Latif Anshori Kurniawan

Ada Apa dengan Produk Intelijensi Artifisial Kekinian

Diterbitkan pada dalam Blog.

Pengembangan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence, A.I.) makin menggeliat beberapa bulan terakhir. Intelijensi artifisial, pada dasarnya, bukanlah hal baru. Kecenderungannya ia telah hadir dalam ranah manufaktur korporasi beberapa dekade lampau. Hanya saja, memang belum spesifik terimplementasi pada ranah teknologi informasi dan terpublikasi bagi masyarakat umum. Namun, di perusahaan-perusahaan produsen produk tertentu, sudah menjadi hal biasa. Arus informasi nan makin terbuka dan konsepsi pengembangan teknologi berbasis open-source juga menjadi salah satu andil pendorong pengembangan produk AI menyeruak di tengah publik.

Ketika menyebut AI, cenderung jamak kita memparadigmakan sebagai hal-hal yang berkait dengan robot. Padahal, sebagaimana telah disebutkan, otomatisasi di dalam dunia manufaktur atau fabrikasi adalah normatif terdapati. Sejatinya, konsep otomatisasi yang ada juga bagian dari pengembangan AI, khususnya yang mendukung dunia usaha/bisnis. Dengan kata lain, AI bukanlah hal baru sebab paradigma jamak kita yang mengaitkannya dengan dunia robotika tersebut.

Kalau menyinggung perihal AI, sejatinya, bukan berarti sedang membicarakan (hanya) soal robot. Lumrah adanya bila kita memang menganggap AI tidak jauh dari teknologi robotika. Kita sudah terjejali dengan film-film atau narasi-narasi perihal robot-robot yang ada, yang dikembangkan AI-nya sedemikian rupa. Sering mendapati ilustrasi artikel warta digital yang menampilkan robot ketika mengetengahkan AI, bukan? Nyaris selalu demikian. Sampai-sampai, fantasi-fantasi dalam film/narasi yang ada mengerucut pada manusia akan digantikan robot seolah akan terealisasi. Sebuah khayalan berlebihan dan menggelikan.

Apabila teknologi robot/AI memang makin canggih, bukan berarti kita akan tergantikan. Namun, kita terbantukan dan dapat bertransformasi melakukan hal lain. Ibarat zaman dahulu kita menulis dengan pensil, kemudian ada mesin tik, kita terbantukan dengan mesin tik, kemudian aktivitas kita bertransformasi pada tugas-tugas pekerjaan lain. Tulis-menulis dengan tangan memegang pensil atau bolpoin bertinta pun masih kita lakukan, bukan? Toh mesin tik adalah alat bantu, ia sekadar sedikit mengalihkan (belum menggantikan sepenuhnya) sesama alat bantu.

Komputer hadir pun tidak menghilangkan mesin tik. Ia terfaedahi sebab pelbagai tugas-tugas keadministrasian perkantoran menjadi lebih efisien dan efektif. Beberapa hal selesai dalam waktu cepat bila dikomparasikan dengan penyelesaian tugas yang ada dengan mesin tik atau tulis tangan. Mesin tik dan komputer pun tidak menggantikan juru tulis, tidak menggantikan manusia sama sekali. Sayangnya, isu-isu AI terbaru makin menyeruak sebagian besar pihak dan tidak membendung anggapan tersebut. Sebagian justru menjadi risau atas alat-alat bantu yang dikembangkan berbasis AI tersebut. Berikut beberapa di antaranya dan sedikit usulan bagaimana kita bersikap.

AI versus Periset?

Adakah Anda teringat, kami pernah menyinggung ChatGPT yang bukan menjadi ancaman siapa pun di dunia ini? Beberapa hari pascatayang pos tersebut, kami mendapat di lini masa akun Twitter Product Hunt yang menyajikan beberapa produk perangkat lunak terbaru yang dapat mendeteksi tulisan esai di dunia maya apakah dikreasi melalui ChatGPT atau tidak. Software yang dimaksud masih dalam rupa ekstensi untuk peramban web Chrome. Beriring waktu beberapa pekan berikutnya, tidak sedikit portal berita digital daring dari Barat yang mencoba mengkreasi tulisan jurnalistik berdasar teknologi kecerdasan buatan tersebut, dan mereka pun mengatakan tidak untuk produksi tulisan jurnalistik menggunakan ChatGPT.

