Nan Tak Perlu Risau ChatGPT
Diterbitkan pada dalam Blog.
ChatGPT merupakan bot-obrolan (chatbot) yang dikembangkan dan dirilis oleh perusahaan riset kecerdasan buatan OpenAI. Ia dibangun di atas implementasi teknologi GPT-3.5 dan berfokus pada model teknologi kecerdasan berbahasa. Sebab didesain untuk dapat mengenali dan mengkreasi ulang bahasa generatif guna memprediksi kebutuhan kata/kalimat/paragraf berikutnya dalam teks wacana tertentu (terutama masih berkait konversasi dan perintah teks), ia pun dapat membantu pengguna dalam mengotomatisasi dialog/obrolan, mengkreasi konten, hingga dapat membantu penerjemahan (bergantung bahasa yang digunakan). Ia dilatih dengan milyaran satuan bahasa dari pelbagai sumber sehingga dapat memahami gaya bahasa dan hingga dikabarkan (lebih-lebih) konteks tuturan.
Menyinggung GPT-3.5, teringatkah Anda dengan web This Word Does Not Exist karya Thomas Dimson? Engine pengolah kosakata dalam web ini dikembangkan dengan basis GPT-2 dari teknologi Transfomers. Menarik, bukan?
Apabila pengguna menghendaki hasil yang mendekati akurat, ChatGPT dapat dioptimalkan melalui fine-tunning melalui penambahan data latih. Hal ini pun belum jaminan sebab memang masih dalam tahap eksperimental pengembangan berkelanjutan. Well, namanya juga bot, tentu tidak sesempurna manusia. Namun, ini barangkali terlalu dini untuk pengembangan kecerdasan. Tidak begitu dini sejatinya sebab telah muncul teknologi otomatisasi teks dan percakapan sebelum-sebelumnya, tetapi ia lebih cerdas, lebih dari sekada hal ini. Pemodelan bahasa selaik yang diimplementasikan ChatGPT merupakan bagian dari kemajuan Natural Language Processing (NLP). Sebab banyak hal atau bidang masih memerlukan bahasa di dunia ini, ChatGPT digadang-gadang dapat membantu proses yang ada dan diselaraskan dengan tiap kebutuhan. Yang lebih mengerikan adalah pada tahap ia dapat mempelajari konteks tuturan.
Hal tersebut tentu lebih mengerikan sebab konteks percakapan adalah bagian penting dari sebuah tuturan. Pemahaman antarkita dapat berjalin kelindan dengan maksimal bila telah mendapati konteks, bukan? Tenang, ia masih banyak batasan, sekalipun didesain dapat belajar secara mandiri. Kemandiriannya pun berbatas pada hal-hal tertentu dalam ranah bahasa. Sekalipun dapat mempelajari konteks ujaran, tetapi ia kurang dapat menangkap rasa bahasa yang dimaksud.
Kehadiran ChatGPT bukan menjadi sesuatu yang perlu dikhawatirkan. Beberapa pihak, terutama dalam ranah akademik, sempat mengkhawatirkan bahwa ia akan disalahgunakan, salah satunya adalah dapat memanjakan pelajar/mahasiswa dalam mengkreasi teks tulis. Menurut hemat kami, apabila (sekalipun) ia difaedahi dengan tujuan tersebut, sebagai penyelenggara pendidikan pun dapat melakukan dengan kustomisasi konfiguratif khusus untuk menangkal teks-teks yang memang dibuat dari teknologi ChatGPT.
ChatGPT dapat dikonfigurasi untuk mendeteksi teks esai peserta didik, apakah konten mereka mengandung unsur plagiarisme atau terlalu banyak salin-tempel dari sumber rujukan dunia maya. Ya, kita pun tidak perlu berlangganan kembali perangkat lunak pemeriksa plagiat. Hal ini pun menjadi tantangan segenap perangkat lunak pemeriksa salinan konten teks yang telah ada, mereka perlu mengimplementasikan ChatGPT di dalam engine mereka.
