Pak Dorsey & Pak Musk nan Tak Acuh Web 3.0 (NFT) & Metaverse?
Diterbitkan pada dalam Blog.
Terdapat salah seorang naravlog yang mencuatkan bahwa seolah pebisnis teknologi tidak perlu mengetahui hal-hal teknis. Benar-benar membuat makjegagig. Barangkali, beliau memang memiliki dasar yang kuat perihal itu, telah meneliti dan mewawancarai langsung banyak CEO perusahaan teknologi di seluruh dunia. Sayangnya, tampaknya agak timpang dengan evidensi yang tersebar di dunia maya, yang jamak diutarakan oleh (masih disebut sebagai) media massa elektronik internasional. Lumrah adanya sebab beliau tidak bersendirian, banyak lainnya yang menyatakan bahwa Steve Jobs dan Bill Gates “tidak tahu apa-apa” perihal software dan hardware produk perusahaan mereka. Well, mungkin memang area bermain kami kurang jauh.
Steve Jobs memiliki jiwa kepemimpinan apik. Di samping manajerial beliau yang luar biasa, beliau juga tidak anti dengan hal-hal teknis. Awal-awal desain dan pengembangan produk Apple dahulu, bahkan sampai dengan beliau wafat, masih ada kontribusi sentuhan “teknis” beliau. Begitu pula dengan Bill Gates, kalau sekadar mendapati beliau sebagai figur beberapa dekade terakhir, barangkali masih kurang. Bagaimana beliau mengoding-merintis basis awal perangkat lunak produk Microsoft terdahulu sekitar tahun ’70-an menjadi evidensi yang teramat kuat. Bagaimana, dengan Paul Allen, beliau bersusah payah mengembangkan BASIC hingga pada akhirnya banyak perangkat lunak dilahirkan dari perusahaan teknologi besar bermarkas di Redmond itu. Masih dapat sebut nama founder muda kekinian, selaik Mark Zuckerberg, beliau pun koding fondasi dasar TheFacebook awal hingga perusahaan jejaring sosialnya membesar menjadi Meta sekarang.
Begitu pula dengan Jack Dorsey dan Elon Musk yang teramat hangat dibahas kekinian. Pak Dorsey dan Pak Musk “lahir” bersama tim teknis. Saat mendirikan dan bahkan memimpin perusahaan pun, beliau berdua lebih lekat dengan penekanan hal-hal teknis. Selaik Steve Jobs yang teramat presisif dengan produk-produk Apple, Pak Dorsey begitu peduli dengan kode-kode yang tersemat di dalam platform Twitter. Sementara itu, pada sebuah wawancara, Pak Musk lebih peduli dengan engineer daripada lulusan MBA untuk memimpin perusahaan. Keduanya berbeda latar dan hasrat barangkali, tetapi bermuara pada kepedulian yang sama bahwa teknologi dihasilkan dari hal-hal berbau teknologi pula. Barangkali demikian intisari hikmahnya.
Impak dari teknologi adalah poin penting yang didamba segenap founder. Namun, terlalu mengutamakan pengelolaan tanpa menimbang sumber daya teknikal yang diperlukan sama dengan membahayakan bagi keberlangsungan perusahaan. Apalagi, apabila perusahaan teknologi didirikan dari inisiasi inovasi teknologi yang ditawarkan, mau tidak mau memang teknis keteknologianlah yang ditandaskan. Well, tidak sedikit membilang, kalau terlalu menekankan idealisme, barangkali juga kurang baik, ya?
Bak sunatullah dalam kehidupan, semua hal, sejatinya, saling melengkapi, bukan saling mendomplengi. Tiap bagian lini tidak timpang, semua dapat saling menguatkan. Begitu pula apa-apa yang acap digaungkan Pak Dorsey dan Pak Musk di platform Twitter. “Protes-protes” kecil, pelbagai sindirian halus, banyak hal, dari beliau berdua tertuang dalam twit-twit yang ada merupakan bagian dari apa yang melekat pada diri beliau berdua yang dikenal idealis. Sejatinya, seperti Pak Musk, tidak begitu mempermasalahkan hal-hal nonteknis, tetapi sedikit acap mudah didapati orang-orang teramat abai dengan hal-hal teknis—barangkali hal ini berdasar pengalaman beliau. Omong-omong, sampai hari ini, adakah yang masih mengaku menggemari Pak Musk, tetapi nyaris tidak pernah membaca twit-twit beliau?
