Saudara-saudara, (K)Ubuntu 23.10 di MBP 2009
Diterbitkan pada dalam Blog.
Beberapa kali di sini, kami mengesahkan perihal ketidakkompatibelan desktop GNOME terkini, terutama di Linux Fedora 39 (Workstation) dan Ubuntu (LTS 2022) di MacBook Pro 2009 (MBP-2009, MBP-5,3)—sila tengok-tengok beberapa pos sebelumnya. Kami pun bergembira dengan MATE yang sederhana, dan dapat terkoneksikan dengan layar televisi secara asali (default) di ruang-ruang kelas kami di Kampus IV.
Beberapa bulan terlalui dengan kesederhanaan MATE tersebut. Hingga, pada akhirnya, kami mencoba baruan yang dirilis pada satu bulan lampau. Salah satu di antaranya adalah Ubuntu 23.10. Iseng mengunduh citra ISO untuk Ubuntu (berdesktop GNOME) dan Kubuntu (ber-KDE). Masyaallah, keduanya berjalan dengan mulus, konsumsi RAM normatif, dengan fan yang tidak mendesis. Alhamdulillah.
Tentu bukan tanpa cela. Pendek kata, Ubuntu 23.10 belum berhasil dipasang. Beberapa kali mencoba ISO terbaru (bahkan versi terbaru pascaisu vandalisme), tetapi hasilnya masih serupa. Galat yang muncul adalah saat prosesi instalasi. Tahapan pengaturan pemasangan awal lancar (dari pemartisian hingga mengkreasi akun), tetapi progresi berikutnya (yang dapat ditunggu sembari beraktivitas hal lain) menjadi bergalat.
Sebagaimana diketahui, program installer terbaru mulai versi 23.10 ini berbasis aplikasi web (webapp-based) Flutter bernama Subiquity, menggantikan installer versi sebelumnya (Ubiquity). Prosesi instalasi dari awal cenderung lebih lancar bila kita hubungkan MBP-2009 ini dengan jaringan internet. Tampilan antarmukanya segar dan intuitif. Bersih, modern, dan elegan. Sensasinya cukup kompetitif dengan alur instalasi macOS Sonoma.
Tidak masalah. Ubuntu 23.10, secara asali-otomatis berjalan dengan baik. Terutama desktop GNOME 45-nya, tidak perlu lagi melakukan pengaturan display supaya berfungsi dengan me-mirror-kannya. Secara Live di atas cakram lepas USB-bootable, Ubuntu 23.10 berjalan mulus. Terbilang gegas. Namun, belum bersahabat untuk ditanam ke dalam perangkat.
Sempat mencoba Edubuntu 23.10. Berdesktop GNOME versi serupa, tetapi dengan installer lawas Ubiquity. Tidak kalah mulus ketika dijalan Live. Benar-benar bring-back-memory masa-masa Edubuntu masih aktif sebelumnya. FYI, pengembangan Edubuntu sempat vakum, dan kini aktif kembali semenjak versi 23.04 tahun ini. Ini berjalin-kelindan dengan Debian Edu yang masih aktif dikembangkan hingga hari ini (saat Edubuntu vakum, pengembangan Debian Edu terbilang masih aktif dan konsisten).
Ya, Edubuntu 23.10 berhasil dipasang. Sayangnya, ia tidak dapat membuat partisi but EFI secara otomatis (tidak terdeteksi boot-picker dari utilitas OpenCore Legacy Patcher (OCLP, dari Dortania) yang terpasang. Sistem Ubuntu versi edukasi ini berhasil terdeteksi Fedora (respin KDE terkini). Dapat menge-boot, tetapi dengan kondisi GNOME yang stuck seperti waktu lampau. Masyaallah, lagi-lagi, kami pun tertawa lepas. Edubuntu berpangkal pada versi Live saja bagi kami.
Terakhir (hingga saat pos tulisan ini dirilis hari ini), kami menjajal Kubuntu 23.10. Alhamdulillah, voila, ia dapat terpasang. Tidak kalah serupa dengan kasuistis Edubuntu yang tidak mengkreasi partisi EFI secara mandiri, tetapi dapat terdeteksi Fedora. Dapat menge-boot, alhamdulillah. Sebab kenangan bersama Wayland yang kurang bersahabat, kami atur ke X11 saat log masuk perdana di Kubuntu tersebut.
