Latif Anshori Kurniawan

Warnet dan Majalah Linux 2000-an

Diterbitkan pada dalam Blog.

Buku LAN Party karya Merritt K. yang akan dirilis tahun ini—insyaallah—mengajak kita pada nostalgia lebih dari dua dekade lampau. Masa-masa awal kita dapat mengakses komputer rumahan, yang barangkali masih terbilang perangkat yang kurang dapat diaksesi semua kalangan kala itu. Namun, tidak dapat dimungkiri, masa itu telah terjadi dan menjadi salah satu bagian kisah atau stori pada waktu berikutnya, salah satunya masa sekarang ini.

Kala itu, sekitar tahun ’90-an, kita teringat bahwa, salah satu hiburan elektronis yang tersedia, selain radio, adalah televisi. Televisi menjadi bagian yang nyaris tidak dapat dipisahkan dari aktivitas berkeseharian. Banyak informasi dan hiburan disajikan melalui perangkat yang sudah beralih dari analog ke digital itu. Keberadaan internet belum begitu menggema di Indonesia kala itu. Bisa jadi, yang baru dapat aksesi internet adalah kalangan pemerintah, perusahaan besar, dan perguruan tinggi negeri di kota-kota besar. Gemanya baru bersinar di negeri kita ketika awal 2000-an, masa-masa kelahiran dan ke-rising-an warung internet (warnet).

Walaupun tidak semenjamur ketika mulai 2006 di Solo, kami merasakan kehadiran internet ketika mendapati warnet DoCoMo di salah satu sudut Kota Karanganyar. Kala itu, kebetulan (atas Izin-Nya) kami sedang bersekolah di menengah atas sekitar 2003, warnet tersebut menjadi saksi dalam belajar berselancar di dunia maya. Tidak sedikit kita memfaedahi beberapa layanan Yahoo!, mulai dari mesin pencari (Yahoo! Search), surel (Yahoo! Mail) dan milis (mailing-list), pesan instan (Yahoo! Messenger), ruang mengeblog dengan Yahoo! 360, serta beberapa produk Yahoo! lainnya.

Saat itu, mesin pencari Google belum populer di Indonesia, terlebih tampilannya masih teramat sederhana dan kaku daripada Yahoo! Search yang sudah menarik warna-warni ketika itu dan menjadi bawaan peramban populer Internet Explorer diwarnet. Akses pertama kami, salah satunya, adalah perihal Linux. Linux ini apa, mengapa mesti Linux, bagaimana menggunakannya, dan banyak hal, menjadi bagian kata kunci rutin.

Hal ini mengingat, ketika memijaki jenjang menengah pertama, kami mendapati Linux dari majalah InfoLINUX dari penerbit Dian Rakyat (yang dihadiahkan Pak Harry Kastoro). Linux yang dihadirkan sebagai bonus 2 (dua) diska kompak (compact-disc, CD) kala itu adalah sudah dapat langsung di-boot dengan Linux Mandrake 8.2. Sangat asing, belum mengenal komputer dan Windows secara utuh, sudah dihadapkan dengan Mandrake 8.2 dengan tampilan antarmuka yang lebih unik. Sejatinya, sebelum InfoLINUX, kami telah mendapati Komputeraktif! dari Penerbit Gramedia.

Komputeraktif!-lah, sejatinya, yang mengajari kami perihal internet. Kemudian, dikuatkan dengan InfoLINUX yang mengulas serba-serbi Linux dan open-source, Intisari yang mencerahkan dengan pelbagai pengetahuan informatif yang cerdas dan bernas, serta HotGAME yang mengulasi perkembangan gim yang sedang populer di dunia. Setelah beberapa tersebut, sekitar 2005, terfaedahilah PC-Media (satu penerbitan dengan InfoLINUX). Sebenarnya, Info Komputer (dan juga CHIP) telah lahir sebelum PC-Media. Namun, lantaran kios koran yang menjadi langganan kami di Karanganyar waktu itu (tepat lokasinya di sisi utara jalan dekat Terminal Bejen) menyediakan beberapa di antaranya secara berbatas (dan tidak jarang tidak tepat waktu pada awal bulan) sehingga tidak semua majala yang beredar terfaedahi, di samping terdapat pula beberapa majalah Islam yang sudah makin tumbuh masa itu. Hal ini mengingat pula ongkos saku kami yang masih berbatas.

