Latif Anshori Kurniawan

GNOME atau KDE, nan Pokok: Open-Source

Diterbitkan pada dalam Blog.

Alhamdulillah, awal-awal mengenal sistem terbuka BSD-Linux, Diizinkan-Nya berinteraksi dengan antarmuka lingkungan desktop KDE. KDE awal tersebut (zaman keemasan Linux Mandrake), yang beberapa orang membilang bahwa (nyaris) mendekati antarmuka desktop Windows 98/XP (secara asali/default), dikesankan tidak “seringan” desktop lain. Fitur-fiturnya lebih berlimpah dan kompleks guna mendukung fleksibelitas kustomisasi pengguna. Lain hal dengan desktop lain tersebut, yakni GNOME, yang cenderung lebih tampak sederhana (sesimpel antarmuka desktop OS X—sebelum berganti nama menjadi macOS). Sekali lagi ditandaskan: kala itu.

Beriring waktu berlalu, banyak hal tentu boleh berubah. GNOME makin matang dari waktu ke waktu. Tidak sedikit distro Linux mayor dan/atau populer menyematkan sebagai desktop asali, misalnya: keluarga Red Hat (Fedora, CentOS, Rocky, AlmaLinux, dan seterusnya), Ubuntu, dan lainnya (sekalipun juga menyediakan opsi flavor yang lain (selain GNOME dan KDE, yakni: XFCE, MATE, Cinnamon, LXDE, dan lain-lain). Tidak dapat dimungkiri, pendek kata, GNOME (barangkali) lebih diminati.

Kami pun memiliki pengalaman dengan GNOME yang tidak terlalu banyak, qadarullah. Hal ini bukan tanpa sebab, beberapa kali memasang distro besar ber-GNOME, di antaranya: Ubuntu dan Fedora, di atas mesin MacBook Pro (MBP) 2009, belum mendapati titik temu yang nyaman—alhamdulillah. Pascapasang secara asali, tidak jarang Fedora/Ubuntu enggan menampakkan log masuk pengelola jendela (window manager) GNOME. Anehnya, kalau kita terbiasa menekan tombol [Enter], lalu mengetikkan password, ia pun berproses masuk ke dalam desktop. Sampai masuk desktop pun perjuangan belum berakhir, kita masih perlu klik kanan mengatur display dan mengaktifkan pe-mirror-an.

Kalau mulai ulang (reboot, restart), ini pun terulang kembali (tidak menyimpan aktivitas sebelumnya). Sejatinya, ada pelbagai kiat menge-tweak bagaimana GNOME Display Manager (GDM) tersebut dapat tampil. Namun, saya saja yang pemalas, hi-hi-hi. Minimalnya, kita dapat sunting /etc/gdm/custom.conf dan memastikan Wayland tidak digunakan. Omong-omong, MBP 2009 tersebut belum ber-SSD sehingga lumrah adanya bila kurang gegas. Namun, hal ini berbanding terbalik dengan KDE, yang ternyata seolah terasa lebih ringan daripada sebelum-sebelumnya, sekalipun di atas openSUSE atau Kubuntu (daripada Kubuntu, lebih ringan KDE neon—turunan Ubuntu yang didesain dengan balutan KDE terkini).

Tidak salah lagi, KDE yang disematkan di Linux openSUSE, lebih-lebih versi rolling-release Tumbleweed! Selain distro Linux yang terasa Jerman ini beserta KDE neon, juga—tentu saja—Slackware! Wuhu~! Slackware versi stabil terkini, yakni 15, tidak terlalu menguras upaya ekstra—masyaallah. Hampir semua hal berjalan stabil, ringan, dan benar-benar robust (bandel). Kami pun jatuh cinta lagi dengan Linux veteran yang masih dikawal oleh pendiri utamanya (Patrick Volkerding) ini.

Sempat pernah mencoba Linux Fedora ber-KDE, berat banget. Menge-lag di sana-sini. Memang, tidak seberat ketika ber-GNOME di Fedora. Namun, apabila pengalaman yang diterima masih belum berubah, mending ber-KDE di sistem lain, atau menggunakan Fedora Cinnamon (versi spin terbaru dapat dipantau melalui laman berikut)—kami prefer yang ini. Ya, barangkali tidak semaksimal di Linux Mint, tetapi Cinnamon di Fedora tidak kalah apik. Yang teramat penting adalah betapa gegas ia ketika dioperasikan (untuk flavor XFCE dan MATE di sistem nonkomersial dari Red Hat ini, kami pribadi kurang suka sebab terlalu simpel menurut kami—he-he-he). Fedora-KDE dan openSUSE-GNOME (lebih-lebih versi Tumbleweed Argon), berdasar pengalaman kami di MBP 2009, “sama” berat.

