Latif Anshori Kurniawan

FOSS

Bismillah.

Barangkali, saat ini, Anda sedang mengakses laman ini melalui perangkat atau peranti gawai bersistem iOS atau Android. Tahukah Anda bahwa keduanya “berasal dari” sistem terbuka BSD dan Linux®? BSD sebagai fondasi dasar pengembangan awal macOS (sebelumnya bernama OS X) dan iOS/iPadOS, sedangkan Android berbasis kernel Linux? Omong-omong, berbicara mengenai sistem operasi BSD dan Linux, tentu tidak terlepas dari topik dunia teknologi informasi dan komunikasi (TIK, information and communication technology [ICT, IT]), terutama perihal pengembangan perangkat lunak (software) dengan kode-sumber (source-code) bersifat terbuka (open) untuk publik.

Esensi dari sumber-terbuka (open-source, dalam konteks teknologi informasi) adalah siapa saja, baik perorangan maupun kelompok/perkumpulan/perhimpunan (organisasi, lembaga, instansi perusahaan swasta), secara ‘bebas’ dapat menggunakan perangkat lunak terbuka itu. Tidak berbatas pada ranah penggunaan, tetapi juga dapat mendistribusikannya kembali (di bawah lisensi bebas dan terbuka). Di samping itu, lebih-lebih, siapa pun dapat mempelajari kode-sumber perangkat tersebut sehingga dapat dikembangkan lebih lanjut secara gotong-royong. Omong-omong, istilah gotong-royong, teramat familiar bagi kita di Indonesia, bukan?

Pengembangan teknologi berbasis terbuka tersebut, selain populer diistilahkan sebagai open-source, dikenal pula dengan beberapa singkatan, di antaranya: OSS (Open-Source Software), FOSS (Free & Open-Source Software), dan FLOSS (Free/Libre & Open-Source Software). Di kalangan komunitas open-source sendiri, barangkali tidak begitu mempermasalahkan penggunaannya, mungkin lebih mudah mendapati penggunaan FOSS alih-alih FLOSS. Bagi penggemar free software, barangkali lebih memilih abreviasi FLOSS lantaran dimaknai lebih mengandung nilai (values) yang lekat dengan ‘kebebasan’ dan ‘keterbukaan’ yang sesungguhnya sebagaimana yang ditandaskan oleh Richard Stallman (“Bapak Perangkat Lunak Bebas”, pendiri Free Software Foundation/FSF). Baik FOSS maupun FLOSS, manasuka.

Perangkat lunak (dapat pula dalam rupa yang lebih kompleks seperti sistem operasi [operating system] komputer) open-source yang dimaksud tersebut ‘selalu’ menyertakan lisensi (atau beberapa lisensi sekaligus) yang bersifat bebas dan terbuka. Inisiasi lisensi terbuka dimulai dari GNU Public License (GPL, dengan variasi versi), di bawah payung koordinasi FSF. Terilis menjadi beberapa versi numerasi, lisensi ini digunakan oleh jamak perangkat lunak yang dikembangkan secara terbuka. Tiap nomor rilis berbeda pernyataan kebijakannya sehingga penggunaannya pun disesuaikan dengan tujuan pengembangan; tetap bebas dan terbuka, hanya beberapa poin perincian yang barangkali bervariatif.

Lawan dari pengembangan perangkat lunak secara terbuka adalah close-source. Biasanya, pengembangan secara tertutup disertai dengan lisensi yang tertutup pula. Dalam arti, pengguna dibatasi sedemikian rupa, bahkan sifatnya cenderung komersial. Tidak jarang perangkat lunak tertutup ini memiliki banyak batasan, salah satunya adalah kurang dapat dikembangkan (tidak dapat dilihat kode sumbernya sehingga tidak ada kesempatan untuk dipelajari) lebih lanjut. Lebih-lebih, seringkali dinyatakan sebagai produk yang tidak dapat didistribusikan kembali (misalnya: satu lisensi untuk satu pengguna pada satu perangkat).

