Latif Anshori Kurniawan

Sebab Kadar Diri Ini Teramat Berbatas

Diterbitkan pada dalam Blog.

Masih begitu heran dengan orang-orang yang menganggap bahwa wabah/pandemi yang masih melanda, yakni COVID-19 dari novel Coronavirus, adalah hasil rekayasa (kalau tidak boleh dikata konspirasi)—wallahul musta’aan. Kami berlepas diri dari orang-orang yang mengatakan hal-hal berbau negatif (tuduhan konspiratif tidak berdasar). Sangat ingin jauh dari negative thoughts. Nan elok dan pasti, kita yakini bahwa pandemi ini terjadi atas Izin-Nya semata. Lebih-lebih bila disangkut-pautkan dengan urusan perpolitikan yang ada, kami memilih diam. Hal ini lantaran kami taati pemerintah.

Kewajiban kita sebagai muslim adalah patuh atas apa yang pemerintah Indonesia sampaikan melalui pelbagai kebijakan mereka. Hal ini sebab kebijakan-kebijakan yang ada adalah bermaslahat bagi umat. Tidaklah sedikit pun kita Diizinkan-Nya mencibir atau mencela pemerintah di mana pun. Menjaga kewibawaan mereka, selaku aparatur pemerintahan, adalah pengejawantahan respek kita terhadap mereka, sekaligus berdampak positif bagi rakyat dan bangsa tercinta ini.

Lantaran keutamaan menjaga kehormatan pemerintah, di media sosial pun, sangat tidak dianjurkan kita berkomentar yang tidak-tidak atas mereka. Kewajiban kita justru menjadi netral, netral sebagai rakyat Indonesia, tidak memihak sudut pandang politik mana pun. Saya pribadi pun cenderung agnostik untuk hal itu, tidak memihak kubu (yang masyaallah ternyata masih menggaung di) mana pun, baik mengatasnamakan 01 maupun 02. Sangat membatasi diri untuk mengakses media sosial yang membicarakan hal-hal politik praktis dari sudut-sudut yang cenderung sempit itu.

Kita doakan kebaikan bagi semua aparat yang ada, dari Bapak Presiden Joko Widodo, jajaran kabinet, para menteri dan kementerian/departemen yang dinaungi, para gubernur (Pak Anies Baswedan, Pak Ridwan Kamil, Pak Ganjar Pranowo, dan semuanya), para anggota perwakilan rakyat yang budiman, hingga pos-pos pembuat kebijakan pada ranah yang terkecil di sekitar lingkungan masyarakat (seperti RT-RW). Mari saling berweharima untuk menepis serbaneka hoaks perihal pemerintah.

Saat mahasiswa dahulu pun, saya tidak pernah mengikuti aksi apa pun—alhamdulillah, lebih-lebih aksi merespons perpolitikan melalui demonstrasi di jalanan—astagfirullah. Saya cenderung diam dan tidak berkomentar, dan mendoakan yang terbaik bagi para pemimpin kita. Saya pun menggemari pemimpin terdahulu, salah satunya Pak Soeharto. Entah mengapa beliau menjadi salah satu figur kekaguman diri dengan karakter dan sikap tenang beliau atas pelbagai momen yang terjadi, apalagi mendapati beliau di media elektronik saat kecil dahulu.

Tidak banyak bersinggungan dengan dunia politik adalah mendamaikan. Ada kala kita terlalu berpecah belah lantaran sudut pandangan politik yang berbeda. Dalih yang sering digaungkan adalah perbedaan adalah berkat, tetapi realitanya tidak jarang kita saling memusuhi sebab idola politik kita dicaci dan dihina—astagfirullah. Sebagai rakyat kecil pun, tentu kita perlu kritis berpikir yang sesungguhnya atas realita yang terjadi. Betapa sering kita dapati orang-orang yang semula berhaluan sisi politik di lini yang satu, tidak berbilang bulan ia sudah beralih ke lini yang lain.

Nasihat terbaik adalah dari para ulama. Mereka menasihati kita untuk tidak disibukkan dengan kalam-kalam politik kepemerintahan. Mereka pun mengingatkan kita agar tidak mencibir sedikit pun pemerintah di mimbar-mimbar. Hal ini lantaran metodologi mengkritik pemerintah di publik adalah bukan dari bagian Islam sedikit pun. Bahkan, aksi kritik tersebut cenderung mendekati/mengikuti metodologi yang diajarkan oleh kaum Khawarij—wallahul musta’aan.