KDE di Slackware dan openSUSE, sejatinya, masih belum final. Masih terbuka kesempatan untuk pelbagai distro lain—insyaallah, terutama serumpun sistem Linux Red Hat (Fedora, CentOS, dkk.). Fedora menjadi primadona kami sebab, pascapasangnya secara asali, ia menyuguhkan tampilan boot yang bersanding dengan sistem macOS kami yang lain (sekali lagi: secara asali/default). Ia membuat partisi HFS macOS untuk menyematkan EFI sendiri, serta dapat mendeteksi Slackware dan Ubuntu dengan baik (masih kurang tahu mengapa kurang dapat mendeteksi openSUSE). Fedora ber-Cinnamon tampaknya memang tepat untuk kami—insyaallah.

Kami pun sempat berlabuh sesaat pada Red Hat versi no-cost. No-cost alias gratis diunduh—dengan menggunakan akun developer, tanpa dukungan penuh selaik versi komersialisasinya. Tidak terlupa CentOS, AlmaLinux, dan Rocky. Sempat ingin mencoba SLE (Linux SUSE versi enterprise), kemudian mendapati Red Hat no-cost merupakan salah satu kabar gembira (tidak masalah bila kurang maksimal selaik versi komersialisasinya). CentOS dan AlmaLinux (baik bernomor versi 8.6 atau 9.0) terhenti saat boot dengan installer-nya (sama sekali enggan me-boot). Sementara itu, Red Hat, terutama nomor versi 8.6, sempat dapat boot, tetapi ujung-ujungnya bergalat ketika melakukan partisi ruang penyimpanan (dengan galat: macefi tidak ditemukan). Namun, GIYF, barangkali laman forum Rocky ini dan GitHub ini dapat dijadikan alternatif—semoga membantu.

Red Hat bernomor versi 9.0 gagal boot dan bergalat kernel panic—alhamdulillah. Kami masih berproses dengan Rocky Linux 8.6, masih berpenasaran dengannya: apakah selaik Fedora atau tidak. Ya, mudah-mudahan tidak jauh berbeda dengan CentOS terdahulu atau Fedora sebab ia berhasil boot—alhamdulillah. Senyampang sekilas tidak kalah serupa dengan Fedora tampaknya, yang dapat melakukan pemartisian secara custom dan otomatis, yang ciamik—mudah-mudahan. Namun, sekilas berdasar temuan tangkap layar di belantara maya, desktop GNOME masih elegan, dan semoga ringan. Well, lama ber-KDE, niat kami beralih ke GNOME tampaknya bertemu titi terang.

Lama ber-Slackware dengan KDE, ingin kami fokus pada keluarga Red Hat kalau menggunakan GNOME. Hal ini mengingat tidak sedikit teman di Amerika Serikat yang lebih akrab dan familiar dengan sistem terbuka yang memang berasal dari Negeri Paman Sam tersebut. Sesuatu yang lumrah, di mana teknologi itu dikembangkan, dimungkinkan di situ pula lebih populer (sekalipun tidak tentu/selalu). Kalaupun kembali pada Slackware ataupun dapat ber-Red Hat, tidak mengapa bila memang sekadar ber-KDE ataupun Cinnamon (tidak ber-GNOME). Alhamdulillah, perangkat masih kurang mendukung GNOME terbaru, berlainnya pun tidak mengapa alias dengan senang hati—insyaallah.

Alhamdulillah, kita masih mudah mendapati serbaneka alternatif yang tersedia. Acap kami mengkreasi pos serba-serbi BSD-Linux. Namun, untuk memperoleh pengalaman berkomputasi yang memadai, barangkali dapat kita kerucutkan lagi pada lingkungan desktop mana yang digunakan. KDE, GNOME, Cinnamon, dan beberapa lainnya yang populer barangkali baru segelintir di dunia open-source yang terbentang luas. Apa pun desktopnya, tidak mengurangi produktivitas berkomputasi Anda.

Alih-alih berfokus pada sistem manakah yang digunakan, tidak sedikit pengguna BSD/Linux yang menyarankan supaya lebih menekankan pada pengalaman fungsionalitas desktop. Pendek kata, distro dapat apa pun, sesuai kebutuhan dan hasrat pribadi. Bahkan, sekalipun Anda ber-macOS ataupun ber-Windows, beberapa aplikasi yang berasal dari di GNOME atau KDE (meskipun tidak semua) juga tersaji dalam versi untuk sistem macOS-Windows. Jadi, sistem operasi pun dapat apa pun, insyaallah, masih dapat merasakan “sensasi” dari GNOME-KDE. Lebih-lebih sekadar mempermak tampilan desktop teramat fleksibel kekinian—insyaallah. Lingkungan desktop yang digunakan bervariatif barangkali dapat memperkaya pengalaman batin berkomputasi lebih maksimal—insyaallah. Selamat ber-GNOME, ber-KDE, dan/atau berkomputasi desktop open-source lainnya!