Riuh Sejenak
Diterbitkan pada dalam Blog.
Alhamdulillah, kelas-kelas luring tatap muka diselenggarakan kembali. Para pengajar pun disibukkan dengan serbaneka tugas yang ada. Supersibuk. Sampai-sampai kita terlupa kembali membedakan antara sibuk dan produktif. Kalau kami, sama sekali tidak peduli dengan dikotomi dua istilah tersebut. Nan pokok, beraktivitas dan beraktivitas. Inilah yang terjadi pada kami pada Senin kemarin—masyaallah. Hari-hari perdana awal semester gasal yang penuh keriuhan. Tidak disangka, banyak hal mesti diselesaikan pada hari itu juga. Alhamdulillah, Dibantu-Nya sehingga kami dapat menuntaskan tugas-tugas kami.
Riuh dan padat. Begitulah suasana di dalam ruangan kami. Sampai pada satu titik waktu bahwa kami perlu rehat sejenak sembari berefleksi atas apa-apa yang telah terjalani. Namun, tubuh pun tidak begitu total merehatkan dirinya, meskipun duduk. Seakan masih membara, sekalipun sembari memejamkan mata sejenak. Bukan tidur, sekalipun (padahal) ingin. Sekadar menjeda diri sejenak dari riuh rendah sesaat sebelumnya. Masyaallah, ternyata juga tidak kalah nikmat. Alhamdulillah.
Ada kala kita terlalu dipusingkan dengan pengomparasian antara kesibukan dan memastikan diri memang benar-benar produktif. Rasanya, kami tidak peduli lagi. Batasan prasangka dan rasa untuk mengutubkan dua hal tersebut terlalu kaku. Kami pun memuara pada jalinan simpul bahwa beraktivitas adalah salah satu keniscayaan hidup ini, sekecil apa pun aktivitas itu.
Kami masih berparadigma, apa pun aktivitas berkehidupan kita, bagaimana pun keadaan yang menghiasi kita, adalah sesuatu yang mesti disyukuri dengan menjalaninya. Hal ini selaras dengan fitrah kita sebagai manusia (yang hidup) untuk senantiasa beraktivitas. Sekecil apa pun, dalam arti, (meminjam istilah adik-adik) berebahan sesuai porsinya pun adalah bagian dari aktivitas. Tiada kita yang benar-benar menganggur—insyaallah. Ayunan tangan dan kaki yang saling bergantian, membantu-menopang pelbagai kegiatan yang ada, merupakan di antara hal yang mestinya selalu diberterimakasihi (bersyukur hanya kepada-Nya semata).
Kita tidak pernah tahu, barangkali apa yang menurut kita atas hal-hal duniawi yang melekat adalah berfaedah ternyata dapat jadi menjadi bumerang bagi kita pada hari kemudian. Kita tidak pernah tahu, batasan mengapa kita mesti begini dan begitu. Perlu kiranya menandaskan diri untuk menyadari betul bahwa banyak hal nanti dapat berubah. Seperti dalam kehidupan secara global ini, semuanya berbeda, tidak ada yang benar-benar baru dari yang diinisiasi manusia.
Kita sekadar menjalani keniscayaan kita dengan ikhtiar semampu kita. Entah bagaimana rupa ikhtiar tersebut. Menuntaskan hal satu mengantarkan kita pada hal berikutnya. Bernapas di ruang satu ke ruang berikutnya (yang kita kira masih sama, padahal belum tentu demikian). Menyelami masa yang satu mengantar semua memasuki masa selanjutnya. Semua terus-menerus berlanjut dengan pelbagai rupa Izin-Nya, sampai tiba masa kita untuk pulang. Terima kasih kita kepada Rabb semesta alam, “Terima kasih, ya Allah!” Alhamdulillah.