Terdapat lisensi terbuka lainnya selain GPL, di antaranya: Creative Commons (CC), MIT License, BSD License, Mozilla Public License (MPL), dan banyak lainnya (panduan memilih lisensi dapat mengunjungi laman berikut). Masing-masing lisensi memiliki karakteristik kebijakan yang beraneka rupa. Penghargaan atas lisensi itu tidak kalah penting, hal ini lantaran berkait dengan hak-hak pelbagai pihak. Apabila terdapat lisensi yang menyertai sebuah perangkat lunak/produk tulisan/atau apa pun itu, elok kita cermati dengan baik dan kita patuhi segala ketentuannya. Seperti halnya ketika kita melakukan visitasi di dunia maya ataupun dunia nyata, tempat tujuan tersebut tidak jarang memiliki code-of-conduct atau agreementagreement, syarat dan ketentuan (term-of-use), serta/atau kebijakan lainnya, sebagai pijakan tata aturan sehingga diharapkan tiada hak yang ‘dilanggar’ (win-win solution, semua nyaman). Sebagai individu manusia, tentu elok saling menghargai sesama kita, baik dalam rupa karya maupun hal lainnya. Sebuah karya produk yang dibaluti oleh lisensi yang disertakan berkencenderungan dilindungi oleh perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, dianjurkan bagi siapa pun untuk menghargai produk berlisensi tersebut sebagaimana mestinya.

Kembali pada esensi FOSS, sejatinya penggunaan istilah ini ditujukan bagi komunitas (yang terdiri dari banyak pihak/kalangan) FOSS itu sendiri. Hal ini lantaran nilai-nilai yang diusung FOSS berasal dari komunitas dan untuk komunitas. Dengan demikian, diharapkan banyak orang memperoleh faedah dari perangkat lunak terbuka tersebut. Penggunanya pun leluasa menggunakan, mendistribusikan ulang, dan/atau dapat pula sekaligus mempelajarinya (sesuai pernyataan lisensi yang disertakan). Sementara itu, bagi yang meminati proses pengembangannya, teramat diizinkan untuk turut serta berkontribusi positif (yang membangun) guna kemaslahatan bersama.

. . .

Awal mula bersemuka dengan sistem operasi komputer berbasis kernel Linux adalah ketika kami baru mulai mengenal dan belajar komputer. Kala itu, acap bervisitasi ke tempat Pak Agus Haryawan dan Pak Hary Kastoro pada sekitar 2003. Pada suatu hari yang random di rumah Pak Hary, kami mendapati sebuah majalah yang membahas khusus Linux dan open-source waktu itu, yaitu majalah InfoLINUX, dengan dua keping compact disc (CD) sebagai bonusnya (ihwal perjalanan tim redaksi InfoLINUX dalam ber-Linux, dapat ditengok pada laman ini).

Bonus CD (sebelum beberapa tahun kemudian dalam rupa DVD) pertama tersebut merupakan bootable sistem operasi ber-kernel Linux. Distribusi Linux yang disematkan adalah Linux Mandrake 8.2 (salah satu distribusi Linux populer saat itu, berasal dari Prancis). Sebagai pengguna yang baru belajar komputer, kami langsung jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Linux. Di sekolah, saat itu Diberi-Nya kesempatan belajar pada jenjang lanjut tingkat pertama (SLTP, kini SMP), diberikan pelajaran mulok pengoperasian perangkat lunak komputer berbasis disk-operating-system (DOS), selaik WordStar dan Lotus 1-2-3, tanpa tetikus (peranti mouse).

