Latif Anshori Kurniawan

Dampingi Putra-Putri Anda Belajar Daring

Diterbitkan pada dalam Blog.

Alhamdulillah, dikabarkan bahwa vaksin telah didatangkan pemerintah dari luar negeri dan telah tiba di Indonesia. Kita doakan agar pemerintah senantiasa Dilancarkan-Nya guna pendistribusian vaksin yang ada. Pemerintah pun menandaskan bahwa dimungkinkan seluruh rakyat memperoleh vaksin tersebut. Sebagai rakyat yang baik, hendaknya kita bersabar. Sekali lagi, semoga Allah Memudahkan segala ikhtiar baik pemerintah guna kebaikan seluruh rakyat Indonesia.

Pemerintah pun, insyaallah, akan menyampaikan sms blast kepada segenap penerima (prioritas) vaksin, terutama pada segenap pihak, di antaranya para sukarelaawan, pada garda terdepan upaya penanggulangan COVID-19 ini. Sempat dikabarkan penyebarannya turun dan terkendali (dengan hasil survei yang menunjukkan kurva melandai), mendadak lebih-kurang satu bulan lampau Coronavirus kembali menggeliat.

Serangan virus yang telah mewabah di seluruh penjuru dunia ini makin masif. Beberapa negara Barat pun memutuskan diri untuk menutup pintu negeri mereka (dengan kebijakan karantina wilayah). Di Indonesia, tiada lockdown, tetapi pemerintah selalu giat mengampanyekan agar seluruh warga menerapkan disiplin diri masing-masing guna mematuhi protokol kesehatan yang diberlakukan. Agaknya, pandemi ini masih akan membersamai kita dari hari ke depan.

Kebiasaan baru (new normal) secara bertahap diupayakan. Namun, agaknya tidak dengan mudah langsung diaplikasikan dengan baik. Dibutuhkan kerja sama seluruh pihak. Lantaran pandemi ini yang menggerus pelbagai bidang atau sektor yang ada, tidak terkecuali dunia pendidikan, bisa jadi pemelajaran yang ada, baik pada jenjang pendidikan sekolah maupun perguruan tinggi, masih akan (insyaallah) diterapkan secara daring (online learning/class), dapat pula dikombinasikan dengan tata muka luring (blended learning). Sebab kondisi dari hari ke hari makin mendorong kita untuk waspada, paling tidak, pembelajaran daring masih ada.

Hal tersebut adalah pekerjaan yang tidak ringan. Dibidik dari sisi mana pun, baik dari sisi sebagian peserta didik (siswa), sebagian guru/dosen/pendidik, sebagian orang tua, maupun sebagian masyarakat umum, dalam menyukseskan pembelajaran secara daring, dibutuhkan effort yang tidak main-main. Di sinilah kita berperan bersama bahu-membahu mendukung proses belajar dan pembelajaran daring yang terjadi.

Problematika utama adalah bukan pada kegagapan atas pengoperasian teknologi informasi, tetapi salah satunya pada energi bersama untuk mewujudkan hal tersebut. Barangkali, pelaksanaan selama satu semester lebih yang lalu, bahkan hingga hari ini, masih sangat jauh dari ideal. Sesuatu yang masih terbilang normatif, lumrah adanya. Di sinilah kita bersama berjuang mengisi “kebiasaan baru” yang senantiasa ditandaskan sebab realitanya pandemi masih ada, dan kita tetap perlu optimis bahwa secara bersama-sama, kita dapat melalui ujian-Nya ini.

Pemerintah sudah sangat bekerja keras atas hal tersebut. Terima kasih atas pelbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah guna mendukung pelbagai proses pembelajaran daring yang dilaksanakan. Terutama pada jenjang pendidikan sekolah, terima kasih kepada pemerintah yang telah memfasilitasi, baik peserta didik maupun pendidik dan tenaga kependidikan, akun bebas akses Belajar.id. Tentu elok kita tidak berpangku tangan kepada pemerintah, dibutuhkan upaya ekstra untuk tetap dapat menghiasi kelas-kelas online yang ada menjadi lebih optimal.

Kehadiran sistem pengelolaan pemelajaran (learning management system/LMS) sangat membantu institusi pendidikan guna mewadahi proses pembelajaran daring. LMS (Moodle, Edmondo, Google Classroom, dan sebagainya) serta pelbagai perangkat lunak yang ada (misalnya aplikasi Zoom, Google Meet, dan sejenisnya) telah diimplementasikan oleh sebagian besar penyelenggara pendidikan. Tentu implementasi ini pun tidak menutup banyak kekurangan, dan bahkan ancaman yang dapat diidentifikasi.