Kabar terbaru adalah Microsoft cukup jor-joran melakukan investasi pada teknologi AI dari perusahaan OpenAI yang dikepalai oleh Sam Altman tersebut. Terlepas dari warta bahwa Microsoft dan beberapa perusahaan teknologi besar lainnya memesiunkan dini sebagian karyawan mereka cukup besar, termasuk di antaranya adalah Google, mereka amat tertarik dengan pengembangan ChatGPT. Seperti yang telah diketengahkan sebelumnya, OpenAI pun bukan satu-satunya perusahaan AI. Telah terlebih dahulu bermunculan perusahaan yang mengusung ideasional serupa, tetapi dikhususkan untuk kalangan bisnis/industri. OpenAI menjadi populer sebab keberanian mereka mengungkapkan kepada publik atas produk yang sedang dikembangkan.

Sam bersemangat atas hal tersebut. Ia pun cukup aktif di dunia/komunitas sumber-terbuka (open-source, FOSS). Dengan kata lain, bukan hal mengejutkan bila ia membuka banyak hal berkait dengan pengembangan kecerdasan buatan perusahaannya. Dalam pelbagai kesempatan, ia pun menguraikan potensi-potensi produk-produk yang dihasilkan, dan sama sekali tidak menyebar ketakutan. Di mata pengembang dan pemerhati FOSS, apa yang dilakukan OpenAI merupakan terobosan besar positif, terlebih mereka pun membuka kode-sumber beberapa produk melalui laman GitHub mereka.

Kabar terbaru adalah dari grup perusahaan penerbitan akademik Springer Nature yang teramat tidak mempermasalahkan kehadiran teknologi kecerdasan buatan tersebut. Mereka pun secara terbuka menyambut kehadiran ChatGPT, dan merilis beberapa ketentuan akomodatif. Sepanjang untuk membantu penulisan laporan penelitian secara proper, perusahaan yang populer di kalangan akademisi dan peneliti ini pun menandaskan bahwa ChatGPT tidak dapat mewakilkan diri sebagai penulis/peneliti pada paper yang terkreasi.

Sebagian peneliti, di luar Springer Nature, menekankan bahwa ChatGPT tetaplah sebuah tool. Ia merupakan alat bantu yang dapat dimaslahati guna mendukung kreasi ideasional peneliti. Potensinya teramat baik, bergantung bagaimana ia digunakan. Sama sekali tidak akan pernah mewakili kecerdasan manusia. ChatGPT dapat dilatih untuk diselaraskan dengan gaya selingkung penelitian yang acap dilakukan, dapat membantu beberapa hal yang barangkali terlewat oleh peneliti. Polesan hasil akhir paper tetaplah di tangan peneliti.

Eksistensi ChatGPT ibarat mobil listrik swakemudi kekinian. Apakah mobil futurisitk tersebut sudah menggantikan mobil yang masih jamak berbahan bakar fosil? Kita tidak pernah tahu bagaimana masa depan berbicara. Barangkali iya, tetapi keniscayaannya adalah tidak dalam waktu cepat terdekat. Kendaraan listrik pun masih terus dieksperimentalkan sedemikian kuat, dan tentu memiliki plus-minus (selaik jamak hal dalam kehidupan di dunia ini), tetapi kendaraan berbahan bakar minyak masih terus diproduksi. Peralihannya teramat perlahan, tidak se-smooth pemikiran kita sehari-hari.

Produsen kendaraan berfosil tentu tidak tinggal diam. Mereka juga turut mengambil ceruk dunia elektrik, toh produk mereka juga telah belasan tahun bersinggungan dengan pelistrikan. Mereka pun beramai bereksperimentasi produktif dengan mobil listrik yang canggih di antaranya. Tidak mengekor Tesla yang digadang sebagai pemantik hal tersebut, sekalipun sejatinya bukan pionir dalam pasar ini. Mereka tidak lepas kreatif dengan konsep yang diusung secara mandiri, tetap khas dari diri mereka. Tesla memiliki gaya sendiri, sedangkan mereka pun tidak melepas karakter kuat dan nilai-nilai yang melekat pada perusahaan mereka.

