normal melalui pelbagai usulan. Ada yang memadankan langsung secara harfiah ‘normal-baru’, ada pula yang memadankan sebagai ‘kewajaran baru’. Saya pribadi lebih condong memilih ‘kebiasaan baru’ atau diserap langsung ‘Normal-Baru’ (dengan huruf kapital dan tanda hubung/dash).
Badan Bahasa pun telah merilis dan memutuskan final sebagai ‘kenormalan baru‘. Rilis masih melalui media sosial (salah satunya Instagram), belum tertambat pada basis data web KBBI Daring.
Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
New Normal merupakan peristilahan yang terdapat di dunia bisnis (atau ekonomi/geoekonomi), yang mengacu pada kondisi finansial yang terjadi saat krisis keuangan tahun 2007—2008 di Amerika Serikat (AS), dilanjutkan gelombang berikutnya dengan resesi secara global sekitar 2008—2012; masyaallah. Saat pandemi COVID-19 ini, kondisi keuangan kini pun dinilai tidak kalah serupa dengan kejadian resesi secara global tersebut, bahkan lebih parah—demikian sebagian membilang.
Dengan kata lain, term New Normal bukanlah hal baru kekinian, ia hanya dicuatkan dan lebih ditekankan kembali saat pandemi ini. Hal ini mengingat banyak hal menjadi berubah, terutama cara hidup dan berkehidupan kita sebagai manusia sehingga perilaku kita pun berubah–menyesuaikan dengan New Normal yang ada. Secara khusus, Twitter melakukan riset atas New Normal kala pandemi ini.
Tidak sedikit yang mengkhawatirkan bahwa New Normal tersebut tidak dapat direalisasikan dengan cepat, sekalipun manusia dikenal sebagai makhluk yang adaptif, bagimanapun kondisi mereka dan di mana pun mereka berada. Persentase dominan perihal tata cara berkehidupan kita diprediksi akan berbeda ke depan–insyaallah. Hal ini mengingat bahwa Coronavirus diperkirakan “tidak akan hilang”, kecuali atas Kuasa-Nya.
Upaya untuk mewujudkan vaksin yang pas terus dilakukan, selaik pengupayaan penemuan vaksi-vaksin pada beberapa abad lampau. Oleh karena itu, alih-alih kita menyerah dengan keadaan, kita tetap harus berikhtiar sedapat kita dengan pola hidup baru berikutnya, sekalipun masih entah bagaimana.
Pandemi tahun ini merupakan bagian dari ujian-Nya. Sebagai seorang muslim, tentu kita sangat percaya kepada-Nya, dan kita yakin bahwa Dia tidak akan menguji di luar batas kemampuan kita. Pemerintah dan para ahli telah berupaya, elok kita taati pelbagai protokol kesehatan yang telah mereka rilis sebagai kebijakan untuk kemaslahatan bersama.
Sangat miris memang, alih-alih makin mengimani-Nya dan taat kepada pemerintah, sebagian kita membuat pemerintah dan para ahli yang membidangi pandemi ini, terutama tenaga medis, menjadi merasa tersiakan atas apa yang telah mereka perjuangkan demi kita–astagfirullah. Selain itu, ditambah sebagian orang malah menyibukkan diri dengan perdebatan bahwa ini adalah sesuatu yang disengaja atau diistilahkan sebagai konspirasi—astagfirullah.
Terlepas dari kesahihan praduga tersebut, alih-alih kita menghabiskan waktu dan energi sia-sia untuk perdebatan nan tak berpangkal, elok dapat kita manfaatkan untuk bersama-sama memikirkan bagaimana kita shaping Norma-Baru kita sendiri (secara mandiri). Banyak negeri talah disibukkan dengan pandemi ini. Daripada kita bergantung pada negeri lain, misalnya AS atau Tiongkok, elok kita berdikari semaksimal kita. Justru ini merupakan momen yang pas untuk merealisasikannya.
Memang, di daerah tertentu, ada sebagian masyarakatnya yang bandel, tetapi untuk persentase yang taat, saya rasa masih lebih banyak (dominan). Dengan demikian, kita harap para pahlawan kemanusian, terkhusus tenaga medis, tetap bersemangat melayani sebagian saudara-saudari kita yang positif COVID-19—pelbagai doa baik kita panjatkan untuk mereka.
Didorong Lebih Mandiri dan Kreatif
Mau tidak mau, kita harus mandiri. Tiada impor barang/hal yang dapat kita kreasi sendiri di dalam negeri. Memang, pekerjaan rumah di dalam negeri untuk hal ini masih berat dan panjang, di antaranya adalah biaya produksi kita yang tidak dapat dikata murah. Namun, sekalipun mahal dan terkena beban pajak, elok kita tetap berupaya dahulu sembari kita menyiasati bagaimana biaya produksi tersebut dapat ditekan sedemikian rupa.
Produksi mesti jalan dengan tetap menaati kebijakan yang telah diberlakukan, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Hal ini lantaran rakyat, selaku consumer, perlu memperoleh hak-hak konsumsinya sehingga mereka masih dapat berikhtiar menjalani kehidupan dan ibadah. Kalau permintaan barang/jasa naik, tetapi ketersediaannya tidak berimbang alias timpang, tentu perlu diminimalisasi sebelum benar-benar berdampak meluas.
Ekspor mesti digenjot berlebih. Jangan sampai kita impor bahan pangan pokok kita, seperti besar, dari luar negeri yang dikata lebih murah. Perlu siasat pemikiran dari banyak pihak agar hal tersebut dapat diatasi. Faktanya memang demikian, tetapi jangan menyerah lantaran momentum bersama ini, yang kita sama-sama sadari ini, dapat kita memanfaatkan guna mencari khazanah solutif pemecahan masalah tersebut—semoga Dimudahkan-Nya.