LMS dan aplikasi yang ada sudah luar biasa. Apa pun dan dari mana pun dapat digunakan, tools bisa apa saja. Namun, kemudian muncul problematika berikutnya, yakni soal kualitas jaringan telekomunikasi (sinyal internet). Bukan masalah kuota internet yang terbatas atau kurang terjangkau, tetapi faktanya sebagian daerah, hal ini masih menjadi persoalan. Alhamdulillah, pemerintah sudah mengatasi hal tersebut dengan upaya ekstra—kita doakan agar mereka senantiasa Dibantu-Nya dan Dikuatkan-Nya guna merealisasikan hal tersebut.

Barangkali, yang perlu digarisbawahi adalah soal kebergantungan kita pada LMS dan aplikasi luar negeri yang digunakan. Kita tidak dapat mengelak bahwa LMS, seperti Moodle, sangat lengkap fitur-fiturnya guna mendukung pembelajaran daring. Walaupun bersifat open-source, tetapi barangkali kita perlu LMS kreasi sendiri, syukur dikreasi oleh tim-tim IT dari tiap lembaga pendidikan swasta yang ada. Pada dasarnya, LMS dapat dibuat secara mandiri, tinggal menginspirasi beberapa fitur-fitur yang diperlukan dan disesuaikan dengan kebutuhan belajar peserta didik atau mahasiswa, yang tentu saja bervariatif. Pihak lembaga tersebutlah yang mengetahui kebutuhan belajar siswa-mahasiswanya.

Menurut hemat kami, peluang pengembangan LMS yang terbuka lebar. Sifat LMS yang ekslusiflah yang menjadikan salah satu dalihnya. Tidak dapat dimungkiri, teknologi LMS berbeda dengan media sosial. Di LMS, kita dapat mengatur, mengelola, dan/atau mengorganisasikan banyak hal, termasuk soal privasi data pengguna. Lain hal pada media sosial, lebih-lebih bila konten pembelajaran yang ada terbuka untuk publik (dapat diakses sebagian orang yang tidak berkepentingan). Bukan bermaksud suuzan, tetapi sekadar meminimalisasi mudarat yang bisa saja terjadi ke depan.

Jangan sampai nama lengkap, alamat, dan nomor induk peserta didik tercantum pada media sosial. Kalau hal ini terjadi, tentu sangat mengerikan. Beberapa hal tersebut adalah informasi privatif peserta didik yang perlu dijaga. Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa tiada jaminan ada oknum warganet yang berkomentar yang tidak-tidak, tidak sedikit yang merundung, lebih-lebih bila ingin menyalahgunakan data yang ditemukannya untuk tujuan yang kurang baik—nauzubillah.

Yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah mengawinkan kedigdayaan teknologi media sosial dengan sistem LMS yang dikembangkan secara mandiri. Sebagai contoh, Anda (pendidik) tetap dapat mengkreasi konten video pembelajaran dan diunggah di YouTube, tetapi Anda dapat mengatur privasinya agar tidak tampak ke publik (dengan kolom komentar yang ditutup), lalu Anda embed kode video tersebut dan disematkan ke dalam salah satu fitur di LMS. Tentu hal ini bergantung pada kebutuhan dan tujuan, yang tentu saja bervariatif.

Tidak jarang sebagian pendidik memang mempublikkan konten videonya, ia pun tidak peduli dengan jumlah views dan subscriber-nya. Ia hanya berfokus pada berbagi, berbagi, dan berbagi; yang diharapkan dapat bermanfaat bagi khalayak ramai. Untuk konteks pembelajaran di dalam organisasi institusi, tentu lain lagi persoalannya, perlu dikonfigurasi agar selaras dengan kebijakan yang diberlakukan oleh lembaga.

Kita pun perlu menakar perkembangan yang ada. Agaknya jejaring sosial YouTube dan Instagram masih hangat bagi adik-adik siswa/mahasiswa, tetapi penyedia layanan berbagi video lainnya, bahkan permainan daring dengan multipemain, barangkali sudah mereka rambah dan tertanam rapi di dalam ponsel/gawai mereka. Ancamannya pun makin meningkat, yang mau tidak mau perlu kolaborasi/kerja sama dengan orang tua dan segenap pihak.