Penggunaan teknologi satu dan menggunakan paten sana-sini adalah lumrah. Bisa jadi, ada temuan Tesla yang digunakan pabrikan mobil listrik lain. Namun, orisinalitas kreasi inovatif tetap menjadi hal yang dijunjung tinggi dalam percaturan global dewasa ini. Tidak terkecuali ChatGPT, ia hadir bukan berarti menggantikan pekerjaan atau profesi sebagian pihak. Ia teramat canggih, bahkan dapat dituntun memiliki karakteristik tertentu sesuai arahan kita. Namun, kembali pada fitrahnya, ia merupakan alat bantu.

ChatGPT memiliki potensi yang tidak main-main. Ia dapat kita jadikan ladang untuk berkembang, belajar hal-hal baru. Kita dapat belajar beradaptasi dengannya, sembari tetap tanamkan dalam benak diri bahwa kita tetap masih lebih lihai daripada ia dan/atau perangkat/peranti gawai cerdas lainnya. Kita dapat mempelajarinya. Dalam arti, terdapat demo yang dapat dicoba oleh pengguna personal pada umumnya, tetapi tentu memiliki keberbatasan. Aksesibilitasnya hanya pada bagian sampel, atau bahkan sebagian menyampaikan sekadar pada antarmuka, sehingga kita pun dapat memberi masukan untuk pengembangannya lebih jauh.

Bisa jadi ChatGPT akan dirilis lebih terbuka untuk beberapa ketentuan selaik konsepsi freemium dengan tarif tertentu. Cenderung dirancang dikomerasialisasikan guna mendukung kalangan industri. Kemudian, muncul wacana warganet: “Berarti, hanya kalangan yang menguasai uang di dunia ini yang akan memperoleh aksesibilitas ChatGPT?” Tenang, tidak seseram yang dibayangkan, tetapi tidak dinafikan pelbagai kemungkinan terburuknya. Alih-alih kita berfokus pada ranah-ranah negasi, kita pun dapat menyambutnya lebih positif.

OpenAI, saat ini, belum resmi menandaskan hal tersebut, tetapi rancangan wacana bahwa ChatGPT tersebut dibisniskan telah didiskusikan secara masif. Tentu, teknologi yang digunakan terlalu canggih. Sekalipun sifatnya open-source, kita semua butuh makan pula, bukan? Hal yang lumrah adanya mendapati perusahaan open-source melakukan bisnis. Mereka tetap bersama komunitas FOSS dan bisnis pun tetap jalan—sah-sah saja. Tidak masalah pula dan hak OpenAI pula melakukan demikian.

Pendek kata, tidak perlu khawatir. Baru diinisiasi dan dicoba oleh sebagian pengguna awam, ChatGPT sudah terjustifikasi dampak-dampaknya demikian-demikian, padahal belum tentu terjadi. Salah satunya adalah di dunia pendidikan, banyak pihak khawatir bahwa ChatGPT akan disalahgunakan siswa untuk mengkreasi tugas esai mereka. Perlu diketahui bahwa siswa pun tidak dengan mudah menyalahgunakan ChatGPT, toh akses ke dalamnya memerlukan beberapa upaya, yang barangkali mereka cenderung enggan. Kalaupun ada siswa yang mempelajarinya, justru kita patut berbangga sebab ia berkenan belajar salah satu aspek teknologi informasi yang jarang tersentu. Mereka belajar hal baru, dan kita tetap mengarahkannya untuk dimanfaatkan dalam hal-hal positif. Kita (sebagai pendidik) yang perlu bersungguh diri beradaptasi dan bertransformasi.