Perusahaan rintinsan/startup teknologi lokal pun perlu diperbanyak, lebih-lebih yang sama sekali belum menyentuh ceruk permasalahan yang ada. Dalam arti, apabila sudah terlalu bejibun rintisan dalam bidang teknologi pendidikan, elok merancang yang lain; masalah lain yang terdapat di Tanah Air dan belum terpecahkan. Apabila ada perusahaan teknologi asing yang memasuki pasar Indonesia, berlekas-lekas kita bantu pemerintah untuk melaporkan sehingga kebijakan khusus untuk mereka segera kdirealisasikan.
Kebiasaan Baru yang Berfaedah
Kita masih mencari bagaimana New Normal kita ke depan. Alih-alih menunggu, tidak kalah elok bila kita mengikhtiarinya, ‘membentuk’-nya sejak dini. Sekitar dua bulan masa karantina ini pun sudah terasa bagaimana polanya. Kita jamak tetap di rumah, physical distancing, menjaga kebersihan, selalu mengenakan masker ketika beraktivitas di luar rumah, hingga/atau mempertebal rasa empati berlebih bagi orang-orang terdekat kita tanpa perlu bersemuka melalui platform micro-giving selaik yang diinisiasi Kitabisa.com.
Oh iya, saya rasa tidak selalu berkait dengan pemanfaatan teknologi, kok, dapat pula hal-hal baru dengan tanpa menyentuh teknologi sama sekali. Bisa saja itu bermula dari variasi kegiatan baru yang bertransformasi menjadi hobi dan diharapkan pula dapat menunjang perekonomian. Sebagai contoh, berbisnis kuliner rumahan dan dipasarkan secara daring melalu lokapasar, layanan pesan instan (seperti WhatsApp), atau bahkan dikreasi aplikasinya untuk platform iOS dan Android.
Well, ujung-ujungnya tren menunjukkan bahwa peran teknologi tidaklah kecil. Ia sebagai medium yang membantu aktivitas dan kebiasaan kita, baik di dalam rumah maupun di luar rumah. Bisa atau tidak bisa, memang perlu belajar memanfaatkannya. Perlu ditandaskan bahwa teknologi sekadar medium atau alat bantu guna menunjang apa pun yang kita lakukan.
Lebih Bersahabat dengan Teknologi Baru
Teknologi, teknologi, dan teknologi. Serasa bosan, ‘kah, banyak hal terlalau-selalu dikaitkan dengan teknologi? Tidak juga. Yang kita pegang teguh adalah kita tidak menghamba. Teknologi memang penting, tetapi ia sekadar medium. Selaik internet, ia merupakan salah satu wujud produk teknologi. Tiada teknologi internet pun, kehidupan masih berlangsung—insyaallah. Hanya saja, tidak dapat dimungkiri, ketika menatap beragam aktivitas dalam kenormalan yang baru ke depan tidak jauh dari pemanfaatan teknologi.
Barangkali, teknologi yang ada merupakan hasil pengembangan tingkat lanjut. Bisa jadi pula memang masih memaslahatkan potensi internet dan kreasi aplikasi native yang selalu terhubung daring. Namun, rasanya lebih dari itu. Kecerdasan buatan makin meningkat. Ilmu data (data science) makin didiskusikan lebih mendalam. Entah apa lagi setelah machine-learning dan deep-learning, arahnya tampak masih mengerucut pada Internet-of-Things (IoT), lebih kompleks daripada teknologi virtual dan teraugmentasi (AR-VR).
Kalau sekarang, adik-adik mahasiswa sudah dihasung untuk bersahabat dengan bahasa pemrograman Python dan sistem yang lebih rumit selaik Unix, barangkali konsep IoT ke depan lebih dari sekadar chip yang terbenam di dalam tubuh kita. Salah seorang pakar telematika pernah berseloroh, bisa jadi kita di rumah (masih dalam konteks WFH seperti saat ini) memotong rambut dengan peranti yang sudah dirancang/didesain dengan kompleksitas deep-tech berbasis IoT atau mungkin blockchain. Facebook telah mencuri start atas hal ini, ada mungkin kita perlu antisipatif dan bersiap mengembangkan teknologi berbasis blockchain sendiri.
Negeri ini masih penuh potensi. Jangan sampai potensi tersebut terdahului oleh orang-orang yang bukan dari negeri sendiri. Sebagai contoh, potensi ranah agraris kita masih terbilang memukau. Bagaimana dapat memproduksi padi secara mandiri dengan tetap mempertahankan kualitas, lebih hemat di ongkos daripada padi impor misalnya, menjadi bagian yang teridamkan. Bagaimana hutan-hutan kita terakomodasi oleh pengurusan orang-orang lokal dengan menggunakan teknologi sendiri, tentu lebih dapat dijaga kelestariannya—insyaallah.
Syukur bila dapat meformulasikan vaksin dengan memanfaatkan solusi deep-tech biometrik untuk mengatasi COVID-19 adalah lebih genting kekinian. Mengapa kita menunggu, mengapa kita berpangku tangan dan bergantung pada pemerintah? Tidak perlu menutup diri, jangan menyerah. Selama ada akses untuk mengupayakannya, mari bersama kita lakukan! Konsep ini sejalan dengan bagaimana kita saling berkolaborasi, sekaligus belajar lintas disiplin pengetahuan yang ada. Mari berbuat guna menyongsong New Normal berikutnya!