Ikhtiari Laptop Lama dengan Linux Terkini
Diterbitkan pada dalam Blog.
Bekerja dari rumah beberapa pekan lampau sedikit membuat saya cukup gemas sehingga memacu untuk lebih banyak beraktivitas di dalam rumah—masyaallah. Bukan untuk bersih-bersih, bukan pula untuk beres-beres, melainkan gemas untuk menyentuh kembali beberapa barang yang tersimpan di dalam rumah, tetapi sudah lama tidak digunakan. Salah satunya adalah unit laptop Sony VAIO yang sudah saya istirahatkan lebih dari 3 tahun lalu—masyaallah.
Jenama VAIO ini masih versi perusahaan Sony, sebelum akhirnya beralih kepemilikian (ke perusahaan lain—sama-sama dari Jepang). Dapat dikata termasuk salah satu seri terakhir yang diproduksi Sony. Yang membuat terkesima, masyaallah, laptop masih dapat dihidupkan. Sempat saya dual-boot antara Windows (genuine, bawaan) dan Linux, keduanya masih berjalan dengan normal (sedikit melambat saat di Windows). Pada Windows, saya coba me-reset dari nol biar bekerja lebih ringan. Mendekat proses reset yang hampir selesai, otomatis melakukan upgrade Windows 10 yang paling final. Lama prosesnya, tetapi saya bersyukur ternyata masih support untuk pembaruan versi terkini—alhamdulillah.
Tidak banyak yang dipasang pada Windows, sekadar perangkat Office 2010 (genuine), peramban web Firefox, dan pemutar audio-video VLC. Untuk Office 2010, sudah muncul notifikasi bahwa ia tidak akan didukung oleh Microsoft lagi pada Oktober nanti. Bukan masalah bagi saya, yang penting, kami masih menggunakan perangkat lunak asli dan legal—insyaallah. Untuk Windows, cukup, itu saja, hal ini lantaran saya tidak terlalu sering ber-Windows pada peranti pribadi. Sengaja tetap biar terpasang lantaran keaslian Windows-nya. Tentu saja, selesai dengan Windows, saya pun ingin memasang Linux.
Linux yang terpasang untuk perangkat lain sudah ber-Slackware. Pernah merasakan Manjaro, tetapi ujung-ujungnya kembali ke Slackware. Alih-alih Manjaro, barangkali lebih memilih Fedora bila mesti memilih. Namun, lantaran sistem Linux sebelumnya pada laptop ini adalah Ubuntu, saya pun ingin me-replace-nya dengan Ubuntu pula. Atau, setidaknya sama-sama turunan Debian lainnya, misalnya LinuxMint/Mint. Hal ini lantaran keluarga Debian masih asing bagi saya pribadi.
Lahir di keluarga/komunitas Slackware cenderung lebih mengakrabkan saya pada sistem operasi ber-kernel Linux non-Debian. Dengan kata lain, selain Slackware, saya acap prefer disto Linux dari Red Hat (seperti Fedora) atau SUSE (seperti openSUSE). Tentu saja, FreeBSD dan OpenBSD untuk kebutuhan yang lain, yang lebih menekankan pada ekosistem peladen workstation guna mendukung tugas-tugas infrastruktur yang lebih kompleks. Nyaris terlalu lama tidak bersentuhan dengan keluarga Debian, sekalipun Ubuntu.
Teringat sekitar hampir dua dekade lalu, distro Mandrake (terima kasih kepada Pak Harry Kastoro yang mengenalkan saya dengan distro Linux asal Prancis ini pada awal 2000-an) lebih acap digunakan alih-alih Knoppix (salah satu distro turunan Debian yang populer saat itu, sebelum awal kejayaan Ubuntu). Banyak perbedaan di sana-sini, salah satunya berkait dengan pemartisian ruang penyimpanan cakram keras (hard-disk) yang dapat ditengok melalui perintah cfdisk—yang menurut saya sedikit aneh. Cara jadul, bukan? Sampai sekarang pun masih menggunakan perintah ini, lebih-lebih di Slackware (belum dihilangkan sama sekali).