Yang kita perlukan adalah kita siap berbenah dan bersikap dengan pelbagai cara yang positif. Kehadiran ChatGPT dapat membantu semua pihak, tidak sekadar untuk berkarya. Bukan untuk menjadi kebergantungan atas hasil yang dikreasi berbasisnya, melainkan kita pun dapat berfokus pada hal-hal lain yang lebih penting dan kompleks. Sebagai contoh, apabila ChatGPT dapat membantu kita menyusun beberapa kerangka karangan, tentu kita tidak saklek mengikutinya. Perlu kita saksamai kembali dengan olah rasa berbahasa khas dari masing-masing kita yang tentu serbaneka. Kita pun terbantu, menyelesaikan tugas esai dengan cepat, dan dapat melakukan aktivitas lain yang lebih urgen.

Apabila kita memang terpaksa ber-gelisah dengan kehadiran ChatGPT yang disalahgunakan siswa untuk berbuat curang (misalnya: sejatinya esai bukan karya mereka sendiri, melainkan dikreasi 100% dengan perangkat lunak cerdas tersebut), kita pun masih mudah mendeteksinya. Bukankah teks tulis itu nyaris selalu ada celah? Hasil terlalu sempurna justru mencurigakan, bukan? Lebih jauh lagi adalah kita pun dapat memfaedahi teknologi yang dapat mendeteksinya, yang dapat menakarnya, yang dapat (barangkali) mencegahnya atau bahkan melarangnya. Ada pihak-pihak yang menyalahgunakan? Tentu kita mesti bersiap mengantisipasi dini sehingga gejala tersebut dapat ditanggulangi sebelum mencuat ke permukaan. Namun, yang paling utama, berkali lagi, ChatGPT tidak semengerikan yang diprasangkakan.

AI Mengakali Pandangan Mata?

Belum selesai dengan pembahasan ChatGPT, Nvidia mencubit pemerhati teknologi informasi. Perusahaan yang berbasis di Taiwan ini, melalui tim Nvidia Broadcast, menyajikan pengembangan teknologi terbaru, yakni bagaimana mata kita tersimulasi pada layar seolah sedang menatap kamera. Sejatinya, Nvidia bukanlah satu-satunya dalam hal ini dan hal ini bukanlah hal yang baru. Namun, cukup populer di media sosial sebab mereka mengintegrasikan pengembangan perangkat keras dan lunaknya guna mendukung konsep tersebut.

Apakah simulasi manipulatif yang dikembangkan Nvidia dan perusahaan lainnya telah teracungi jempol? Tentu tidak. Walaupun masih terdapat banyak kekurangan, sejauh ini gelombang apresiatif dari pelbagai pihak telah berdatangan untuk mereka. Tidak sedikit dari warganet Twitter yang mengimplementasikan keisengan berbasis teknologi tersebut. Kecederungannya memang masih dalam taraf iseng, jauh dari nada serius.

Warganet membagikan beberapa klip (cuplikan, potongan) rekaman video. Ya, hasil dari pengimplementasian teknologi pengalihan pandangan mata tersebut terasa aneh dan tidak biasa. Dalam rekaman video, yang mestinya kita dapati seseorang sedang bercakap dengan orang lain yang tidak tampak, seolah ia benar-benar sedang menatap dan berbicara dengan kita (dengan melihat kamera). Kalau memang ini dimanipulasikan pada keseluruhan scene video, tentu sedikit-banyak mengubah makna yang disiratkan, bukan?

Ada yang setuju, tentu tidak sedikit yang menganggap mengada-ada. Lebih-lebih teknologi kecerdasan tersebut dapat menjadi ladang fitnah yang entah seperti apa wujudunya di kemudian hari. Kami pribadi cenderung sekadar menganggapnya sebagai keisengan atau main-main dari salah satu bagian produk eksperimentasi kecerdasan buatan, dan terprasangkakan masih biasa saja. Justru, apabila ia memang dapat dijadikan alat manipulatif berlebih, yang lebih dari sekadar pengubahan fokus tatapan mata, tentu hal ini yang tidak disetujui oleh banyak pihak.

Terbilang unik, terbilang di luar dugaan, sekalipun memang menjadi hal menarik bagi sebagian kalangan. Namun, barangkali ia dapat berfungsi pada beberapa batas tertentu yang sifatnya tidak meluas. Bisa jadi pada hal-hal yang krusial dan mengerucut pada kasus-kasus yang jarang terjadi. Konteksnya begitu sempit, terlebih bergantung kebutuhan. Hal ini sebab tidak semua orang suka dengan hal-hal manipulatif, bukan? Well, apa pun alat di dunia ini dapat bernilai dan berdampak positif ataupun negatif, bukan? Berhati-hatilah! Semoga Allah senantiasa Melindungi kita!