Berjalin kelindan dengan Pak Musk, tidak mengherankan bila Pak Dorsey berani terbuka bersuara perihal Web 3.0. Bagi beliau berdua, terutama Pak Dorsey, istilah perihal pengembangan web versei ke sekian ini sekadar peristilahan yang bagi beliau berdua pribadi tidak terlalu signifikan. Ujung-ujungnya sama saja: menggunakan internet dan web yang sejatinya dapat diakses manasuka oleh siapa pun. Kalau peristilahan Web 3.0 tidak begitu digagas beliau berdua, entah bagaimana dengan peristilahan lama, selaik: industry 4.0, society 5.0, dan lain-lain (he-he-he). Merunut ke belakang, jamak peristilahan terlahir dari para pengamat, yang barangkali nyaris tidak bersentuhan dengan aspek pengembangan teknologi (bukan praktisi).
I’m officially banned from web3 pic.twitter.com/RrEIAuqE6f
— jack⚡️ (@jack) December 22, 2021
Has anyone seen web3? I can’t find it.
— Elon Musk (@elonmusk) December 21, 2021
Pak Musk pun masih kurang greget dengan konsep Metaverse. Beliau memang visioner sejak sebelum zaman kejayaan PayPal, hingga kekinian dengan SpaceX dan Tesla. Barangkali, menurut beliau, membicarakan AR-VR sebagai Metaverse adalah terlalu teoretis. Beliau menandaskan, dalam waktu dekat pun, rasanya masih kurang memungkinkan bagi umat untuk terbiasa dengan peranti AR-VR (beraktivitas berlebih menggunakan kacamata digital ini). Kalau Pak Dorsey, masih menguat perihal Bitcoin, tetapi bukan perihal NFT (yang jamak dilekatkan sebagai bagian dari Web 3.0). Tidak dapat dimungkiri bahwa pengembangan Bitcoin pun merupakan pengembangan yang luar biasa inovatif out-of-box, menjadi bagian dari pengembangan lebih jauh dari teknologi kriptografi blockchain. Kalau ada sebagian pengamat membahas Bitcoin atau aset kripto lainnya tanpa menyinggung pengembangan teknologi berbasis blockchain, barangkali perlu diingatkan. Pak Musk pun masih percaya dengan kecerdasan buatan (AI) yang terimplementasi sehingga beliau begitu gencar mempromosikan progress pengembangan OpenAI.
Terlepas apakah peristilahan-peristilahan yang diembuskan sebagian kalangan investor dan media tersebut merupakan bagian dari teknik pemasaran atau sekadar membantu kita yang awam agar lebih dapat memahami atas fenomena yang terjadi, tetapi di dunia ini, barangkali memang perlu orang-orang yang berkecimpung dalam khazanah teoretis guna mengimbangi keberadaan para praktisi industri. Keberadaan keduanya perlu saling mendukung, syukur dapat berkolaborasi. Namun, memang, apabila ada pihak-pihak yang berasal dari ranah teoretik tiba-tiba berbicara perihal domain praktisi, tentu kurang elok. Hal ini dapat disiasati dengan perlunya kedua pihak dari kedua sisi tersebut saling menginjakkan kaki mereka di dua sisi tersebut: satu di kaki teori, sedangkan kaki selainnya di kaki praktik. Apabila menjadi konsultan, ia dapat memberi nasihat di dunia industri. Apabila menjadi pengamat (atau dari dunia akademik), ia benar-benar dapat diteladani (sebab sarat pengalaman).
Alih-alih Anda menyibukkan diri dengan peristilahan Web 3.0 (NFT), Metaverse, dan lain-lainnya, bersegeralah belajar (minimal tahu soal) koding sejak dini, sekalipun Anda sudah menjadi CEO! Entah kemudian Anda memiliki NFT dan berkembang di dalam Metaverse, bebas-bebas saja. Nan pokok, Anda turut peduli atas teknologi yang berada di belakang keduanya.
Intisari nukilan ucapan Pak Dorsey & Pak Musk dalam pelbagai kesempatan.
