Latif Anshori Kurniawan

Maaf, Bukanlah Pribadi tanpa Cela

Diterbitkan pada dalam Blog.

Tiada pribadi tanpa cela, saya termasuk di antaranya. Betapa banyak dosa-dosa terdahulu yang telah dibuat, terutama dosa-dosa kepada sesama. Belum lagi kekinian dan masa yang akan datang, entah betapa buruknya saya. Semoga Allah senantiasa Mengampuni dan Memaafkan dosa-dosa dan khilaf-khilaf saya (baik tutur kata maupun perbuatan)—amin.

Sayang sekali, kurang dapat mengonfirmasi orang-orang terdahulu, sekarang, dan yang akan datang. Cenderung saya tidak dapat menyampaikan banyak hal, apalagi permasalahan duniawi. Apabila tidak merugikan sesama, saya cenderung diam dan memendamnya sendiri—sangat menikmatinya. Tidak jarang, bersemuka orang yang telah lalu dan memohon maaf atas laku yang saya perbuat bila masih mengingatnya atau diingatkan.

Mungkin saya terlupa, tetapi bagaimana dengan orang lain? Tiada jaminan ia telah melupakan dan telah memaafkan kita, bukan? Barangkali, ia selalu mengingat kezaliman kita hingga akhir hayatnya—astagfirullah. Makin ke sini, makin banyak safar, makin banyak pula dosa yang saya perbuat. Semoga bisa selalu dapat menghubungi dan bersemuka orang-orang yang pernah saya zalimi.

Untuk apa masih menjalin komunikasi dengan mereka? Tentu saja untuk mengonfirmasi semua kesalahan saya terhadapnya. Cenderung, untuk teman-teman yang saya tidak bermasalah dengannya—insyaallah, saya diam atau sekadarnya, sekalipun sekadar berbasa-basi sedikit untuk bersilaturahmi, tetapi tidak sering. Memang sifat penuh rahasia acap disayangkan oleh segenap sahabat, baik sahabat mengaji maupun sekolah terdahulu.

Tidak ingin keluarga dan mereka mengetahui apa yang saya alami, apalagi bila hal itu berkait dengan pengalaman berkesedihan pribadi. Sangat tidak perlu. Namun, sayang sekali, tidak jarang mendampakkannya secara tidak sengaja kepada mereka. Ada kala gelisah dan cemas, ada kala marah, tertampakkan kepada mereka, sedangkan saya tidak menceritakan apa pun. Dengan kata lain, lantaran kegemaran saya memendam, tinggal menunggu waktu untuk meletup.

Beriring waktu berlalu, saya belajar. Belajar dari banyak orang. Ada kala Allah Kirim seseorang untuk mengajari saya secara langsung, ada kala Dia sekadar menunjukkan ibrah yang dapat saya tuai/petik. Saya memegangi hal ini. Sayang sekali, beribu sayang, saya yakin banyak ibrah dari-Nya belum dapat saya tangkap dengan baik.

Saya pun terus berproses, berproses, dan berproses. Bersyukur sekali bila masih ada orang-orang yang menginggatkan salah-salah saya, menasihati, atau mengarahkan banyak hal agar menjadi lebih baik. Beruntung sekali saya tidak jarang menjadi pendengar hikmah pelajaran kehidupan dari seseorang. Lebih suka bila mendengarkan pelajaran pengalaman kehidupan orang lain secara langsung, bukan melalui media sosial.

Saya pribadi kurang setuju bila kita belajar kehidupan dari jejaring sesial atau internet pada umumnya. Betapa banyak di sana kita dapati konten perihal kehidupan orang-orang, tetapi si pengunggah konten (pemilik akun) sekadar menginginkan visitasi akunnya menjadi meningkat—wallahu A’lam. Barangkali, memang dapat, tetapi tidak semua, dan mendapatinya dari orang lain secara bertatap muka, menghadapinya di depan mata (sekalipun tidak dari dekat, tidak sedang terlibat), rasanya lebih mengena dan berpanjang terngiang lebih lama.

Kadang mendapati orang mengajari atau menasihati, saya senang sekali dan menyimaknya—tanpa sedikit pun menyela bahwa saya telah mengetahuinya. Lebih suka menjadi amatir dan dinilai tidak becusan sebab dari situ saya pun dapat menuai ibrah darinya—dari orang yang Dikirimkan-Nya itu. Tidak, saya tidak pernah merasa didekte, sekalipun oleh anak kecil. Bisa jadi malah dari anak-anak yang jauh lebih muda dari kita, kita dapat memetik sesuatu. Apalagi, apabila sempat tebersit memikirkan bahwa saya lebih baik dari seseorang itu—siapa pun ia, adalah sebuah kehancuran diri.