Terdapat saluran-saluran yang dapat dimanfaatkan untuk menasihati pemerintah, dan hal ini bukanlah kewenangan kita. Kita masih memiliki ulama di Arab Saudi, kita masih memiliki para elder atau senior (seperti asatiza; para ustaz) yang kita hormati untuk dapat menyampaikan aspirasi yang ada. Penyampaian pendapat tentu ada etikanya, ada norma yang perlu diikuti. Apalagi, segenap aparatur pemerintahan kini adalah terbilang jauh lebih senior daripada kita, elok kita sampaikan dengan santun melalui pelbagai saluran yang diizinkan dengan bimbingan ulama dan asatiza.

Tidak jarang sebagian kita begitu mudah reaktif atas sesuatu, ikutan-ikutan tren pembicaraan perihal politik terkini, tetapi sejatinya tidak tahu-menahu esensinya sama sekali. Tidak jarang pula begitu mudah emotif dan terhasut atas perkataan-perkataan yang semestinya kita sikapi dengan tenang sebelu yang utama, yaitu sikap tabayyun. Tabayun pun ada etikanya tersendiri, tidak serta-merta dengan dalih mengkroscekkan sesuatu, kita dapat bertabayun. Tidak semudah itu, ya Kawan! Berhati-hatilah dari pengatasnamaan tabayun, tetapi sejatinya adalah kunci awal dari gibah.

Betapa tidak sedikit orang membilang, “Sebenarnya, tidak bermaksud menggunjing, nih, tetapi cuma ingin tabayun,” tetapi ia ingin memuluskan aksi gibahnya. Gibah tetaplah gibah, bagaimanapun rupa selubung yang disiasati atasnya. Gibah adalah tetap tercela. Hal yang paling baik adalah tetap perbanyak diam dan terus-menerus mengikuti nasihat dan arahan ulama-asatiza yang berjalan di atas manhaj yang lurus. Kapasitas kita begitu berbatas, Teman, begitu pula hal ini senada dengan prasangka kita. Siapa sangka tidak sedikit prasangka berkencenderungan menjadi awal keburukan.

Prasangka yang amat berbatas tersebut elok kita minimalisasi sedemikian rupa. Masih ada hal lain yang lebih elok dilakukan, lebih-lebih lebih penting dan genting bagi akhirat kita daripada menyibukkan diri dengan pelbagai informasi politik. Alih-alih mengobrolkan politik yang bukan kewenangan kita sedikit pun, bukankah lebih baik memperbanyak zikir dan amal saleh yang di-sunnah-kan Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wasallam? Kita perlu akui, ya, bahwa ketika mengakses kabar perpolitikan di dunia maya pun, kita masih acap abai dari berzikir kepada-Nya, bukan? Astagfirullah.

Teringat kalam nasihat dari salah seorang sahabat terdahulu, yang entah di mana ia sekarang, bahwa fitrah kita sebagai manusia adalah biasa-biasa saja. Kita dilahirkan biasa, meninggal pun tidak jauh beda dengan manusia lain (dengan tradisi syariat yang biasa saja). Yang membuat kita bernilai adalah Allah semata, melalui pelbagai syariat yang Dia Tetapkan indah untuk kemaslahatan dan kebaikan kita. Dari serbaneka Anugerah-Nya yang tidak ternilai, bahkan jamak dari pelbagai arah yang tidak disangka-sangka.

Fitrah yang sederhana tersebut semestinya kita dominani dengan rasa syukur berlebih, salah satunya dengan mengingat-Nya berlebih (terutama memohon ampun lantaran nyaris kita sendiri pun tidak dapat menjamin bagaimana sejatinya kita di Mata-Nya). Kita amat berbatas, Kawan. Janganlah teperdaya dengan kapasitas kita, hal ini pun dapat melekat pada diri kita lantaran atas Izin-Nya untuk kita. Dia pun Dapat Mencabut Izin-Nya sewaktu-waktu, atau mungkin masih Tetap Melekatkan Izin tersebut pada kita, sepenuhnya adalah Kewenangan-Nya.

Porsi kita tidaklah begitu besar di dunia ini. Kita hanyalah hamba untuk-Nya, bukan untuk duniawi ini (lebih-lebih untuk urusan renik antarkita yang justru dapat merenggangkan kita). Kita perlu bersabar berlebih, berikhtiar semampu kita untuk hal ini lantaran sabar tidak berbatas—insyaallah. Sabar memang bukan berarti diam, lebih pada menahan diri dan mengembalikan segala sesuatunya kepada-Nya. Insyaallah, khair bila sabar kita hanya ingin mengharap Wajah-Nya semata, bersemuka di Jannah-Nya yang teramat Indah.