Para pengguna dini ChatGPT mengungkapkan betapa mudah mereka berkarya dengan teknologi yang ada. Kalau karya tulis ilmiah barangkali memang dekat dengan dasar teknologi bahasa yang dikembangkan, realitanya, karya sastra pun dapat dikreasi, salah satunya adalah novelis di Amazon Kindle. Mereka cukup puas dengan ChatGPT, padahal masih terbilang baru dan masih termasuk dalam bagian eksperimental. Tidak ada yang keliru dengan novel yang dikreasi dengan ChatGPT, tetapi barangkali tidak setiap pihak bersepakat, bukan? Kami pun juga termasuk bagian yang kurang bersepakat sebab berkarya sastra dengan olah rasa bahasa tertentu tentu berbeda dengan bila sepenuhnya dikreasi melalui ChatGPT.
Menarik bila memang hal tersebut dapat meluas, dan tidak sedikit orang memiliki akses ChatGPT. Seperti yang kami sarankan kepada pendidik atau pemilik institusi pendidikan, salah satunya adalah pemilik platform publikasi pun perlu melakukan regulasi tersendiri. Dalam arti, mereka pun perlu belajar ChatGPT dan memasukkanya ke dalam regulasi mereka.
Bukanlah Ancaman
Kami pernah menyatakan dalam beberapa obrolan kecil. Produk kecerdasan buatan, apa pun bentuknya, tidak lebih pintar dari manusia sehingga isu-isu yang mengatakan bahwa tenaga manusia akan digantikan mesin adalah bualan belaka. Semenjak ratusan tahun lampau, teknologi yang membantu kita, bukan kita yang digantikan teknologi. Teknologi akan menggantikan sesama teknologi.
Bukankah produk teknologi kertas itu hadir ketika sebagian kita masih memanfaatkan dedaunan dan bebatuan untuk menyampaikan pesan dalam bentuk teks tulis yang dipahami masa itu? Permisalan lain, beberapa abad lalu, pegawai dalam sebuah perusahaan mengandalkan tangan-tangan manusia untuk menulis secara manual. Ketika ada mesin tik, apakah pegawai yang ada digantikan mesin tik?
Bukan pegawainya yang diganti, melainkan teknologi-nya. Sebelumnya, menggunakan keterampilan tangan untuk menggoreskan tinta yang ada, selanjutnya produk-produk tulisan dapat dengan nyaman dihasilkan dari mesin tik yang lebih rapi, menghemat waktu dan biaya, serta dapat memproduksi secara massal—pada masanya.
Kemudian, manusia beralih dari mesin tik ke mesin komputasional, termasuk di dalamnya terdapat ponsel atau gawai. Kita pun dapat mengetik dengan leluasa melalui perangkat lunak yang tersedia, yang fitur-fiturnya terus dikembangkan untuk memudahkan kita dalam memproduksi tulisan. Pekerjaan juru tulis pun beralih istilah alat bantu menulisnya, dari tulis tangan menjadi tulis tik (dengan mesin ketik). Kekinian pun, kita dapat bertulis-tulisan berbantuan suara. Kita mengucapkan beberapa kata, terkreasilah tulisan yang dimaksudkan.
Bukan tidak mungkin teknologi ChatGPT ke depan akan merambah bidang lain, selain bidang berkait teks dan tulis-menulis. Salah satunya adalah, sebagai kreator konten, dapat jadi Anda dapat mengkreasi tuturan di dalam video, merespons pelanggan (subscriber di YouTube)/pengikut atau warganet yang berkomentar—dari teknologi chatbot yang ada, bahkan digadang-gadang dapat mengkreasi video berdasar sekadar dari tuturan suara. Dapat jadi suara binatang pun dapat menjadi bagian.
Gambar sketsa yang seolah dikreasi secara manual dengan tangan saja dapat diupayakan dengan teknologi DALL·E 2. Beberapa karya lukisan, dari sapuan warna yang bersifat abstraksi hingga realis, pun dapat diandalkan dari teknologi kecerdasan yang dikembangkan oleh OpenAI juga ini. Bukan tidak mungkin ke depan kita akan dengan mudah mengkreasi video dari teknologi kecerdasan buatan. Bukan tidak mungkin, entah kapan, dan belum tentu menghabiskan ratusan tahun—tidak ada yang pernah tahu, kita dapat mengkreasi konten video berjam-jam dari sekadar beberapa kali kedipan mata, yang telah merepresentasikan apa yang sedang kita imajinasikan. Allahu Akbar! Insyaallah, profesi kebidangan masing-masing kita pun juga di-enhancement dan menjadi lebih bervariatif daripada jamak kekinian.