AI Melawan Pendukung Markah Tirta?

Kalau ChatGPT berkait kata-kata, sedangkan Nvidia menyentuh ranah visual bergerak, kita mengerucut pada hal-hal berkait citra gambar/foto. Beberapa waktu lalu, kami pernah mengulas Cleanup Pictures yang dapat menghapus objek pada gambar secara manasuka dengan presisif. Sejatinya, terdapat alat bantu serupa dari beberapa pengembang lain, tetapi Cleanup Pictures (adakah Anda merasa terlalu panjang namanya?) tampaknya tidak kalah populer sebab kesimpelannya ketika digunakan dan tersedia dalam format aplikasi web dan native (tersedia di App Store).

Kemudian, kita dapati tool yang berkait hapus-menghapus sesuatu pada citra gambar/foto, yang sejatinya berlimpah di toko aplikasi populer sistem operasi ponsel/gawai kekinian. Pada khususnya, yang dapat menghapus markah tirta (watermark) yang … tidak sedikit orang menginginkannya, ahem. Sekali lagi, sudah terbilang berlimpah untuk aplikasi yang difungsikan untuk menghapus objek tertentu sekelas markah tirta sekalipun. Namun, apabila hadir layanan yang mengkhususkan diri secara terbuka dapat menghilangkan markah tirta? Hal ini yang menjadi perbincangan hangat.

Lagi-lagi, tentu saja, pro dan kontra. Tidak sedikit kalangan kreatif yang cukup menyayangkan pengembangan teknologi penghilangan markah tirta secara otomatis tersebut. Namun, barangkali kita memang perlu menandaskan pada konteks kebutuhan, ya. Kehadiran WatermarkRemover.io menjadi salah satu hal inovatif, sekaligus kontroversial. Bukankah markah tirta disematkan dalam karya citra gambar/foto/video adalah untuk melindungi karya tersebut? Sejatinya, tidak sedikit orang yang memaslahati aplikasi olah gambar/foto/video untuk menghilangkan markah tirta, tetapi barangkali platform WatermarkRemover.io tersebut terlalu membuka diri pada pengkhususan pelenyapan markah tirta.

Terlepas dari pelbagai niat yang tersimpan di dalam kalbu segenap warganet, terlepas dari beberapa pihak yang mengkhawatirkan bahwa tool berbasis web tersebut dapat mengantarkan seseorang untuk melanggar hak karya/cipta, teknologi yang dikembangkan oleh Pixelbin.io ini justru dapat memantik kita untuk lebih kreatif. Hal ini tentu mendorong penerbit, yang acap menandai citra dengan watermark, untuk melakukan inovasi pula. Sebagaimana banyak hal dalam kehidupan ini, ada berlimpah alternatif solusi. Selama kita masih Diizinkan-Nya bernapas di dunia ini, Dia Menjamin rezeki tiap makhluk-Nya. Kita dapat berpikir adalah bagian dari rezeki dari-Nya, bukan?

Pemilik platform stok gambar/foto tentu perlu dapat mengembangkan teknologi yang tidak mengizinkan penghapusan markah tirta. Atau, kalaupun dapat terhapus secara penampakan/tampilan, tetapi esensi utama dari berkas/dokumen tersebut dapat ditelusuri keasliannya memanfaatkan teknologi blockchain. Sekalipun sudah terhilangkan markah tirtanya secara penampilan, sekalipun telah tersemat dalam bagian video, dapat terdeteksi elemen asali citra tersebut. Jadi, sekalipun markah tirta terhapus, citra-citra tersebut dapat teridentifikasi sebagai milik dari platform asali yang menyediakannya awal mula/perdana.