Sempat mendapati beberapa majalah dan tabloid komputer, dari majalah Komputeraktif!, Info Komputer (masih dirilis hingga sekarang), PCMedia, hingga tabloid PCplus, PCMild (satu unit dengan PCMedia), atau Komputek (berasal dari Surabaya), setelah mendapati InfoLINUX yang keredaksiaannya dipimpin oleh Pak Rusmanto Maryanto ketika itu. Yang ditunggu-tunggu dari majalah yang dicetak oleh PT Dian Rakyat tersebut adalah bonus citra ISO dan beberapa aplikasi (tentu saja: free) CD/DVD distribusi Linux yang sedang hangat tiap bulannya. Akses internet masih berbatas di desa saat itu sehingga banyak informasi lebih mudah didapati melalui ragam media cetak yang ada. Dengan kehadiran InfoLINUX, kami menjadi tahu Knoppix (salah satu distribusi Linux populer saat itu, dikembangkan di Jerman [selain SüSE]) dan beberapa distribusi Linux mayor lainnya melalui telaah yang diketengahkan oleh para kontributor majalah tersebut.

Masih ingat betul beberapa nama penulis yang pernah menghiasi InfoLINUX. Yang acap muncul, di antaranya, terdapat Pak Noprianto (sekarang sebagai dosen di Universitas Bina Nusantara [Binus], kreator Linux Singkong dan bahasa pemrograman Singkong) dan Pak Supriyanto, beliau berdua jamak menulis perihal kiat-kiat (tips & tricks) teknis. Tidak kalah ditunggu pula pendapat atau sudut pandang kepakaran sekaligus sebagai kolumnis, di antaranya: Pak I Made Wiryana (dosen Universitas Gunadharma), Pak Budi Rahardjo (dosen Institut Teknologi Bandung, masih acap mengeblog dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris), serta Pak Michael S. Sunggiardi (praktisi teknologi informasi).

Tidak kalah menarik, selain tulisan pakar open-source pada InfoLINUX, adalah tulisan-tulisan ahli IT Indonesia pada majalah PCMedia (di bawah pimpinan redaksi Pak Anton Reinhard Pardede), di antaranya terdapat Pak Steven Haryanto dan Pak Bernaridho Imanuel Hutabarat (pencetus teori pemrograman VOpTOq, juga pembuat bahasa pemrograman NUSA). Untuk tabloid, yakni PCplus, saya antusias dengan tulisan-tulisan Pak Aloysius Heriyanto. Tidak jarang pula menunggu tulisan-tulisan menarik dan berfaedah dari para penggawa telematika Tanah Air lainnya, seperti: Pak Rahmat M. Samik-Ibrahim (dosen Universitas Indonesia, “Bapak Linux Indonesia”, penggawa VLSM), Pak Onno W. Purbo (“Bapak Open-Source dan Kemandirian Teknologi Indonesia”, yang juga tidak kalah aktif berbagi pengetahuan melalui kanal YouTube beliaumasihkah ada yang belum mengetahui beliau?), Pak Rusmanto Maryanto (pemimpin redaksi majalah InfoLINUX pada masanya—Facebook beliau), Pak Andika Triwidada (penggawa penerjemah antarmuka perangkat lunak open-source dan sistem operasi terbuka Linux/BSD, masih sangat aktif hingga kini).

Selain beliau-beliau, terdapat pula para senior-senior yang tergabung ke dalam beberapa grup asosiasi, forum, dan/atau komunitas, yang juga mendukung open-source di Tanah Air. Beberapa di antaranya: Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Asosiasi Open Source Indonesia (AOSI), Indonesia Computer Emergency Response Team (ID-CERT), Komunitas openSUSE Indonesia (penyelenggara Indonesia Linux Conference 2022 di Sidoarjo, Jawa Timur), BlankOn, Komunitas LibreOffice Indonesia, GimpScape ID, Kelompok Linux Arek Suroboyo (KLAS), Kubernetes Indonesia, Indonesia IT Security Conference (IDSECCONF), serta beberapa organisasi/komunitas yang mendukung open-source lokal lainnya. Tidak terlupa beberapa perusahaan swasta lokal pun proaktif mendukung open-source di Tanah Air, di antaranya: Indonet, Biznet Gio Cloud, CloudKilat, Excellent (didirikan oleh Pak Masim ‘Vavai’ Sugianto), Inixindo, Sepatu Fans, Qwords.com (didirikan oleh Pak Rendy Maulana Akbar), beberapa perusahaan lain yang terdaftar di Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) pemerintah (tentu tidak terlupa pula dengan bapak-ibu di Kominfo), serta banyak lainnya.