Ongkos saku yang barangkali semestinya dapat dimanfaatkan untuk mendukung penampilan, misalnya guna mengganti ikat pinggang atau sepatu yang sudah mulai kurang sedap dipandang, kami cenderung lebih memilih berhemat guna memfaedahi majalah-majalah informatif tersebut, terutama Intisari dan PC-Media yang lebih acap daripada InfoLINUX. Selain melalui/dari Pak Harry, kami baru mengetahui bahwa untuk mendapatkan InfoLINUX, dapat mengunjungi toko buku Togamas di Solo. Ya, tiada di toko buku Gramedia. Di Gramedia, masih tersedia Intisari (tentu) dan PC-Media, tetapi bukan InfoLINUX.

PC-Media merilis versi mini untuk edisi majalahnya. Ya, ukuran majalahnya menjadi seukuran buku, kertas dengan kualitas yang lebih tipis, bonus konten CD/DVD yang tidak kalah serupa, serta dengan harga yang lebih murah. Menarik, bagi pelajar atau mahasiswa, edisi PC-Media Mini menjangkau aksesi yang lebih luas di kalangan mereka. Di samping majalah, terdapat tabloid yang membahas perihal dunia komputasi dan internet, di antaranya: PCPlus (segrup dengan Gramedia), Komputek (dari salah satu penerbit di Surabaya), dan beberapa lainnya. Luar biasa, dengan tarif yang lebih murah daripada majalah-majalah komputasi yang ada, tabloid-tablodi tersebut menjadi alternatif yang tidak kalah populer sehingga masyarakat pun melek perkembangan IT, mengingat, pada masa-masa itu, internet belum berkembang seperti 10 tahun terakhir di Tanah Air.

Tim redaktur InfoLINUX dan PC-Media luar biasa, mereka menyajikan bonus aplikasi/software produktif, utilitas, bahkan gim/permainan gratis dan/atau demo/trial dalam CD (kemudian DVD) yang disertakan. Kami pun bergembira. Pada dasarnya, konten bonus CD/DVD tersebut dapat diakses dengan mudah melalui internet. Namun, sebab kondisi internet saat-saat itu masih belum sekencang sekarang, hasrat mengakses/meramban web sekadar mencari informasi. Kalaupun memfaedahi Linux, bukan berasal dari ISO yang diunduh secara langsung, melainkan dari bonus yang disertakan kedua majalah tersebut.

Sebab open-source dan menggandakan kepingan diska kompak untuk Windows masih tergolong “ilegal” kala itu, tidak jarang, sebagian teman yang memiliki ISO-nya atau memegang master/salinan Linux yang sudah ter-burning dan siap dijalankan, menawarkan untuk menggandakan kepingan berisi Linux tersebut kepada kami. Kami cukup menyerahkan kepada teman tersebut kepingan kosong, hari berikutnya ia telah mengembalikan kepingan tersebut telah terisi dengan Linux sesuai permintaan kami.

Belajar Linux secara otodidak memantik kami acap berdiskusi di sekolah (alih-alih di warnet DoCoMo). Peralihan ini dirasa begitu “agak cepat”, belum kelar dengan DOS-Windows, dihadapkan dengan Linux. Tidak secepat perkembangan kini, tetapi kami merasakan betapa mudahnya banyak hal mulai beralih/berganti. Dari waktu ke waktu, peralihan dengan “jembatan yang tidak panjang”, mendorong kita untuk lekas beradaptasi.

Adaptasi dari DOS ke Windows saja sejatinya tidak mudah. Namun, pengalaman ber-Linux justru (alhamdulillah) membantu kami ber-DOS saat di SMP diberi mata pelajaran komputer dengan sistem dari Microsoft tersebut. Antarmuka baris perintah (command-line interface, CLI) di Linux lebih kompleks daripada di DOS. Perintah-perintah di DOS yang cenderung sederhana dan berbatas seolah membantu kami dalam menyesuaikan diri. Program DOS, selaik WordStar dan Lotus123, cukup asyik di DOS, yang didukung dengan keasyikan Pak Mulyono (guru komputer SMPN 1 Kerjo) dalam menerangkan yang dibumbui dengna pelbagai candaan yang menyenangkan.

