Belajar (Berempati) Daring yang Menjadi Kebiasaan Baru
Diterbitkan pada dalam Blog.
Senang sekali, teman-teman mahasiswa telah berupaya maksimal hingga semester genap paripurna. Hasil belajar mereka pun dirilis sedemikian rupa. Jamak pengajar/dosen berikhtiar maksimal guna mengapresiasi proses belajar mahasiswa. Namun, tiada gading yang tidak retak, sebagian mahasiswa pun mengonfirmasi beberapa dosen untuk nilai-nilai yang tercantum pada kartu hasil studi mereka.
Saya pribadi, untuk saat pandemi ini, tidak begitu mengekang adik-adik mahasiswa. Tidak kekang, dalam arti, menyelaraskan dengan kadar kondisi mereka. Pembelajaran daring yang dihelat penuh memang tidak selalu mulus, tetapi paling tidak dapat terealisasi dengan keberbatasan yang ada. Medium pesan instan WhatsApp (WA), minimalnya, cukup dapat menampung atau mengakomodasi proses pembelajaran daring.
Ideal? Tentu saja: belum. Saya pun tidak ingin memaksa mereka untuk mengidealkan proses. Apabila ingin ideal, bisa saja saya tidak memanfaatkan WA sedikit pun. Barangkali, WA sekadar untuk menotifikasi hal-hal yang diperlukan. Mungkin saja tidak memanfaatkan surel-menyurel lagi, cukup memanfaatkan beberapa aplikasi yang sangat populer di dunia korporat kekinian.
Zoom tentu saja masih diandalkan. Papan tulis digital kolaboratif (dalam pelbagai aplikasi pihak ketiga lainnya) bisa jadi dapat dioptimalkan. Namun, kekuatan sinyal memang perlu dipertimbangkan, di samping ketersediaan kuota berlimpah yang diperlukan. Tidak menutup kemungkinan platform Slack dan Asana barangkali lebih menarik untuk memantik dan mencermati portofolio tugas-tugas yang telah dikerjakan. Dengan demikian, setiap performance mahasiswa dapat dipantau, dan antarmereka pun dapat saling memantau.
Ruang penyimpanan ponsel, gawai, atau laptop pun perlu dipastikan kelegaannya untuk menanam layanan-layanan tersebut. Dengan kata lain, pendek kata, sayang sekali, beberapa hal tersebut masih baru angan bersama. Tidak setiap kondisi dapat mewakili keidealan yang diharapkan, dan hal ini sangatlah wajar sehingga kita tetap perlu mengedepankan empati dan pemakluman atas variasi keadaan mahasiswa dari tempat tinggal mereka.
Keterbatasan, sejatinya, adalah bukan halangan, justru menjadi tantangan tersendiri. Kita sepenuhnya tidak dapat menuntut mahasiswa, diperlukan kerja sama atau kolaborasi antarpelbagai pihak. Solusi-solusi pun bertebaran didiskusikan dan dicuatkan untuk mendukung atau mengoptimalkan proses belajar berikutnya. Masih belajar daring? Mengapa tidak? Pantang surut menghadapinya. Layanan, platform, atau aplikasi yang digunakan dapat berupa apa pun. Nan pokok, semua-nya terakomodasi.
Mau tidak mau, begitulah kebiasaan baru kita ke depan—insyaallah. Sembari berproses, sembari terus/selalu mencari cara untuk menemukan jalan tengah terbaik, yang berimbang adil bagi siapa pun. Selalu akan mudah didapati ketidakidealan, kekurangselarasan dengan tujuan di awal. Namun, selama masih dapat bernapas, untuk urusan dunia, masih banyak jalan untuk mengikhtiarinya.
Konsep belajar daring ke depan jelas sangat(-sangat) senada dengan konsep merdeka belajar yang digaungkan oleh Kemdikbud. Mahasiswa dapat belajar secara luas dan terbuka dari mana pun. Sebebas-bebas mereka mendapati objek materi untuk dipelajari, sekalipun lintas disiplin ilmu. Sebagai pendidik, masih terbilang normatif bila sekadar mengkreasi konten materi berbasis multimedia. Namun, dengan belantara nan begitu luas di dunia maya, elok kita membebaskan mahasiswa untuk belajar dari pelbagai platform. Mesti selalu diingat, memanfaatkan media sosial (seperti Instagram dan YouTube) bukanlah keharusan.
Tugas pendidik yang paling pokok adalah mengarahkan. Dari pelbagai konten yang tersaji di pelbagai platform daring, mahasiswa dapat diarahkan untuk mencari temuan-temuan baru dari sana. Mereka pun dapat didorong untuk lebih banyak membaca dan menggali dari pelbagai sumber tepercaya. Salah satu yang tidak kalah penting adalah penekanan bagaimana mereka mampu memfilter diri secara mandiri, mana konten yang perlu dikonsumsi, mana yang kurang perlu untuk konteksi prioritas belajar mereka.
Bukan merupakan rahasia umum lagi bahwa internet menyajikan banyak hal, termasuk banyak pula distraksi di dalamnya. Distraksi yang ada cenderung lebih mengarah pada ranah kurang serius. Manusiawi, jamak kita pun lebih suka hiburan alih-alih menyimak konten yang berat. Sebagai dosen, tidak perlu memberatkan diri untuk mengkreasi media pembelajaran berbasis multimedia yang ciamik bila hal itu malah membebani diri.
Syukur bila berkenan merangkainya materi ajar berbasis IT-nya dikombinasikan dengan pelbagai bahasa pemrograman yang dibutuhkan; ya, membuat aplikasi. Tidak masalah dengan kreativitas, tetapi perlu mengingat kadar diri. Namun, diharapkan memang lebih dapat menantang diri sendiri untuk belajar hal-hal baru. Prioritas utamanya adalah fokus melayani mahasiswa dengan pemaksimalan diri.
Alih-alih dosen yang membuat (dengan beban kinerja yang tidak sedikit dan skedul yang teramat padat), elok dapat diarahkan kembali agar mahasiswa yang belajar mengasah kreativitas mereka untuk merangkai pelbagai bahan dan sumber belajar digital yang diperlukan. Hal ini dapat diimplementasikan dengan penugasan dalam blended-learning yang telah dipadukan/diselaraskan dengan kurikulum “pandemi” terbaru.
Pada akhirnya, semuanya akan belajar, belajar hal-hal yang baru. Semua harus dapat saling memahami dan memaklumi, mengedepankan empati berlebih selama berdaring ria adalah hal yang tidak kalah bijak dibiasakan. Pembiasaan-pembiasaan baru mesti dibarengi dengan pegangan values nan kokoh. Baik saat luring maupun daring, ada proses belajar berempati yang baru pula di sana. Hal ini adalah sebuah keniscayaan lantaran nilai-nilai kehidupan akan terus senantiasa berlaku selama manusia masih dapat berproses di dalam kehidupannya. Mari saling ingat-mengingatkan!