Histori Unix dan Linux

Unix (atau UNIX; diturunkan/derived dari Unix milik perusahaan AT&T) dikreasi dan dikembangkan oleh Ken Thompson, Dennis Ritchie, Brian Kernighan, Douglas McIlroy, Michael Lesk, Joe Ossanna, beserta tim, di pusat penelitian Bell (Bell Labs Research Center). Terutama Ken dan Dennis, beliau berdua merupakan penemu bahasa pemrograman C—”bahasa ibu/induk” dari sebagian besar bahasa pemrograman lainnya hingga kini. Tentu saja, Unix murni berbasis C, dan filosofi kesederhanaan pengembangannya pun berbasis pada standar POSIX (POSIX standardization).

Waktu berlalu begitu cepat—masyaallah, banyak pihak atau organisasi mengkreasi turunan (derivatives) dan/atau clone dari Unix. Di Berkeley, lahirlah proyek BSD. Proyek open-source ini merupakan induk dari pelbagai sistem terbuka di kemudian hari. Hingga kini, sistem BSD pun masih sangat populer, yang teramat menonjol terutama pengembangan BSD Darwin oleh Apple. Serba-serbi diskusi BSD, dapat Anda simak melalui siniar BSD Talk. Salah satu distro Linux yang mengikuti konsep filosofis kesederhanaan Unix, dengan POSIX-nya, adalah Slackware. Untuk forum yang membahas Unix dan Linux sekaligus, The Unix and Linux Forums tidak kalah menarik untuk difaedahi.

Linux, awal mulanya, hanyalah sebuah clone dari UNIX/Unix, sedangkan sistem yang diturunkan langsung dari Unix (bukan clone), yakni sistem BSD (Berkeley Software Distribution). Sebagaimana telah disebut sebelumnya, Linux sejatinya adalah sebuah kernel (‘jantung’ sistem operasi). Oleh karena itu, sistem operasi lengkap disebut sebagai distribusi (atau distro) Linux merupakan gabungan antara kernel Linux dan beberapa aplikasi penunjang. Untuk informasi lebih lengkap perihal distro Linux (dan juga BSD), sila visitasi web DistroWatch.com. Linux sendiri, pada awal mulanya, diinisiasi dengan utilities dari GNU (GNU’s Not Unix) sehingga populer diistilahkan sebagai “GNU/Linux”. Kemudian, penyebutan istilah GNU/Linux pun berangsur-angsur sekadar disebut sebagai Linux, misalnya dari Debian GNU/Linux menjadi Debian Linux. Salah satu sistem Linux yang masih menggunakan diksi GNU adalah Trisquel GNU/Linux.

Sebagian kita barangkali sempat mencoba beberapa varian distro Linux yang di-dualboot-kan dengan sistem DOS/Windows. Ada di antara kita, sekitar ‘90-an atau 2000-an, memperoleh tugas sekolah jamak dioperasikan di atas sistem DOS/Windows, tetapi ingin menjajal Linux dengan men-dualboot-kannya dengan Windows yang lebih dahulu terpasang—tidak dimungkiri bahwa sistem Microsoft ini teramat populer pada masanya. Linux mudah teradaptasi oleh sebagian pengguna Windows di Indonesia awal 2000-an salah satunya sebab begitu mudah mendapati referensi Linux, terutama dalam antarmuka baris perintah (command-line interface), tersedia secara asali (default) di dalam sistem yang disebut man page (dari manual page, sebagaimana jamak didapati di dalam sistem Unix—lebih lanjut: UNIX manpage compiler).