Beberapa kiat dan pintasan (shortcut) perlu dipahami, bahkan dihafal, ketika mengoperasikan beberapa program di DOS. Pengelola berkas di DOS seperti Norton Commander, atau untuk melakukan klon partisi dengna Norton Ghost, membuat warna tersendiri. Beberapa program DOS ’90-an yang populer dikabarkan “agak merusak” justru seolah menjadi permainan bagi kami dan untuk bergaya keren-kerenan. Tentu tidak berpengaruh dengan versi DOS 2000-an yang sudah ditambal sedimikian rupa.

Alhamdulillah, syukur alhamdulillah, ketika di SMA, mendapati teman-teman yang juga menggemari Linux. Padahal, isu-isu penggunaan Windows “bajakan” masih merajalela saat itu. Kami pun masih ingat, betapa isu sweeping menjadi salah satu hal yang teramat sensitif, yang kami belajar supaya jangan pernah menanyakan hal ini kepada segenap pemilik warnet. Alhamdulillah berlebih ketika mendapati warnet-warnet makin menjamur (bahkan rental komputer juga menyediakan aksesi internet berlebih) dan mereka pun menggunakan Linux. Siapa yang masih ingat ZenCafe?

Terlebih, beberapa teman kerohanian juga mengingatkan bahwa menggunakan Windows bajakan adalah perbuatan ilegal sehingga kami cukup memaksa diri dengan ber-Linux. Kami mencoba menghindari ber-Windows bajakan yang saat itu lisensinya masih terlalu mahal bagi kami. Dengan mendapati warnet ber-Linux, kami pun bergembira—masyaallah. Sayangnya, selulus SMA, beberapa warnet di Solo masih ber-Windows, sekalipun telah menggunakan versi asli atau orisinal. Tidak masalah bagi kami, yang penting, dapat digunakan untuk mengakses internet. Hingga pada akhirnya, booming-lah jejaring sosial Friendster dan gim-gim online.

Friendster (termasuk di antaranya juga Plurk) menjadi lebih menarik warganet Indonesia kala itu. Walaupun kita mengakses layanan media sosial dari Amerika Serikat tersebut melalui warnet, tetapi banyak orang cukup bergembira. Nyaris banyak dalih tiap hari ke warnet hanya (minimalnya) untuk mengakses Friendster bagi sebagian orang, terutama remaja dan mahasiswa. Padahal, pada tahun-tahun yang sama, di benua Barat lain, telah Twitter sedang naik daun dan Facebook sudah mulai menggejala (Instagram baru lahir 2011). Ya, keadaannya tidak secepat sekarang yang, ketika salah satu produk/layanan diluncurkan di Amrik untuk global, kita pun dapat langsung mendaftar dan menggunakannya.

Kami, sayangnya, kurang berfokus berlebih pada Friendster dan gim-gim online. Punya akun Friendster, tetapi sekadar nice-to-have untuk stalking pembaruan status terkini sesama teman mahasiswa. Untuk gim, supaya sekadar tahu informasi yang ada, kami cukup ber-HotGAME, nyaris jarang mendapati kami di rental PS sejak setelah SMP. Sama-sama “anak warnet”, tetapi kami lebih memilih belajar Linux, BSD Unix, pemrograman, dan serba-serbi open-source di forum-forum lokal-global, baik forum publik terbuka maupun “bawah tanah”. Bagi kami, sama saja, toh forum-forum yang kami visitasi mengajarkan hal-hal teknis berkomputasi yang tidak kalah serupa.

Apa yang diperoleh di warnet, disimpan di dalam diska lepas (flash-disk, pendrive). Kemudian, di rumah, diaksesi dengan komputer dengan prosesor yang tidak lebih cepat dari Pentium III. Hal ini berlanjut ketika kuliah. Hasil-hasil berselancar dari warnet didalami di indekos. Tidak jarang meminjam laptop teman, atau lebih acap di rental komputer (yang nonkoneksi internet sehingga biaya sewanya jauh lebih hemat). Lebih-lebih, sekitar 2008-2009, akses hotspot wi-fi gratis di kampus (UNS Surakarta) menjadi salah satu kegembiraan tidak ternilai, yang nyaris selalu dapat memantik kami dan teman-teman untuk lebih lama di kampus.