Sebagai founder ataupun pemimpin perusahaan, elok tidak sekadar pahami hal-hal manajerial, tetapi dapat berkenan terjun ke dalam ideasional teknis. Dengan kata lain, dalam pengimplementasinya dalam roda bisnis perusahaan, elok meminimalisasi hal-hal bernuansa bossy, tetapi dapat menjadi leader yang dapat diteladani oleh segenap partner dan mitranya. Anak buah benar-benar menjadi rekan kerja yang setara dan menguatkan, alih-alih sekadar dianggap sebagai seseorang yang mudah dimintai tolong. Kemampuan manajerial dan pemasaran itu penting, begitu pula keterampilan teknis, yang justru sejatinya lebih terimplementasi pada produk yang ada. Inovasi inti produk terlebih dahulu, dikelola serba-serbi yang menghiasi operasionalnya, kemudian diperkenalkan sedemikian rupa, repeat.
Memperhatikan teknis inovasi teknologi merupakan hal yang menjadi makanan wajib bagi perusahaan teknologi. Inovasi yang dikembangkan di luar perusahaannya pun elok tidak luput dari pandangan. Inilah yang disebut bagian dari proses adaptif perusahaan. Ada pun proses adaptif tersebut, mau tidak mau, mengikuti alur teknik analitik yang luar biasa. Perusahaan mesti berkembang dan tetap tidak mengabaikan nilai-nilai yang dipegang sejak awal. Nilai-nilai pun barangkali dapat dikondisikan bila memang diperlukan, hal ini sebab tidak semua nilai lawas akan digunakan.
Itulah mengapa, kekinian, kompetisi baru yang terjadi adalah bagaimana perusahaan memformulasikan teknik analitik yang sesuai dengan perusahaannya. Hal ini sangat personal-internal khusus perusahaan. Barangkali, dapat diinspirasikan dari perusahaan lain, tetapi elok tetap memiliki kekhasan kemandirian, selaik hal sama-sama mengembangkan aplikasi yang barangkali tidak kalah serupa, tetapi tentu algoritma diimplementasikan jauh berbeda. Inilah bagian dari proses belajar.
Tim marketing dan sales pun dapat lebih banyak berkontribusi perihal data yang terdapat di lapangan. Elok tidak kalah presisif. Terlepas dari kompetisi, roda bisnis perusahaan tetap harus berjalan, gayung bersambut dengan impak bagaimana yang terjadi kepada seluruh persona dan lini yang ada. Perusahaan maju, pemimpin dan jajaran direksi beserta keseluruhan individual pun terakomodasi–insyaallah. Semuanya berkolaborasi, tidak ada yang diam-diam sekadar tanda tangan.
Sekali lagi, ibrah petuah dari kalam-kalam Pak Dorsey dan Pak Musk adalah agar kita tidak perlu memperberat istilah, ujung-ujungnya menambah beban pemikiran, yang bisa jadi lebih bermudarat, yang mestinya untuk berpikir hal-hal lain pada fokus pengembangan perusahaan. Siapa sangka, istilah-istilah decentralization justru dapat dimaknai sebagai centralization. Awalnya diprasangkakan sebagai medium yang amat merdeka, tetapi sejatinya tetap sama saja masih terpusat, si pemilik-pengelola-pemodal platformlah yang diuntungkan. Logikanya sederhana, Anda memang dapat “kaya” dari bagi hasil dengan bermitra (kalau tidak boleh dikatakan “bekerja untuk”) Google AdSense, tetapi apakah Anda masih tetap lebih kaya dari Google (terutama pemilik-pengelola-pemodalnya)?
Selaik hal yang terjadi pada Web 3.0, sebagaimana ditandaskan Pak Dorsey, barangkali Anda dapat menjadi berlimpah harta dari NFT, tetapi bukankah pemilik-pengelola-pemodal platform lokapasar atau niaga-el NFT tersebut yang lebih berlimpah? Disentralisasi yang kiranya belum sepenuhnya terealisasi, muara akhirnya masih tetap tersentralisasi. Belum adanya jembatan antarplatform sehingga pengguna pun terjebak pada pusat platform yang sama. Dengan kata lain, apabila ingin menggunakan platform lain, mesti menjadi bagian platform lain/baru tersebut terlebih dahulu. Selaik kata Pak Dorsey dan Pak Musk: halah, itu ujung-ujungnya duit. Ah, sudahlah! Terima kasih, Pak Dorsey dan Pak Musk!