Knoppix sudah luar biasa saat itu. Apakah Ubuntu sudah dapat menggantikan Knoppix terdahulu? Rasanya bukan Ubuntu, melainkan Mint. Sempat mencoba Ubuntu versi terbaru (20.04), kemudian tertantang untuk Mint 20, sekalipun masih versi beta. Versi beta menandakan bahwa distro tersebut belum sepenuhnya ‘matang’ untuk dirilis, tetapi sudah dapat dicoba untuk kebutuhan testing. Tidak disarankan untuk mendukung atau menunjang produktivitas sehari-hari, tetapi bukan tidak mungkin tidak kalah andal alih-alih versi stabilnya.
Ketika memasang Mint untuk pertama kali dari citra ISO yang mudah diunduh dari lumbung/repositori resmi yang berafiliasi, beberapa hal masih perlu dikulik. Tidak jauh berbeda dengan memasang Ubuntu sebenarnya, tetapi agaknya lebih ringan bila dengan Mint. Mint banyak membantu kustomisasi di banyak tempat. Sampai-sampai, apabila Anda jarang menggunakan Linux, barangkali Anda mengira bahwa antara Mint dan Ubuntu adalah dua distro yang berbeda. Induk Ubuntu adalah Debian, sedangkan induk Mint adalah Ubuntu. Hal ini tentu bukan masalah bagi Anda yang sudah terbiasa dengan Debian, kecuali saya.
Saya sedikit sempat khawatir apakah laptop lama ini dapat difungsikan dengan distro Linux terbaru. Saya pribadi masih sangat percaya dan pernah mengalaminya sendiri ketika meng-handle komputer pribadi saat sekolah menengah dahulu, sistem Slackware dengan desktop XFCE atau MATE dapat membantu statusnya dari sekadar mesin yang tidak terpakai. Teringat komputer ini sudah disumbangkan ibunda saya ke salah satu sekolah di dekat rumah ibu sebelum saya pindah ke Semarang (dikabarkan masih aktif digunakan hingga sekarang—alhamdulillah, semoga senantiasa bermanfaat).
Kekhawatiran atas laptop lama ini, yang barangkali kurang mendukung Linux terbaru, akhirnya sirna. Kebetulan telah mengunduh Ubuntu versi terbaru, ada cakram lepas bekas bootable MacBook Pro yang berisi El Capitan dan Yosemite yang dapat digunakan. Cukup dengan program BootIce dan rewrite (dari NetBSD) untuk pemartisian ulang dan pembenaman sistem, bootable cakram lepas USB-nya pun dapat dijalankan dengan baik. Asumsi saya (wah, biasanya asumsi itu berbahaya, ya) mungkin laptop tua ini pun masih dapat menjalankan Mint dan/atau distro Linux yang lebih mayor—insyaallah.
Untuk alokasi cakram keras, saya cukup mengalokasikan sekitar 50 gigabita untuk Linux. Terbilang kecil bila dibandingkan dengan alokasi sistem Linux kekinian dengan cakram lepas yang sangat lega. Kalau di Windows, barangkali sangat kurang untuk 50 gigabita, tetapi tidak dengan Linux. Akhirnya, saya masih prefer dengan ext4 untuk root Mint nanti, dan sedikit (sekitar 500 megabita) untuk /boot. Partisi /boot diperlukan lantaran laptop ini menggunakan EFI. Sekalipun fitur Secure Boot pada BIOS sudah dinonaktifkan (di-disable), lantaran sudah ber-UEFI, elok kita alokasikan sekitar lebih dari 300 megabita guna mengakomodasi EFI dari Linux kita.