Produk kecerdasan buatan dalam ranah olah citra visual tersebut barangkali juga masih dapat dicarikan solusi yang lain, terutama bagi pihak-pihak yang masih memegang teguh autentikasi dan/atau orisinalitas karya. Salah satu alternatif lainnya, bagi penerbit/platform citra gambar/foto, dapat menyediakan opsi berbayar. Citra bermarkah tirta dapat dihapus dengan mudah melalui WatermarkRemover.io bila pengguna telah menyelesaikan penuntasan pembayaran. Ya, penerbit pun dapat bekerja sama dengan tim Pixlebin.io.

Barangkali, berkait kalam terakhir pada paragraf sebelum ini, kehadiran tim/perusahaan pengembang sebuah teknologi tidak dijadikan kompetitor, justru dapat diupayakan langkah-langkah strategis untuk bekerja sama dan berkolaborasi secara terus-menerus dan saling menguntungkan. Hal ini yang perlu kita tandaskan dalam benak kita bahwa, di dunia bisnis, jamak-jamaklah mengedepankan kolaborasi dan saling mendukung antarproduk usaha.

Koda

Pengembangan teknologi kecerdasan buatan adalah keniscayaan—insyaallah. Tidak perlu terkejut dan mengernyitkan dahi, justru itu semua adalah tantangan terbaru pada periode berikutnya. Kita harus siaga dan terus beradaptasi positif dengan perkembangan yang ada. Adaptasi bukan berarti adopsi, tetapi paling tidak terlalu tertinggal. Tidak mesti FOMO, tetapi juga tidak blank sepenuhnya. Sejatinya, tidak harus tahu, tetapi cukup dengan tidak terkejut dan mengedepankan sikap tenang dalam menghadapi apa yang terjadi.

Namun, ada yang lebih penting dan genting, sebagaimana tidak letih disampaikan oleh segenap asatiza, bagaimana kita tetap dapat belajar dan menyesuaikan diri dengan tetap memegang syariat-Nya—ini yang lebih berat. Kita tetap tenang sebab kita lebih percaya pada Kuasa-Nya. Seolah pengembangan AI yang ada terbilang aneh-aneh, padahal sejatinya masih tergolong biasa saja—itu sekadar pengembangan teknologi yang dapat membantu, dan masih dapat dicari solusinya bila memang diindikasi bahwa dampak mudaratnya berlebih daripada maslahatnya.

Kita hanya perlu perbanyak merenung dan berpikir—salah satu rezeki dari-Nya untuk kita sebagai manusia (yang tidak dianugerahkan-Nya kepada makhluk lain). Memperketat diri untuk selalu kritis atas-atas hal di dunia ini, dan selalu berikhtiar berprasangka baik kepada-Nya. Dengan demikian, kita pun tidak mengeluhkan hal-hal yang ditemukan tersebut, serta menjadi lebih mengutamakan kebermanfaatannya untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Terdapat banyak temuan yang memiliki sisi positif, tetapi sayangnya acap tertutupi. Salah satunya selaik aset kripto, barangkali memang masih tidak jelas, cenderung fluktuatif. Namun, teknologi blockchain di baliknya memiliki nilai positif. Blockchain dapat dimanfaatkan untuk pelbagai banyak hal positif, bahkan sekalipun untuk ranah yang lebih besar (makro, global). Jadi, mungkin kita tidak berfokus pada bitcoin dan kawan-kawannya, tetapi dapat mempelajari dan mengimplementasikan konsepsi blockchain guna mendukung banyak hal pada pelbagai sendi kehidupan ke depan.

ChatGPT hadir? Kita pun dapat memanfaatkan untuk melakukan evaluasi tulisan, bahkan mendeteksi karya-karya yang dihasilkan olehnya. AI-Eye-Contact menggejala? Apakah ini berarti ini adalah bagian dari sindiran bahwa selama ini kita berbicara dengan sesama tanpa memandang mereka? Santai, kita mungkin tidak akan pernah menggunakannya, terutama bidang kita yang memang tidak bergelut dengannya. WatermarkRemover.io terinisiasi? Blockchain juga dapat dijadikan salah satu solusi supaya semua pihak kembali tenang.