Tidak sekadar ChatGPT dan DALL·E 2 yang dikembangkan oleh OpenAI. Begitu pula perusahaan teknologi dengan pembidangan intelijensi artifisial bukan hanya OpenAI. Di Tanah Air, terdapat beberapa perusahaan yang berkecimpung dalam ranah kecerdasan buatan. Barangkali, masih berkait dengan data besar (big data), tetapi jamak mengimplementasikannya dalam ranah enterprise sehingga melayani kalangan industri swasta secara langsung (berorientas profit), terutama berkait dengan membantu efisiensi, proses growth, dan scale-up perusahaan berbantuan teknologi yang terotomatisasi. Tentu kita berharap salah satu perusahaan yang telah lahir (atau yang berikutnya) dapat menyejajarkan diri dengan perusahaan yang juga didukung oleh Pak Elon Musk tersebut.
Menyejajarkan diri, dalam arti, bukan untuk berkompetisi, melainkan untuk berkolaborasi dan mengoptimasi diri. OpenAI memang perusahaan riset, tetapi mereka tetaplah unit industri usaha yang memang mengembangkan teknologi yang ada guna berbisnis. Bukankah teknologi memang dikembangkan untuk membantu kehidupan manusia? Tentu sah-sah saja, bukan, bila pengembang juga membiniskan produk yang berkualitas tersebut sebab values yang ditawarkan memantik impak maslahat bagi kehidupan berlebih.
Barangkali, belum perlu teknologi chip yang dapat ditanamkan dalam diri manusia—selaik yang disinggungkan Pak Elon pada beberapa kesempatan. Namun, kita (secara mandiri ketanahairan) perlu bercita dan dapat mengupayakannya. Seperti hal pangkalan pusat data (data center) di Indonesia barangkali belum secanggih perusahaan teknologi luar, tetapi minimalnya mereka telah lama ada di negeri kita dan berupaya semandiri mungkin, apa pun yang terjadi. Enggan atau pesimis, kita tetap perlu berdikari di atas kaki sendiri.
Bersiaga pada Apa pun Teknologi yang Dikembangkan
Beberapa waktu lampau, Menteri Komunikasi dan Informatika (Bapak Johnny G. Plate), menyampaikan bahwa generasi muda kini, dalam menghadapi industri digital, perlu memiliki beberapa keterampilan (skills) khusus—sebagaimana dilansir Detikcom. Terutama dalam mengarungi belantara industri digital, muda-mudi generasi penerus bangsa perlu untuk membekali diri dengan keterampilan berpikir kritis (critical thinking), mengelola kreativitas (creativity), bagaimana berkolaborasi (collaboration), dan tentu saja (keterampilan berkehidupan yang teramat dasar, yakni) terampil berkomunikasi (communication). Keempat keterampilan dasar ini, sejatinya, bukan sesuatu yang benar-benar baru. Lebih dari dua dekade lampai hal-hal ini menjadi penekanan untuk ditempat sedemikian rupa, bahkan tanpa perlu melihat dari/pada generasi mana diimplementasikan. Pendek kata, keempat keterampilan ini merupakan bagian dari keterampilan hidup yang perlu ditempa terus-menerus. Dengan kata lain, tiap individu dari tiap generasi perlu memilikinya sesuai kadar kemampuan dan bidang-bidang yang digeluti.
Lebih lanjut, Pak Johnny menandaskan bahwa, sebab industri digital teramat menonjol dan penting kekinian, keterampilan-keterampilan yang berkorelasi dengan teknologi informasi juga perlu untuk diasah dan dikembangkan. Kekinian, kita tentu sudah terbiasa dengan penekanan pada kemampuan analitik data berlimpah (big data analytics)—yang berjalin kelindan dengan kecerdasan buatan, keamanan jaringan siber (cyber security), komputasi awan (cloud computing), pengembangan web (web development), pemasaran digital (digital marketing, termasuk periklanan/advertisement), manajemen proyek (project management), akuntansi (keuangan/finansial), serta perancangan/desain produk (graphic design, web design, pemaketan/packaging) yang tidak lepas dari ranah multimedia (audio-video/visual, fotografi, videografi). Di samping itu, untuk pengelolaan infrastruktur IT dalam skala yang lebih tinggi/advanced, seperti: pendidikan, kesehatan, ekonomi makro, properti, kriptografi blockchain, hingga kecerdasan buatan (terutama untuk mengakomodasi pelayanan publik, seperti: rekognisi teks-audio-visual, konsepsi kota pintar [smart city], dan sebagainya).
