Latif Anshori Kurniawan

Bersemangatlah Belajar Hal-hal Teknis!

Diterbitkan pada dalam Blog.

Saya terkesima dengan salah seorang bos sebuah manufaktur dahulu. Suatu hari, saat sang bos mendapati salah satu pegawai TIK beliau izin absen beberapa hari, beliau membenahi beberapa kotak unit pemroses pusat (central processing unit, CPU), meng-upgrade lempeng memori dengan kapasitas lebih tinggi. Pekerjaan yang semestinya dapat didelegasikan sepenuhnya kepada pegawai beliau, beliau tangani sendiri. Pada hari berikutnya, ada permasalahan yang dihadapi oleh tim customer service dari platform chat perusahaan, tampaknya ada code yang perlu dibenahi, luar biasanya beliau yang turun tangan langsung. Pegawai yang lain berupaya untuk membantu, beliau berkilah, “Mumpung saya dapat, kok. Santai.” Humble sekali.

Pada sebuah acara bulanan, beliau sempat berbagi wejangan atas hal-hal teknis tersebut. Beliau pun menandaskan bahwa hal-hal teknis yang tampaknya dapat didelegasikan kepada pegawai sekalipun coba beliau tangani sendiri bila memang memungkinkan. Satu kalimat yang beliau motivasikan kepada seluruh pegawainya adalah: jangan berhenti untuk belajar hal-hal teknis. Beliau pun mengisahkan diri beliau sendiri bahwa beliau pun benar-benar bermula dari bawah. Sekalipun tidak disampaikan selaik motivator, dengan tones yang tetap tenang dan lembut, rasanya seluruh perkataan yang beliau sampaikan sembari tersenyum dapat menyentuh relung hati segenap pegawai. Tepat sekali, beliau tidak pernah berbicara dengan nada tinggi atau marah, dan tidak pernah menyindir pegawainya. Ada pegawai keliru suatu hal, beliau tersenyum dan berujar, “Enggak apa-apa, santai saja, dapat kita benahi bersama.” Indah sekali, benar-benar seorang pemimpin (tidak sekadar bos) teladan.

Pernah mendapati hal yang berbeda di belahan dunia lain. Seorang teman rupaya termotivasi oleh seorang motivator kewirausahaan ternama, salah satunya adalah bagaimana seorang tokoh pengusaha dapat mempekerjakan pegawai dengan gelar doktoral. Namun, ia terlupa bahwa semestinya bukan penggalan itu yang diambil. Ada banyak faktor mengapa ada sebagian lulusan sekolahan/kuliahan ataupun bukan dapat dipekerjakan atau tidak. Ada yang terlewat bahwa setiap hal tentu ada banyak hal yang melatarbelakangi.

Akhir dari kisah teman tersebut adalah ia pun enggan menyentuh hal-hal teknis–semoga Allah Memudahkan cita-Nya menjadi pengusaha. Ada yang menarik dari hal ini, saat sebagian orang pun tidak kalah beranggapan demikian. Menjadi pegawai atau karyawan enggan sebab enggan disuruh-suruh. Menjadi bawahan enggan sebab enggan diatur orang lain. Masalahnya tidak semudah yang tampak, semua perlu dilihat dari pelbagai sisi. Bahwasannya setiap hal itu perlu dimulai dari hal yang kecil, dari hal-hal sederhana nan remah-remah, dari hal-hal yang tampak rendah atau biasa saja.

Ibarat ketika akan mengisi bahan bakar di pom bensin, petugas pengisian pun membilang pula dimulai dari nol. Hal ini sebab semua hal butuh proses, bahkan proses tersebut tidaklah sebentar. Selaik kehidupan kita yang normatif, yang tidak tiba-tiba mendadak dewasa dan bisa cari makan sendiri. Lebih-lebih, beproses untuk hal-hal duniawi. Bukankah para pendahulu tidak letih mengingatkan untuk memenuhi duniawi kita sekadarnya saja, serta/atau sedapat-dapat dikerjakan sebisanya dan semaksimal diri, tidak perlu memaksakan kehendak diri secara berlebihan.

Kehidupan menjalani Takdir-Nya amatlah indah. Kita sekadar perlu menjalaninya sebisanya. Tiada yang sempurna, pasti ada kekeliruan, pasti masih perlu diperbaiki, pasti masih terus perlu berproses hingga akhir. Yang sudah purna dengan kesuksesan duniawinya pun masih terus berikhtiar. Tidak sedikit pengusaha swasta yang memutuskan untuk tidak pensiun. Dalam arti, beliau-beliau tetap bergerak, lebih-lebih bila hati sudah tenang dan mempersiapkan diri untuk menghadap-Nya dalam keadaan baik (husnulkhatimah). Ini pun dapat memuarakan esensi dari kesuksesan adalah tidak sekadar berkait dengan hal-hal duniawi. Salah seorang salaf membilang bahwa sukses adalah ketika kita sudah mati. Hal ini lantaran berhentilah upaya-upaya berperikehidupan normatif kita (sehingga tinggal menuai yang terbekalkan di kampung akhirat).