Para orang tua perlu memperhatikan apa saja yang putra/putri mereka akses, dengan siapa saja mereka berteman, atau mungkin mereka pun perlu acap mengobrolkan perihal apa saja yang mereka googling. Sepenuhnya orang tua memiliki wewenang mutlak atas kondisi putra-putrinya. Kalau perlu, jadilah teman online mereka, baik untuk belajar daring maupun bermain games bergenre MMORPG atau MOBA. Sudah menjadi tren beberapa tahun terakhir bahwa belajar pun dapat dilaksanakan dengan konteks gamifikasi.

Perihal gamifikasi, anak-anak kekinian sudah sangat adaptif. Aplikasi pemelajaran daring berbasis kuis, misalnya Kahoot!, sangat dengan mudah mereka eksekusi. Sangat menarik konsep belajar daring berbasis gamifikasi dari Classcraft. Lebih-lebih bila ada aplikasi-aplikasi berkonsep gamifikasi tersedian dengan antarmuka dalam bahasa Indonesia—sekalipun masih terbilang produk luar. Dunia digital sekarang seolah memang dunia kita, sebagai milenial, dan adik-adik generasi setelah kita. Tuntutannya pun makin kompleks, barangkali tidak didorong sebagai sekadar pengguna (user), tetapi juga sekaligus pengembang (developer).

Tiada salahnya para orang tua (yang mengizinkan anak-anaknya bermain games—kami pribadi [mohon dimaafkan] tidak) juga perlu memiliki akun di Discord, Twitch, bahkan di PS5, Xbox, Nintendo, atau Steam; sekali lagi: bila memang di dalam keluarga tersebut bermain games merupakan suatu hal yang boleh-boleh saja alias tidak masalah. Namun, apabila memang orang tua memiliki sikap dan kebijakan tegas di dalam keluarganya atas fenomena tersebut, tentu elok sungguh-sungguh ditekankan pada putra-putrinya. Bukankah tidak jarang terjadi, ada seorang siswa misalnya, di dalam rumah ia tampak alim, tetapi menjadi berbeda saat ia di luar.

Nilai-nilai yang baik tetap perlu ditekankan kepada anak-anak sedini mungkin, tetapi sebagai orang tua (sebagai orang dewasa), tetap perlu disampaikan dengan bijak dan penuh kelembutan. Lembut bukan berarti lembek, bukan berarti lemah, bukan pula menihilkan ketegasan. Salah satu PR berat kita pada masa pandemi ini adalah memang soal nilai-nilai yang dimaknai makin mengikis. Namun, hal ini dapat dicari solusinya dengan pola komunikasi yang positif antara anak dan orang tua. Anak tetap diberi kewenangan untuk mandiri, tetapi tetap ditanamkan pula kemandirian yang bertanggung jawab.

Anak diberi kendali sembari tetap diarahkan pada sesuatu yang lebih baik bagi dirinya di kemdian hari. Bagaimana pola asuh yang diterapkan kepada anak-anak, insyaallah, sedikit/banyak berpengaruh pada bagaimana mereka menatap kehidupan berikutnya. Anak yang dibekali dan dibersamai tumbuh kembangnya dengan nilai-nilai duniawi tentu berbeda pemaknaannya dengan anak yang jamak dihiasi dengan hal-hal ukhrawi. Hal ini sebab tiada jaminan anak, atau bahkan siapa pun, dapat menakar dirinya sendiri seimbang dalam semua urusan, baik dunia maupun akhirat (sebab hati manusia niscaya memiliki kadar kecondongannya—semoga prasangka kita pribadi selaras dengan pandangan-Nya atas diri kita).

Nilai-nilai tetap perlu terus digaungkan, belajar daring masih tetap dapat dijalankan—insyaallah. Pandemi bukan halangan sebab Dia Tidak Menguji kita di luar kesanggupan kita. Mari tetap belajar daring bersama, mengembangkan teknologi mandiri agar banyak hal terkover dan mengurangi mudarat; mari tetap pegang teguh dan tanam nilai-nilai-Nya hingga akhir waktu kita. Mari tetap optimis dan yakin bahwa Allah senantiasa Membantu kita—insyaallah. Semoga Allah senantaisa Menganugerahkan taufik kepada kita—amin.