Berwicara Santai di Clubhouse
Diterbitkan pada dalam Blog.
Terima kasih kepada Pak Elon Musk dan warganet yang memopulerkan jejaring sosial khusus obrolan suara/audio (yang disiarkan/dihelat secara langsung) Clubhouse. Sejatinya, kami bukan tipikal persona yang FOMO, gemar mengikuti tren atau hype kekinian, amat tampak dari penampilan keseharian kami yang jauh dari kata gaul (sangat tidak mengikuti zaman), hehehe. Namun, kami berterima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dan memfasilitasi invitasi di Clubhouse sehingga kami pun dapat bergabung bulan ini. Big thanks to!
Iya, masih bersifat undangan (dapat menggunakan layanan mereka bila ada pengguna lain yang menginvitasi). Siapa pun dapat mendaftar awal, barangkali sekadar keperluan menyelematkan username, tetapi belum semua diizinkan pihak Clubhouse guna menggunakan layanan mereka. Bergembira ria saat tokoh IT dan open-source favorit, yakni Pak Ariya Hidayat, langsung mengikut balik akun Clubhouse kami. Omong-omong, jejaring yang dikreasi Paul Davison and Rohan Seth ini masih dalam tahap pengembangan (belum sepenuhnya rilis ke publik). Ketersediaan aplikasi layanan mereka masih berbatas untuk platform iOS (versi 13.00 ke atas).
Clubhouse menjadi booming di seluruh dunia. Seakan menambah alternatif fasilitasi kebutuhan berdaring kita, terutama saat masih pandemi Korona ini. Kalau biasanya kita berkomunikasi secara daring dengan keluarga dan kolega menggunakan layanan populer, selaik WhatsApp (WA), Zoom, dan lainnya, layanan obrolan yang spesifik pada aspek auditory ini sangat dapat terfaedahi. Seakan menangkap momentum yang pas, saat banyak kalangan menggilai siniar (podcast), Clubhouse mewadahi siapa pun yang ingin menghelat obrolan khusus voice antarsesama pengguna.
Saat bergabung dengan room obrolan pun, pengguna seakan menyimak konten siniar. Sebagai peserta biasa, mikrofon kita nonaktif secara otomatis. Apabila ingin berpartisipasi, cukup klik ikon telapak tangan, sila tunggu hingga moderator menyilakan kita untuk dapat bergabung. Apabila ingin ke luar ruang obrolan, cukup klik Leave quitely. Narasumber dan moderator pun tidak merasa terganggu dengan kedatangan dan kepergian peserta umum. Tidak jarang, peserta umum dibatasi peran-sertanya sehingga sekadar menyimak (fitur ajuan diri untuk berbicara dinonfungsikan oleh moderator). Namun, bukan masalah, toh pada umumnya kita memang orang biasa, bukan? Hehehe. Lebih banyak mendengar adalah menyenangkan, kita dapat menuai pelbagai faedah dari sekadar menyimak—insyaallah.
Tidak sedikit narasumber dan peserta, saat menggunakan Clubhouse, mereka pun sejatinya tidak benar-benar di depan perangkat yang sedang menyiarkan obrolan yang terjadi. Bisa jadi sembari melakukan aktivitas yang lain, misalnya sembari berjalan kaki, memasak, atau lainnya. Selaik kehidupan sebelumnya, bak melakukan pelbagai aktivitas di dalam rumah sembari mendengarkan siaran radio. Tetap dapat menyimak, tetap dapat beraktivitas, kegiatan multitask yang barangkali dimiliki oleh sebagian kita, hehehe.
Sekali lagi, Clubhouse berbeda dengan platform siniar. Konten siniar dapat kita putar mana suka dan kapan saja, layanan dari perusahaan rintisan (startup) yang memperoleh pendanaan dari perusahaan modal ventura terkemuka Andreessen Horowitz ini sekadar menyediakan ruang obrolan sekali jalan. Mirip siniar, sih, tetapi disiarkan secara langsung (live). Dalam arti, obrolan yang ada tidak direkam secara asali/default (kecuali barangkali pengguna merekam secara mandiri melalui fitur rekam layar iOS). Sekali obrolan di ruang percakapan berakhir, selesai sudah. Mantap!
Barangkali, dapat dimaslahati selaik Zoom, ya, yakni kita dapat melakukan rapat atau seminar daring tertutup berbasis obrolan audio di Clubhouse. Yang membedakan dengan layanan Zoom adalah ketiadaan fasilitasi video. Hal ini makin menjawab kebutuhan warganet beberapa bulan terakhir, terlebih terdampak pandemi, yang sedikit-sedikit kita helat rapat daring melalui Zoom, Google Meet, atau layanan lainnya. Acap peserta pada webinar Zoom mematikan video mereka dan lebih memaksimalkan fitur audio. Terkadang, menyimak sajian webinar pun tidak fokus menghadap perangkat yang telah terpasang aplikasi Zoom, bukan? Ada kala, tidak jarang, kita sambi dengan aktivitas lain. Clubhouse bisa jadi menjadi tren webinar berikutnya! Tidak menutup kemungkinan akan hal ini—insyaallah.