Eksistensi man page menjadi salah satu motivasi pengguna Linux baru untuk mempelajari sistem terbuka yang tersebut. Sangat mudah dipelajari sehingga tidak memerlukan upaya berlebih dalam mencari dokumentasinya. Namun, referensi dokumentatif lebih lengkap, bahkan dapat melayangkan beberapa pertanyaan atau berkonsultasi secara langsung kepada sesama pengguna Linux lain adalah umum terjadi melalui medium daring internet. Ya, tidak jarang, pengguna lebih memilih menelusuri mesin pencari, salah satu yang populer pada masanya yaitu Yahoo! (serta Google mulai mengawali basis pengguna dan membayangi portal yang didirikan Jerry Yang dan David Filo tersebut), guna mempelajari Linux atau hendak mencari solusi bila mendapati kendala teknis—bahkan hingga kini.

Pendek kata, kalaupun kita dapat bertanya-tanya di forum, grup obrolan, dan milis, tidak jarang pengguna veteran menganjurkan kita untuk mencari dokumentasi secara mandiri. Hal ini pun sempat mencuatkan istilah populer RTFM yang cukup tegas. Ya, belajar otodidak memang perlu membaca berlebih, terutama membaca dokumentasi yang diperlukan sesuai konteks kebutuhan berkomputasi. Belajar mandiri adalah kemestian di dunia Linux dan open-source, mengingat tidak jarang kebutuhan komputasional tiap individu yang tidak selalu seragam. Konteks pengguna satu belum tentu sama dengan konteks pengguna lain, bukan, meskipun seolah permasalahan yang dihadapi adalah serupa?

Pembelajaran sistem Linux teramat sesuai untuk adik-adik di sekolah. Hal ini berkorelasi dengan konsepsi belajar sesuatu secara mandiri. Linux pun mengakomodasi kebutuhan belajar independen mereka tersebut. Salah satunya, yang kiranya dapat memantik mereka belajar Linux, adalah games yang tersedia di Linux. Gim-gim yang tentunya lebih jamak bersifat edukatif. Well, peranti gim SteamDeck pun berbasis Linux (diturunkan/dikustomisasi dari Arch dan desktop KDE—yang telah disesuaikan pula). Omong-omong, sistem perilisan yang bersifat rolling menjadikan Arch andalan sebagian pencinta FOSS—lebih-lebih bila dikomparasikan dengan distro lain. Dokumentasi AUR-nya cukup populer, sampai-sampai banyak hal dapat diimplementasikan untuk sistem/distro lain. Ya, Arch pun dapat dipasang di atas Mac Anda.

Bagi Anda yang lebih senior, mengenal Linux lebih awal daripada kami pada sekitar awal ‘90-an, tentu tidak asing dengan Slackware, Fedora (proyek open-source dari perusahaan teknologi Red Hat), openSUSE (oleh perusahaan SUSE, sebelumnya bernama SüSE), keluarga Unix BSD (FreeBSD, OpenBSD/NetBSD), dan lain-lain. Salah satunya adalah Linux SüSE, agak lama terfaedahi—masyaallah, yang beriring tahun-tahun berikutnya, atas Izin-Nya, kami lebih jamak bercengkerama dengan Linux Slackware dan sistem BSD.

Distro Linux pun bervariatif. Salah satu yang populer adalah Ubuntu. Saking populernya, sebagian orang, apabila mendapati istilah Linux, sebagian terbayang sistem yang basis pengembangannya berada di Britania Raya ini. Melalui perusahaan Cannonical, Mark Shuttleworth merilis dan mendistribusikan sistem yang sejatinya berpondasi dasar Linux Debian ini. Beberapa tahun terakhir, tidak jarang kita dapati sebagian laptop yang dirilis oleh perusahaan teknologi terkemuka, di antaranya Dell, HP, dan Lenovo, menyematkan Ubuntu sebagai sistem operasi default. Ubuntu menjadi populer pun bukan tanpa sebab, ia berkeselarasan dengan eksistensi Debian yang memiliki basis pengguna lebih berlimpah. Hal ini pun menyebabkan tidak sedikit pihak yang merilis dukungan untuk perangkat di Linux, salah satunya Linux on Laptops. Untuk perangkat keras yang mendukung/didukung Linux, web Phoronix (salah satu portal kawakan) rutin menyajikan pelbagai pembahasan terkini yang teramat menarik.