Bukan tidak mungkin, barangkali kelak—insyaallah, pelajar-mahasiswa mengerjakan tugas tertulis pun menggunakan ChatGPT. Hal ini pun tidak jadi soal, kita (sebagai pendidik) pun dapat memeriksa dengan mudah hasil pekerjaan mereka dengan mudah. Kita pun berhak memberikan beberapa indikator tertentu bila memang mereka mengerjakan berbantuan teknologi ChatGPT. Tentu indikator-indikator tersebut dapat didesain dalam taraf lebih diperketat sehingga tantangan bagi mereka pun juga meningkat.
Mau tidak mau, semuanya perlu beradaptasi dan berbenah. Teknologi yang ada dipelajari dan diimplementasi dengan maksimal untuk banyak kebutuhan. Bukan menjadi kekhawatiran, bukan menjadi hal yang perlu dirisaukan. Justru kita bergembira dan terbantu. Suatu teknologi yang menantang kita untuk berkembang, mari juga dapat berkembang dan maju bersama. Fenomena yang ada bukan untuk ditakuti, melainkan untuk dihadapi, dan menganggapnya salah satu hal menarik dalam hidup kita. Kita pun dapat lebih besyukur kepada-Nya sebab diberi anugerah dapat mengembangkan teknologi tersebut.
Koda
Semua perlu belajar, meskipun memerlukan waktu. Proses yang tidak instan mesti dilalui, tetapi bukan berarti dimustahili. Bisa jadi, mayoritas hal dalam kehidupan adalah bagian dari lintas bidang (cross-platform). Bidang pemrograman tidak hanya dipelajari teman-teman yang bergelut di bidang teknologi informasi, tetapi semua orang sebab produk teknologi yang ada pun sudah teramat bersentuhan (bahkan menjadi bagian dari) dengan hidup kita. Bukan tidak mungkin lagi, pendidik bahasa perlu mengetahui bagaimana mengelas bor ekor roket ke luar angkasa dari perusahaan daerahnya sendiri (tidak lagi bergantung SpaceX dan NASA), meskipun probabilitasnya tidak begitu dekat dengan saat ini.
Bukan tidak mungkin struktur arsitektur bangunan berdasar notula berapat/berdiskusi yang terjadi tidak lebih dari 5 menitan. Hidup ini penuhi dengan serbaneka kemungkinan, bukan? Bisa jadi pula kami pun sekadar berfantasi dengan gaya kepanikan tersendiri pada pos ini, hi-hi-hi. Banyak hal pun dapat kita pandang dari serbaneka sisi. Kalau hal-hal duniawi selaik teknologi yang masih belum melanggar syariat dan hukum yang diberlakukan, kita pun dapat memandangnya dari sisi positif. Paling tidak, kita dapat menuai ibrah dari kehadiran teknologi tersebut, dan kita tetap mencari hal-hal positifnya, sekalipun tidak menggunakannya.
Banyak hal di dunia ini, ujung-ujungnya, untuk bahan belajar kita, bukan? Selaik hal kehidupan bersosial, kita belajar dari orang lain, atau kita dipelajari orang lain. Kita saling membelajarkan, semoga senantiasa dalam kebaikan. Santai, kita pun sekadar mengisi waktu kita Diberikan-Nya, bukan? Dia pun Telah Memandu kita dengan syariat-Nya yang teramat benderang. Tiba saat kita meninggalkan dunia ini (dengan kematian), selesai sudah duniawi ini dan memasuki fase kehidupan berikutnya insyaallah—takdir keniscayaan yang setiap kita akan menjalaninya.
Terima kasih telah membaca. Semoga berfaedah! Wallahualam bisawab.