Apabila menyentuh permasalahan duniawi, saya cenderung diam dan melupakan bila ada khilaf dari seseorang. Seperti halnya ketika ibunda saya kurang berkenan, saya tetap tersenyum kepada beliau, dan menganggap kekurangberkenanan beliau tersebut tidak pernah terjadi. Indah, bukan? Selalu ada maaf bagi beliau. Apabila ada orang yang barangkali tidak tahu bila apa yang ia perbuat bisa jadi menyakiti, biarkan saja, dan tidak perlu mendoa yang tidak-tidak, kecuali doa kebaikan untuknya. Nikmat, bukan, bila kita santai menjalani kehidupan ini?

Untuk apa kita memusingkan pernak-pernik duniawi orang lain, yang menyita pikiran kita, baik yang dirasa merugikan kita atau sekadar angin-lalu? Namun, jujur, tidak mudah, apalagi bila berkait dengan khilaf pribadi, yang masih selalu terbayang-bayang. Seolah kezaliman yang saya perbuat begitu menyakitkan. Secara reflek, tidak jarang saya minta maaf lantaran tidak pernah tahu dalam momen kapan dan konteks bagaimana saya menzalimi mitra saya.

Sekalipun canda, sekalipun senyuman, masih dapat khawatir bila dimaknai lain (diprasangkakan berbeda atau keliru). Saya berupaya meminta maaf lebih awal dan lebih sering ketika bersemuka. Hal ini lantaran tidak pernah tahu kapan akan bersemuka kembali. Saya cenderung memohon maaf berlebih.

Tidak peduli orang-orang malah jengah mendapati saya seperti ini, saya tetap terus meminta maaf. Sekali lagi, hal ini sebab saya tidak tahu barangkali saya menzalimi orang itu meskipun sekadar saya tampakkan gigi dan pipi cabi yang makin menggembul ini. Pernah mendapati pengalaman pribadi, saya sekadar senyum kepada seseorang yang tidak dikenal, tetapi orang itu malah tampak gusar. Barangkali, ia mengira saya sedang menghinanya, atau memang momennya kurang pas, padahal saya sekadar tersenyum. Saya maklumi dan maafkan.

Kita berupaya ramah, tetapi orang malah kurang berkenan? Bisa saja terjadi, bahkan berkali-kali mendapati kisah yang nyaris serupa dari seorang teman. Lebih baik memang diam, ya. Lebih selamat dan lebih dapat meminimalisasi mudarat. Diam mendengarkan banyak kisah orang, dan tidak pernah berbetik sedikit pun untuk memeriksa keabsahannya.

Uji keabsahan itu pun pernah saya dapati secara langsung untuk diri saya. Tiada yang salah, barangkali memang diperlukan sebab saya memang tanpa cela. Justru dari situ, saya dapat merima masukan dari-Nya. Hal ini lantaran orang yang ragu tersebut memang Dikehendaki-Nya mendapati saya. Semua ini terjadi atas Izin-Nya, bukan?

Menjadi diam dan banyak belajar lebih saya minati. Saya lebih ingin belajar secara langsung. Bersemuka orang per orang, pengalaman per pengalaman, atau ibrah per ibrah. Saya hanya berupaya untuk meminta maaf bila mendapati orang-orang, baik yang telah lalu maupun yang terbaru kini.

Tempaan dari-Nya secara langsung sangat saya nikmati. Sebagai lelaki yang tumbuh tanpa figur ayah, saya mendapati serbaneka ibrah berkehidupan dari-Nya. Saya pun menikmatinya sembari berupaya tidak jemu mengkroscek dan merefleksi diri. Alhamdulillah, masih dapat khawatir bila perkataan dan perbuatan saya barangkali melukai sesama. Khawatir pula bila percaya diri berlebih bahwa apa yang melekat pada diri untuk orang lain adalah tanpa cela.

Saya meminta maaf kepada Anda yang sebesar-besarnya. Saya yakin ada salah saya kepada Anda. Tolong jangan sampaikan melalui grup percayakapan pesan instan atau media sosial, elok kita bersemuka dan sampaikanlah kepada saya secara langsung. Insyaallah, saya akan menerima-nya. Dari Anda memaafkan saya, berharap Dia Mengampuni saya pula. Semoga Allah senantiasa Memaafkan khilaf-khilaf kita.