Kecerdasan buatan tidak berbatas pada beberapa produk teknologi yang telah disebutkan, bukan? Bahkan, kita berpesan instan atau bermedia sosial pun tidak lepas dari olah rasa algoritma platform yang menaungi layanan atau medsos tersebut. Lagi-lagi, konsep yang diusungnya, pada hakitkatnya, tidak kalah jauh dari konsepsi pengembangan intelijensi artifisial. Apakah iklan yang beredar pada lini masa beranda medsos Anda tidak termasuk bagian dari pengembangan AI? AI untuk periklanan, pemasaran, bisnis, bahkan untuk ekonomi makro, dan banyak lainnya, adalah sudah terlalu umum diketahui. Kemudian, kita kaget dengan ChatGPT dan kawan-kawan-nya?

Alangkah elok, satu penemuan perlu diimbangi dengan inovasi penemuan yang lain. Satu temuan bisa jadi melahirkan pelbagai dampak berikutnya, dan memang tidak selalu positif. Selaik hal satu masalah memiliki keberlimpahan alternatif solusi. Namun, alhamdulillah, bukankah kita adalah makhluk yang Diizinkan-Nya berpikir dan dapat belajar sehingga kita dapat menginovasi penanggulangan dampak negatif dari temuan tersebut? Mengapa kita perlu risau, toh kita tidak hidup selamanya di dunia ini.

Benar-benar tidak terbantahkan untuk diakui kini bahwa kita berlekat-hidup bersama produk-produk berbau kecerdasan buatan. Tiada masalah dengan AI, robot, sistem-sistem terotomatisasi, mesin-mesin self-service, dan sebagainya. Berdekade-dekade telah ditemukan dan terus dikembangkan, nyatanya lebih bermanfaat bagi kehidupan, terutama memaksimalkan efisiensi aktivitas berkehidupan kita. Kita pun, atas Izin-Nya, menjadi lebih nyaman menikmati kehidupan. Sesuatu yang patut disyukuri, bukan dikhawatirkan berlebihan.

Masyaallah, dari-Nya, semua hal memiliki solusi. Namun, perlu diingat pula tidak semua hal juga memerlukan solusi. Kadar-kadarnya perlu dicermati dan diselaraskan dengan konteks kebutuhan. Dapat dipilah dengan tenang supaya kita dapat berikhtiar tidak terluput jauh dari berbijak diri (meskipun sejatinya kita juga masih jauh dari kata bijak, ya, astagfirullah). Tidak ada yang perlu diresahkan dan terburu dibombardir dengan ketidaksepakatan kita atas kehadiran produk yang tergolong masih dapat terus dikembangkan tersebut.

Kita timbang-timbang betul kemaslahatan produk tersebut bagi kehidupan. Apakah berfaedah bagi umat, atau justru kehadirannya sekadar sambil lalu. Apakah memang perlu memikirkannya dan menjadikannya bagian dari waktu kita terhabiskan sekadar untuk membahasnya berlebihan, atau kita dapat berproduktif ria turut berkontribusi mengembangkannya. Tenang saja, toh belum tentu kita masih hidup beberapa menit kemudian setelah membahas hal ini.

Tidak perlu membuang energi dengan kegelisahan atas produk-produk tersebut. Santailah, kehadiran mereka justru dapat dijadikan ladang belajar hal baru dan mengupayakan kebermanfaatannya bagi semua. Kalaupun dapat dioptimalkan untuk kebaikan bersama, mengapa tidak. Toh semua teknologi yang ada masih bersifat pengembangan dan eksperimental (bukan produk final) sehingga masih ada upaya untuk menjadikannya lebih bermanfaat bagi sesama.

Semua ini/itu adalah fana, tidak selamanya bertahan, dapat berakhir. Salah satunya bila takdir Kiamat Kecil menghampiri kita, bukan? Sembari menunggu waktu dengan beribadah, sembari berikhtiar berkehidupan (dengan semangat dan optimisme yang baik), sembari menanti ajal datang menghampiri, semoga kita senantiasa Dijaga-Nya dalam pelbagai Kebaikan-Nya. Semoga Allah Melindungi kita dari segala macam fitnah di dunia ini! Semoga Allah Menguatkan kita dalam menjalani sisa-sisa waktu yang Disediakan-Nya! Semoga Dia senantiasa Memandu kita di atas Jalan-Nya! Ya Allah, amin, amin, amin! Wallāhu A’lam.