Kubuntu 23.10 menjadi daily-driver kami sejak bulan November kemarin. Sempat berharap UbuntuStudio 23.10 (yang sama-sama ber-KDE) yang dapat berjalan dengan lancar pula, tetapi memang Kubuntu versi terbaru jauh lebih ringan dan stabil. Bisa jadi, hal ini sebab bloated-apps yang terbawa asali UbuntuStudio. Lebih dari lengkap, barangkali memang tidak semua apps terfaedahi. Toh kami bukan kreator konten multimedia yang aktif berproduksi setiap harinya.
Lagi-lagi, kami masih memutuskan untuk tidak bersama Wayland. Wayland telah dinyatakan default pada sistem Fedora berikutnya, tetapi opsi X11 masih tersedia untuk selainnya (Ubuntu, openSUSE, dan lain-lain). Dengan Wayland, mungkin desktop dapat difungsikan dengan baik pada versi Live, tetapi tidak jaminan bila saat setelah dipasang.
Asumsi awal, sebab ber-Wayland, GNOME 45 (di Ubuntu 23.10) dan KDE Plasma 5.27 (di Kubuntu dan UbuntuStudio) tidak kompatibel dengan layar besar televisi kampus kami. Namun, barangkali hal ini tidak sepenuhnya dari Wayland. Ya, sama sekali tidak dapat menyalahkan fondasi protocol-server-display yang digadang-gadang lebih modern dan canggih sebagai penerus sistem window X11 (dari X.org) ini. Well, ketika kami mencoba Ubuntu MATE 23.10, ia juga tidak dapat terhubung televisi tersebut.
Padahal, Ubuntu dengan desktop MATE tersebut secara asali ber-X11 (bukan ber-Wayland). Bisa jadi, hal ini berkait dengan kernel yang terpasang, ya. Wallahu A’lam. Namun, kami mencari suasana baru selain MATE, tidak masalah bila belum dapat terhubung layar eksternal yang lebih besar. Lama berdesktop ala GNOME 2 ini memantik tantangan untuk lebih lama berdesktop lainnya. Barangkali, ber-GNOME terkini belum menjadi takdir kami kekinian.
Keheranan berikutnya adalah, ketika mencoba Fedora MATE 39 update versi respin terkini, juga tidak kalah serupa dengan Ubuntu MATE 23.10. Padahal, ketika mengunduh ISO Fedora MATE awal perilisannya, ia dapat mendeteksi layar televisi besar kami. Kami berasumsi sementara bahwa ini berkait dengan versi kernel yang digunakan. Ya, ISO Fedora MATE terakhir menggunakan kernel lebih baru yang tidak kalah serupa dengan Ubuntu MATE 23.10.
Walaupun begitu, sebagaimana sudah disebutkan, GNOME dan KDE Plasma terkini malah justru makin fit (masyaallah) dengan perangkat MBP-2009 lawas kami. Tidak mengapa hanya pada sesi Live. Tidak masalah bila belum dapat terhubung dengan televisi eksternal. Hal-hal ini justru menjadi pertanda baik bahwa pengembangannya memang terprogresi sedemikian rupa, salah satunya mempertimbangkan dukungan untuk perangkat-peranti lawas lebih dari satu dekade lampau. Terima kasih kita kepada Tim Pengembang GNOME dan KDE.
Omong-omong, untuk desktop GNOME 43 di Debian 12.2.0 terkini, berfungsi dengan baik. Kami sempat menjajalnya dan dapat terpasang optimal tanpa kendala—alhamdulillah. Tidak sekadar dapat tersemat di dalam perangkat, GNOME pada Debian tersebut juga mendeteksi layar eksternal yang ada. Hal ini mengingatkan pada Tails, berbasis Debian terkini dengan desktop GNOME, yang sama-sama dapat menampilkan diri pada layar yang lebih besar.
Debian tetap menjadi andalan banyak orang. Ia sangat solid, menjadi basis turunan distribusi/distro Linux lainnya secara masif. Namun, kami sedang ingin berkeluarga Ubuntu (turunan Debian yang teramat populer). Sebagaimana pernah kami sampaikan, hal ini justru hal baru bagi kami sebab dekade-dekade sebelumnya kurang terbiasa dengan keluarga DEB-based ini. Hal menarik kecil dari Ubuntu adalah ia terdeteksi sistem web WhatsApp (WA) tetap sebagai Ubuntu (bukan sekadar Linux selaik jamak distro lainnya) bila kita menautkan dengan WA ponsel kita—masyaallah.