Kalaupun masih ingin sukses di dunia dan tetap enggan belajar hal-hal teknis, rasanya kita perlu malu dari Steve Jobs, Bill Gates, duo pendiri Google (Larry Page dan Sergey Brin), serta/atau mungkin Mark Zuckerberg (kopendiri Facebook). Siapa bilang mereka enggan dengan hal-hal teknis? Apakah mereka tidak tahu apa pun perihal dunia mereka yang teramat lekat dengan kode-kode komputasional? Sekelas Steve Jobs dapat menyolder papan rangkai elektronik PCB. Sekelas Bill Gates, yang notebene dimasukkan ke dalam jajaran orang-orang terkaya di dunia dewasa ini, masih dengan senang hati ber-programming ria. Lebih-lebih Mark di Facebook, ia pun masih acap mudah didapati bersama para engineer guna membahas fitur-fitur terbaru untuk layanan mereka ke depan akan dibawa ke arah mana. Well, ini semua hal-hal teknis.

Mau tidak mau, apabila memang ingin mengendalikan beberapa hal, tentulah tidak mudah. Kita memang perlu berbagi tugas. Namun bukan berarti zero kepedulian atas hal-hal teknis. Selaik halnya Sergey Brin, yang masih mengelola divisi eksperimental di Google, ia pun–katakanlah–berkenan berkotor-kotor ria dengan peralatan elektronik dan bengkel yang ada. Bahkan, asal tahu saja, selaik Elon Musk pun tidak lepas dari hal-hal teknis saat men-drive PayPal-nya dahulu. Sangat tidak masalah dengan hal-hal teknis.

Agaknya ini soal mindset. Ada kala, ketika menjadi pemimpin di sebuah usaha, peran managerial yang dikedepankan. Pengelolaan yang baik teramat diperlukan agar seluruh elemen dan unit-subunit yang ada dapat berjalan berkesinambungan. Ketika founder mengetahui dan memahami bagaimana teknis sistem dari produknya berjalan, paling tidak ia menghargai proses yang ada. Mengetahui alur dari apa yang melekat di dalam proses produksi produknya, apa yang terdapat di dalam sistem yang dijalankan perusahaannya. Betapa berlimpah founder ventura rintisan (startup) yang memang sedari awal adalah orang-orang teknis?

Come on, tidak perlu berlagak menjadi bos atau berlaku bossy bila memang bukan boss. Tidak perlu berujar tinggi-tinggi dengan pelbagai investment di sana-sini, bila pemasukan harian masih perlu diperbesar. Tidak perlu terlalu berlebihan dalam berbicara soal investasi atau bisnis bila masih perlu untuk belajar rendah hati. Ya, salah satu hal yang perlu dipegang teguh oleh pendiri usaha (siapa pun sejatinya) adalah tentu soal bagaimana merendahkan hati dan diri. Kerendahhatian dapat dideteksi dari bagaimana menyikapi (tentu saja sesuai topik tulisan ini): hal-hal teknis, tidak menganggap remeh apa pun dan siapa pun.

Segalanya menjadi tampak berat? Memang! Tiada yang mudah di dunia ini. Semuanya berkontribusi sedapat mungkin guna menyelaraskan dengan laju roda kehidupan. Hal-hal ini (berkait dengan keteknisan) terus-menerus saya gaungkan kepada teman-teman mahasiswa, siapa pun mereka dan bagaimana pun keadaan mereka. Hal-hal teknis selalu tidak jauh dari bagaimana kita dapat belajar, sekali lagi: bila memang diperlukan. Prioritas tetap diutamakan, tetapi abai dengan hal-hal teknis dan terburu-buru ingin mendelegasikan tugas kepada sesama seprofesi? Rasanya perlu pelurusan yang tidak mudah untuk dilakukan.

Ketidakmudahan teknis yang ada selalu akan mengantarkan kita kepada sesuatu yang indah; tidak ada yang sia-sia bila kita memang mau belajar hal-hal teknis. Seolah kita memang haus keinginan untuk terus belajar, bertumbuh, dan berkembang; untuk terus tidak letih berproses hingga titik nadir yang terakhir. Sama halnya dengan kalam mutiara bahwa belajar itu sepanjang hayat, kita terus berproses belajar hal-hal teknis hingga tiba waktu kita untuk beristirahat. Tetap semangat, dan jangan pernah malu melaksanakan hal-hal teknis!