Pak Dorsey dan Pak Musk tentu selaik lain-lainnya: berhak berpendapat manasuka. Perlu diingat pula bahwa banyak hal juga memiliki banyak sisi, minimalnya dua sisi. Kalau menyebut fungsionalitas pisau, tentu Anda pahami hal ini. Web 3.0 (NFT) dan Metaverse menggeliat kekinian sebab dibidik dari sudut pandang potensi keduanya. Barangkali Metaverse masih merupakan bagian dari perintisan, NFT sudah dapat dirasa oleh sebagian kreator konten seni yang berkarya secara digital. Sebab masih terbilang baru, tidak sedikit yang bersembarang dengan apa pun dijadikan NFT, tentu lebih bermudarat. Karena itu, segenap pelaku NFT perlu diberi pengetahuan edukatif banyak hal soal NFT, terutama tidak sekadar bagaimana dapat menghasilkan pundi-pundi profit dari aset digital ini, tetapi juga pahami rangkaian teknologi di baliknya secara komprehensif.
Kami rasa, elok NFT ini difaedahi oleh saudara-saudara kita yang memang berkecimpung di bidang seni. Benar-benar ia berkarya dan mencari nafkah dari dunia seni, selaik pelukis lanskap jalanan, kaligrafis lepas, dan lain-lain. Kami pribadi lebih merekomendasikan bahwa Anda yang memang berkarya dalam bidang ini, lebih-lebih hanya bidang ini saluran utama nafkah Anda. Dengan kata lain, daripada sekadar ikut-ikutan atau FOMO dan menguntungkan diri sendiri, bagaimana kalau kita bantu orang-orang yang berkarya seni untuk medigitalkan karya-karya mereka ke dalam rupa NFT?
NFT terimplementasi pada ruang pajang karya seni digital dan dapat diapresiasi siapa pun yang meminati kepemilikannya (ownership-nya). Bak Anda adalah seorang seniman, Anda memiliki keleluasan mengadakan pameran secara digital di museum digital NFT. Selaik yang telah kami sebut pada pos sebelum-sebelumnya, sebab menggunakan teknologi blockchain, kreasi dan kepemilikan hakiki NFT dapat dilacak. Namun, apabila ada di antara Anda yang hendak mengambil porsi kepemilikan tersebut, dapat pula membelinya. Hingga saat ini, pemasaran NFT masih pada ruang digital seni terbatas platform-platform tertentu, baik internasional maupun lokal.
Begitu pula dengan Metaverse yang telah jauh waktu sudah didengungkan. Metaverse lebih lekat dengan teknologi realitas teraugmentasi (augmented reality). Kekinian pun Anda dapat melakukan aktivitas yang barangkali 11-12 dengan NFT, salah satunya adalah memiliki aset digital virtual. Dikabarkan cukup menggelisahkan sebaba sebagian orang mengalihkan dana seriusnya untuk kepemilikan aset digital pada platform Metaverse tertentu. Pada satu sisi, kreasi digital di dunia Metaverse barangkali dapat memantik kreativitas warganet, tetapi kalau sampai memaksa diri menguasai kavling aset digital di dalamnya, kami tidak merekomendasikan hal ini.
Well, kita dapat belajar dari Pak Dorsey dan Pak Musk, sekelas beliau-beliau saja, yang terkategori termasuk golongan tokoh IT dunia, tidak latah dengan gejala teknologi yang ada. Pak Musk memang memiliki perusahaan wahana antariksa independen swasta mandiri, tetapi ia dan Bill Gates sampai detik ini belum juga mengantariksa. Tidak setiap hal teknologi mesti dimangguti, semua ada muara akhirnya, toh kita di dunia ini sebentar saja. Teknologi sekadar Izin-Nya kita berkreasi untuk memudahkan hidup kita secara duniawi, selebihnya Dialah yang Maha berkehendak atas segala sesuatu. Bisa jadi, teknologi pun dapat musnah seketika saat Dia Berkehendak–barangkali tanda Kiamat Kubra telah tiba. Tiada salahnya dengan berteknologi, dan tetap mawas diri senantiasa berupaya mengingat Kuasa-Nya. Wallahualam.