Kami pun masih senang dengan kawan lama (OpenBSD, FreeBSD, Slackware, Fedora, openSUSE). Namun, memilih Ubuntu (atau sistem yang dikembangkan dari perusahaan komersial) bukanlah sebuah aib, bukan? Desktop modern KDE di Kubuntu 23.10 dengan kernel baru dapat terpasang di MBP-2009 ini menjadi salah satu alasan bagi kami untuk dapat lebih bersyukur (terlebih bila dikomparasikan dengan apa yang sedang menimpa saudara-saudari kita di Bumi Syam Palestina). Allahu Akbar!
Semoga Allah Menguatkan saudara-saudari muslim kita di Palestina. Semoga Allah segera Menganugerahi mereka jalan keluar terbaik dari-Nya. Doa-doa baik dan terbaik kita untuk mereka nan tidak berletih-letih. 🤲
Makin menguat untuk ber-Kubuntu terlebih ketika mendapati Dedoimedo.com yang mengulas Kubuntu dari versi ke versi (salah satunya berikut) dengan sangat antusias. Naravlog YouTube Chris Titus juga terkesima dengan Kubuntu. Keduanya pun menandaskan kesolidan dan ke-powerful-an Kubuntu.
Kubuntu tidak lebih berat daripada Fedora-KDE. Tidak jarang perangkat menge-hang ketika bersama Fedora versi respin ini. Namun, kami belum pernah mendapati galat hang serupa bersama Ubuntu berdesktop KDE yang berbeda dengan KDE neon ini. Belasan kali kami kontekskan bahwa hal ini terjadi di perangkat kami, belum tentu di perangkat Anda. Selain di Kubuntu, lebih jarang terjadi galat di Debian KDE pula—alhamdulillah.
Kubuntu versi inisiasi berikutnya (24.04, LTS tahun 2024) memang barangkali (sejak awal ditekankan) tidak membawa versi Plasma 6 secara default yang digadang-gadang lebih ciamik. Bukan permasalahan signifikan, kita pun dapat mengonfigurasinya supaya dapat berjalan di Kubuntu selanjutnya tersebut bila memang Plasma 6 telah siap.
Teman-teman penggemar KDE terdekat masih gemar ber-openSUSE. Kami salut atas kekonsistensian mereka, kami pun tidak jarang tergocek ingin benar-benar penuh hanya ber-openSUSE berbalut KDE. Versi Leap-nya menjadi pilihan sebab terbilang stabil dan kokoh, tetapi Tumbleweed masih tetap primadona sebab menghadirkan banyak hal secara aktual.
Tentu openSUSE Leap lebih nyaman digunakan. Terutama bila kita memfokuskan pada pengembangan perangkat lunak berbasis Qt di di lingkungan desktop yang mengedepankan kustomisasi berlebih di tangan pengguna ini, Leap ber-KDE sangat nyaman digunakan. Untuk pilihan desktop KDE, sejatinya ada banyak alternatif.
Kubuntu dan openSUSE KDE Leap bisa jadi jamak menjadi pilihan teman-teman untuk desktop Linux yang berfokus pada KDE. Namun, tentu kita tidak melupakan keberadaan Q4OS, Mageia atau OpenMandriva, MX, (sang juara) Slackware, dan banyak lainnya. Selain Kubuntu, kami pribadi sejatinya menunggu Nobara 39 versi desktop KDE.
Sebagai turunan Fedora, Nobara membawa pengalaman pengguna untuk dukungan desktop secara maksimal, terutama untuk kebutuhan multimedia dan gaming. Tentu kami tidak memberatkan diri pada gim, tetapi beberapa hal yang diracik oleh tim memantik kami untuk belajar. Nobara yang supercanggih di atas mesin lawas MBP-2009? Mengapa tidak. Kami sempat mencobanya, dan sedikit lebih ringan daripada Fedora ber-KDE vanilla (versi murni).
Menggunakan distro bukan mayor sejatinya kurang sreg. Namun, makin ke sini, kami mencoba lebih realistis. Tidak masalah dengan distro turunan bila memang dapat mengakomodasi kebutuhan—yang tentu antarkita teramat bervariatif. Apa pun distronya, nan pokok, masih open-source. Entah masih ber-Kubuntu dan/atau ber-Nobara KDE, kami masih di dunia open-source—insyaallah. Wallahualam bisawab.