Tentu Clubhouse memiliki kekurangan, ia belum menyediakan fitur berbagi visual, misalnya guna presentasi paparan materi yang mengiringi penyampaian narasumber. Ya, rasanya memang tidak perlu fitur berbagi layar. Kemungkinan tiada fitur ini, sekalipun entah bagaimana ke depan. Hal ini lantaran tujuan diinisiasi Clubhouse adalah lebih pada hal-hal yang bersifat santai (selaik sifat jejaring sosial pada umumnya). Yang saya gemari dari Clubhouse adalah beberapa tokoh teknologi informasi dan tokoh dari pemodal terkemuka juga telah menggunakan Clubhouse. Tidak jarang beliau-beliau berbagi hal-hal menarik, berkisah bagaimana beliau-beliau terdahulu, dan sudut pandangan yang beraneka/bervariatif. Pendek kata, nyaris isinya daging semua!
Bagaimana kelanjutan dari Clubhouse ini ke depan? Rasanya, dari kehebohan yang ada, kemudian dimeriahkan pula layanan 11-12 dari Twitter (yang disebut Spaces), barangkali akan masih membumi ke depan—insyaallah. Apabila mengingat pihak Clubhouse sendiri belum merilis penuh untuk publik pada platform lain, bisa jadi makin menggema bila telah tersedia untuk umum di seluruh dunia. Mereka pun memperoleh pencapaian unduhan di App Store secara fantastis.
Fenomena Ruang Hening di Clubhouse
Salah satu hal yang menarik di Clubhouse adalah, dengan inisiasi entah dari siapa, muncul beberapa room yang tiada aktivitas mengobrol sama sekali. Label/nama ruang pun ditandai dengan frasa: Silent Room (ruang hening). Biasanya ada sedikit kata-kata tambahan guna menandaskan bahwa ruang hening tersebut disengaja supaya siapa pun yang terdapat di dalamnya saling melihat bio yang melekat pada tiap pengguna. Well, tidak sedikit tokoh yang bergabung di dalam ruang-ruang seperti ini.
Barangkali, kedua pendiri Clubhouse pun tidak terbetik bahwa layanan mereka sekadar difungsikan guna tengok-tengok bio antarpengguna. Sejujurnya, kami tidak ingin turut serta bila ada beberapa ruang hening, hehehe. Mohon dimaafkan, hal ini sekadar selera pribadi, ya. Esensi Clubhouse, menurut hemat kami, bukan mendapati dan membaca bio–bio, tetapi memang dapat difaedahi guna sharing ria bersama antarsuara dari segenap pengguna. Sangat menantikan tentunya serbaneka sharing dari narasumber-narasumber yang telah mengenyam banyak hal dalam kehidupan ini.
Sempat terbetik dan terutarakan dari beberapa pihak, bahkan terbilang orang-orang yang berpengaruh di media sosial, bahwa bisa jadi sudah ada kejenuhan menggunakan Clubhouse. Sayangnya, rasanya, hal itu masih kurang dapat menyimpulkan keadaan yang ada. Toh pelbagai room malah makin meningkat kuantitasnya dari hari ke hari, apalagi ruang obrolan yang diselenggarakan oleh netizen luar Indonesia. Tidak sedikit dari mahasiswa Indonesia yang study-abroad di luar memfaedahi Clubhouse guna berbagi banyak hal, tidak sekadar pengalaman belajar dan aktivitas berkehidupan mereka di luar negeri. Banyak room yang amat berfaedah dan terbuka untuk umum (public), siapa pun dapat menyimak dan memperoleh pelbagai benefits. Masyaallah.
Kita tidak akan pernah tahu bagaimana tren dan hype pemaslahatan teknologi ke depan. Bisa jadi, Clubhouse populer sekarang, belum tentu di kemudian hari. Mungkin Clubhouse fokus pada ranah audio/voice kini, tetapi tidak menutup kemungkinan (dan tentu saja terserah mereka) menghadirkan layanan berbasis video (dalam versi terkompresi yang lebih ringan tersinkronisasi layanan komputasi awan, tidak perlu diunduh sekalipun dalam keadaan luring [?]). Apa pun, atas Izin-Nya, dapat terjadi tanpa disangka-sangkakan sebelumnya. Termasuk ranah pendidikan, adakah di antara Anda yang terbetik memanfaatkan Clubhouse guna mendukung pemelajaran daring?
Siapa pun tidak dapat menyangkakan barangkali Clubhouse turut mewarnai aktivitas pembelajaran daring kita ke depan—atas Izin-Nya. Ya, bisa saja sektor atau industri pendidikan pun menyesuaikan diri. Mungkin saja ada layanan serupa Clubhouse, tetapi spesifik untuk dunia pendidikan? Mengapa, tidak? Twitter turut mengejar, bagaimana dengan Google, Facebook, Microsoft, dan lainnya? Segalanya serbamungkin bila Dia Berkehendak, bukan? Apakah Andah telah memiliki akun Clubhouse? Barangkali, kita dapat bersua (akun kami: @latifanshori). Yuk menyambung wicara di sana…!