Memoar Bersama Slackware

Walaupun “Bapak Linux” dunia, yakni Linus Benedict Torvalds (Linus Torvalds, seorang ilmuwan komputer yang berasa dari Finlandia dan kini tinggal di Amerika Serikat/Amrik/AS), menggunakan Linux Fedora bertahun-tahun, kami masih memiliki banyak alasan untuk menggunakan Linux Slackware. Patrick John Volkerding (Patrick Volkerding, PV) telah membangun Slackware dalam paradigma kebersahajaannya dengan konsep standar tradisional. Daripada distro Linux yang lebih populer seperti Ubuntu/Debian, barangkali kami lebih familiar dengan Slackware, Fedora, atau openSUSE.

Slackware menjadi salah satu distro populer kala awal-awal kernel Linux masih dikembangkan. Tidak sedikit pengguna komputer dan internet senior, yang telah mendapati Linux pada sekitar ‘90-an atau telah belajar komputer pada ‘80-an, menggunakan Slackware (sebagian orang, kala itu, secara nonformal, populer menyebut sekadar Slack dan penggunanya disebut sebagai slacker). Distro SüSE awal-awal pun berbasis Slackware, meskipun selanjutnya distro yang dikembangkan oleh tim yang berbasis di Jerman ini kemudian mengembangkan kelengkapan sistemnya (termasuk pemaketan aplikasi yang ada) secara mandiri sehingga sepenuhnya tidak menggunakan Slackware sebagai basisnya. Begitu pula distro-distro lainnya, meskipun tidak men-derivative-kan diri pada Slackware, tetapi banyak yang pengembangannya terinspirasi dari Slackware.

Semenjak 1993, ketika Ian Murdoc masih hidup dan masih membangun Debian, PV belum mengubah banyak hal pada Slackware hingga hari ini. Dokumentasinya pun terbilang sangat lengkap. Dari prosedur instalasi hingga peningkatan/upgrade sistem, Anda tidak akan menemukan banyak hal berubah. Untuk versi stabil (stable) hingga terbaru/terkini (current), PV merawati/me-maintain semua bagian dari tangan dinginnya sendiri bersama tim kecil (core-team, yang tidak banyak perubahan).

Tidak sedikit kalangan menandaskan bahwa apabila kita ingin mendalami Linux, sila mempelajari Slackware. Bersama Slackware, memang banyak hal perlu dilakukan pada awal konfigurasi. Seringkali beberapa bagian sistem perlu ditata terlebih dahulu sehingga baru dapat berjalan secara otomatis. Sebagian penggawa slacker menandaskan, ketika Anda telah menguasai hal-hal krusial di dalam sistem Slakcware, dimungkinkan Anda dapat beradaptasi dengan cepat ketika meng-handle sistem operasi komputer lainnya, baik sama-sama ber-kernel Linux maupun non-Linux kekinian lainnya—insyaallah. Terima kasih (PayPal), PV!

Salah satu co-founder pemodal ventura besar (venture capital, VC) Indonesia, yakni East Ventures (EV), selaku managing partner-nya (diketahui pula beliau sebagai founder EV Growth), yaitu Pak Willson Cuaca, mengisahkan pengalaman beliau bersama Slackware. Pak Willson dan EV diketahui melalukan banyak investment, bahkan acap dilabeli sebagai perusahaan modal ventura terproduktif, pada beberapa perusahaan rintisan berbasis teknologi (tech startups). Beberapa di antaranya pun telah bervaluasi triliunan rupiah, sebut saja selaik Tokopedia, IDN Media, Ruangguru, dan sebagainya.