Konten bonus dari InfoLINUX dan PC-Media, barangkali, masih dirasa kurang, sekitar setelah 2009, kami lebih memfaedahi kelanjutan banyak dari bonus tersebut di dunia maya. Sebagai contoh, salah satu kontributor InfoLINUX mengetengahkan LinuxMint (sebelum akhirnya ditulis terpisah “Linux Mint”) yang masih berdesktop GNOME kala itu, kami pun langsung menuju ke laman web resminya dan mengunduh ISO Mint ber-KDE secara langsung. Paling tidak, informasi dari kedua majalah tersebut cukup membantu untuk eksekusi di dunia maya yang lebih efisien.

Tidak heran, ketika ke warnet pun, kami membawa majalah PC-Media dan InfoLINUX, salah satunya sekadar untuk “dikonfirmasikan” secara langsung di samudra maya. Sangat menyenangkan (masyaallah, alhamdulillah), hiburan kami pun cukup hal-hal yang termuat dari kedua majalah tersebut (serta Intisari dan beberapa majalah Islami) serta forum-forum teknologi informatika. Sebagian milis (Yahoo!) dan grup (Google) terfaedahi—masyaallah—sekalipun sekadar silent-reader. Hingga, pada akhirnya, tidak lagi mendapati kedua majalah IT yang melegenda tersebut.

Kami sempat kecolongan kapan terakhir kali kedua majalah komputasi tersebut tidak terbit lagi. Hal ini sebab beberapa bulan sebelum 2011, kami lebih berfokus pada penyelesaian studi dan mengaksesi informasi melalui ponsel BlackBerry (BB) yang juga sedang booming kala itu—yang lebih seksi dari iPhone sebab masih lebih terjangkau. Masih ingat, bukan, betapa kerennya bunyi notifikasi dan lampu indikator perangkat BB kita? Entah tahun 2011 ataupun 2013, yang pasti, makin kurang mendapatinya, kecuali sudah tersedia di toko/warung buku loakan. Kini, beberapa edisi majalah yang telah lama tidak terilis tersebut pun tersedia dalam versi digital PDF pada beberapa lumbung/repositori (GiYF).

Kekinian pun, kita nyaris tidak lagi mengonsumsi majalah cetak, terutama semenjak sebelum pandemi 2020. Khawatir banyak produk bacaan yang telah tersemat di rak buku kita belum banyak terbaca, khawatir masih terbungkus plastik hingga kini (padahal sudah dibeli tahun-tahun sebelumnya). Serbaneka informasi yang didistribusikan pun terus berkembang. Kita pun dengan mudah mengakses informasi selaras majalah-majalah tersebut langsung dari sumbernya (yang jamak dalam bahasa Inggris ataupun bahasa lainnya yang dapat diterjemahkan dengan Google Translate atau tool penerjemah lainnya) secara digital.

Tidak ada dalih untuk berhenti membaca dan belajar/berpikir selama hayat masih Diizinkan-Nya dikandung raga. Hanya saja, kita perlu pilah dan pilih apa saja yang perlu kita serap dan cerna. Tentu tidak semua hal kita perlu terima begitu saja, waktu kita begitu berbatas. Apa yang telah terlalui-terjalani, barangkali dapat menjadi kisah dengan warna tersendiri pada hari kemudian. Menjadi cerita biasa yang tidak perlu semua makhluk-Nya mengetahui. Selaik hal eksistensi majalah cetak yang kita singgung pada pos ini, begitu mudah ia tergantikan versi digital/daring kekinian.

Bersingungan soal waktu yang menjadikan kita lebih terarah. Konteksi waktu menuntun kita supaya lebih memfaedahi waktu yang ada dengan maksimal dan optimal. Masyaallah, kita masih nyala hari ini, tetapi kurang tahu pada esok hari. Kita tidak pernah tahu kapan dan bagaimana akhir progres berkehidupan kita—semoga husnulkhatimah. Sebagaimana nasihat segenap ulama, elok kita faedahi waktu-waktu yang tersisa dengan hal-hal yang lebih bermaslahat (yang selalu bernilai baik dan berdampak positif) untuk keakhiratan kita kelak. Semoga kita peroleh akhir yang baik dari-Nya (Dianugerahi-Nya husnulkhatimah—amin). Terima kasih telah membaca, semoga berfaedah.