Selesai instalasi, tiba saatnya menggunakan Mint. Oh iya, Mint yang digunakan kali ini menggunakan lingkungan desktop MATE, lebih ringan dari Cinnamon, barangkali tidak kalah ringan bila dikomparasikan dengan XFCE. Suka kecanggihan desktop KDE, sih, tetapi kita realistis saja sebagai manusia, he he he. Kebiasaan saya di Linux adalah memastikan apa saja yang perlu dikulik sebelum digunakan—kebiasaan yang terbawa dari Slackware. Salah satunya kita perlu memperbarui sistem.
Memastikan perangkat pendukung sistem dalam keadaan terbaru adalah sebuah keharusan—menurut saya. Sepanjang perangkat kerasnya (hardware-nya) masih didukung, mengapa tidak. Kalaupun terpaksanya versi yang paling baru menurut sistem yang digunakan adalah versi lama dari umumnya versi perangkat yang digunakan, masih bukan masalah (sepanjang masih mendukung, masih dapat digunakan). Tengok saja Linux untuk enterprise (korporasi), misalnya dari Red Hat atau SUSE, mereka lebih mengutamakan versi software yang stabil, sekalipun dapat dikata sebagai versi lama. Hal ini tentu kembali pada kebutuhan.
sudo apt update && sudo apt upgrade
atau
sudo apt-get update && sudo apt-get dist-upgrade
Alangkah elok, sih, sumber lumbung yang ditautkan cukup dekat dengan posisi kita. Kalau kita di Indonesia, barangkali dapat mengandalkan repo dari Kambing milik Universitas Indonesia. Apabila belum ada, masih terdapat dapat ditautkan dengan repo asalinya (default-nya), atau yang cukup dekat dengan Indonesia, seperti Australia atau bahkan Amerika Serikat.
Mint memberikan saran agar kita membuat system snapshots menggunakan Timeshift. Hal ini memudahkan kita sebagai jaga-jaga bila sistem kita mendadak broken di kemudian hari (dan dikondisikan dengan versi sistem sebelum broken). Barangkali, fitur ini seperti Time Machine di macOS atau Recovery di Windows. Saya pribadi tidak mengeksekusinya lantaran keberbatasan ruang penyimpanan.
Pada sistem lain pun, alih-alih menggunakan fitur ini, lebih suka mengulik apa yang salah. Kalaupun tidak dapat diakomodasi, saya lebih tertarik dengan fresh re-install. Teringat saat remaja dahulu (saya diajari Pak Agus Haryawan untuk) menggunakan Norton Ghost berbasis DOS untuk me-replace sistem Windows XP yang corrupt.
Biasanya, perangkat lunak perkantoran dari LibreOffice sudah mencukupi untuk kebutuhan produktivitas. Hal selanjutnya yang dicari, guna menemani produktivitas bekerja kita, salah satunya adalah memutar audio-video. Mint, lebih-lebih Ubuntu, tidak serta merta dapat memainkan berkas audio-video kita. Kita masih perlu memasang beberapa dukungan yang diperlukan.
Khusus Mint, kita dapat menggunakan parameter berikut. Parameter berikut diracik khas oleh kreator Mint, disesuaikan dengan kebutuhan sistem.
sudo apt install mint-meta-codecs
Dapat pula menggunakan versi untuk Ubuntu. Sekali lagi, perlu diingat bahwa Mint merupakan turunan dari Ubuntu. Dengan kata lain, apa pun baris perintah yang kita eksekusi untuk Ubuntu, kemungkinan besar juga dapat diterapkan pada Mint.
sudo apt install ubuntu-restricted-extras
Apabila kita tidak puas dengan aplikasi yang tersedia secara default lainnya, sila manfaatkan Software Manager (atau Software Centre pada Ubuntu). Barangkali, kita lebih suka Chrome (dari Google) alih-alih Firefox. VLC masih sangat populer di Linux. Kekinian, ada dukungan Spotify untuk menikmati siniar (podcast) bagi para pengguna Linux. Dropbox dan Skype pun tersedia untuk Linux. Jangan tanya Telegram, ia langsung tersedia untuk platform Linux sejak awal kemunculannya.
Kdenlive dapat digunakan untuk mengedit video. Perlu diingat, ketika memasang Kdenlive, lantaran ia merupakan bagian dari perangkat KDE, beberapa dukungan seperti pustaka KDE dan terutama Qt sangat diperlukan (akan dipasangkan otomatis ketika menginstal). Selain Kdenlive, ada Blender, Gimp, Inkscape, dan sebagainya. Untuk beberapa perangkat dukung multimedia ini, saya cenderung belum memasangnya bila memang belum diperlukan. Bloated apps untuk sistem yang saya inginkan lebih sederhana adalah bukan solusi. Masih berprinsip: satu aplikasi untuk satu tugas.
Saya berharap sistem Linux yang terpasang, yakni Mint ini, pada laptop tua ini cukup bertahan lama seperti Slackware pada mesin lain. Paling tidak, lantaran versi Mint ini merupakan turunan Ubuntu 20.04 versi LTS (long time services), untuk sekitar 5 tahun ke depan, masih cukup terakomodasi. Lagipula, saya bukan lagi geek selaik kala remaja dahulu, yang mengikuti updates dan upgrade sistem Linux sesering mungkin (dengan versi-versi perangkat terbaru). Sekalipun begitu, sesekali bernostalgia dengan mengulik kernel tentu masih menyenangkan, tetapi barangkali lebih memilih mengeksekusinya di Slackware, ya.
Omong-omong, sampai hari ini, saya masih memotivasi segenap mahasiswa untuk belajar menggunakan dan membiasakan diri dengan Linux. Apa pun distro yang mereka pilih, yang penting: Linux. Mumpung masih muda dan memiliki energi berlebih untuk belajar. Masih selalu menandaskan pada perangkat lunak/sistem legal (lantaran berlisensi terbuka) alih-alih menggunakan sistem bajakan. Kepekaan atas hal ini lebih esensial alih-alih sekadar ingin menggunakan Linux.
Sebagai salah satu pemantik, saya dapat jamin—insyaallah—tiada startup teknologi yang tidak menggunakan Linux, Unix/BSD, atau sistem terbuka lainnya, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Tidak perlu diragukan lagi keandalan Linux untuk pelbagai kebutuhan komputasi kita kekinian, apalagi jamak kebutuhan itu lebih dari 50% berkait dengan internet. Saya masih yakin bahwa terdapat peran Linux guna menopang teknologi internet yang masih kita gunakan hingga saat ini.
Semoga laptop tua saya masih Diizinkan-Nya awet bersama Linux (hingga benar-benar tidak dapat digunakan lagi)—amin. Sekalipun salah satu engselnya sudah patah, memori (RAM) tidak lebih dari 2 gigabita, tentu baterainya sudah tidak dapat diselamatkan lagi, alhamdulillah masih Diizinkan-Nya dapat digunakan dan membantu kami menyelesaikan beberapa tugas/pekerjaan. Terbilang masih prima. Beribu yakin—insyaallah—laptop ini masih gegas bersama Slackware, terlebih bila dibalut desktop XFCE atau bahkan yang lebih ringan.
Untuk sementara, masih menggunakan Mint-MATE sebagai basis sistem pada laptop lama ini. Mm, mungkin saja mencoba Ubuntu-MATE. Sedikit tertarik dengan Pop!_OS dari System76 yang sangat idealis, tetapi belum, ah, lantaran masih sama-sama berbasis Ubuntu (dan berdesktop Gnome pula). Bisa jadi pula sepenuhnya kembali dengan Slackware sebab kenyamanannya—wallahu A’lam. Adakah laptop atau komputer lama Anda di rumah tidak terjamah lagi? Barangkali masih dapat digunakan bila menggunakan Linux—atas Izin-Nya (insyaallah).