EV pun menjembatani banyak investor asing, termasuk di antaranya SoftBank dan lainnya. Namun, luar biasa beliau juga memiliki perhatian dengan Linux, tidak tanggung-tanggung dan malu-malu untuk menyebut Slackware. Selain Pak Willson, former CEO perusahaan solusi open-source Red Hat Inc. (sekarang menjadi bagian perusahaan teknologi multinasional terkemuka IBM), Jim Whitehurst, pun juga pernah sempat “bersentuhan” dengan Slackware ketika awal mula mengenal Linux. Pendek kata, tidak sedikit tokoh IT (salah satunya ialah mantan CEO Red Hat, Jim Whitehurst) yang akrab dengan salah satu Linux tertua ini.

Apabila dikomparasikan dengan distro Linux lainnya, secara asali, barangkali Slackware tidak “semudah” sistem Linux populer lain (Fedora, Ubuntu/Debian, atau lainnya). KDE menjadi lingkungan desktop anjuran. Menurut hemat kami pun, program/aplikasi dan utilitasi yang dibasiskan di dalamnya mencukupi. Aplikasi-aplikasi KDE mencukupi untuk kebutuhan produktivitas harian. Dari aplikasi perkantoran, cukup dengan suite Calligra. Kebutuhan desain, dapat terdukung Krita. Ingin menyunting video? Dapat dipercayakan pada Kdenlive.

Bisa jadi, beberapa aplikasi KDE yang tersemat di Slackware tidak sepopuler aplikasi non-KDE lain, lebih-lebih yang sifatnya lintas platform. Sebagian aplikasi top KDE pun tersedia untuk platform lain. Namun, apabila aplikasi yang ada sudah mencukupi dan banyak hal dari aktivitas berkomputasi kita telah terakomodasi dengan baik (apalagi bila satu tugas dapat diselesaikan dengan satu aplikasi), rasanya lebih dari cukup. Toh, apabila kita ingin memasang aplikasi lain (di luar paket asali tersebut), juga dapat dilakukan. Apabila belum ada program/aplikasi di repositori utama Slackware, kita pun dapat memfaedahi platform SlackBuilds.org, yakni proyek komunitas Slackware yang memungkinkan pengguna untuk mengkreasi paket Slackware mereka secara mandiri.

Tidak sekadar individu dan kalangan korporasi, tidak sedikit pula yang memaksimalkan Slackware untuk mendukung pelbagai kebutuhan di luar bidang komputasi. Sebagaimana jamak pengembangan dan pendistribusian perangkat lunak dan sistem terbuka di perguruan tinggi, terdapat pula sebagai kalangan akademisi yang menggunakan Slackware guna menopang kebutuhan pengkajian dan penelitian. Salah satunya seperti BioSLAX yang dikembangkan di laboratorium Bioinformatics Universitas Nasional Singapura (National University of Singapore). Omong-omong, terdapat pula hub FOSSASIA yang basis utamanya adalah di Singapura, ini tentu mengokohkan eksistensi komunitas open-source di Asia Tenggara.

Komunitas pengguna dan pemerhati Slackware di Indonesia tergabung melalui grup Komunitas Slackware Indonesia, yang jamak terkover melalui laman agregasi Planet Slackware Indonesia. Anda pun dapat berbincang-bincang dengan mereka melalui grup Google (id-slackware) atau grup Telegram. Para penggawa dan senior terkemuka dari komunitas yang telah lama eksis ini, di antaranya Pak Willy Sudiarto Rahardjo (pendiri SlackBlogs), Pak Anjar Hardiena (kreator Zencafe—distro khusus warung internet [warnet], populer pada masanya), Pak Widya Walesa, serta senior dan pengguna lainnya. Selaik individu di dalam komunitas global di seluruh dunia, di antaranya di LinuxQuestions.org (wiki Slackware, didirikan Jeremy Garcia), di grup Facebook), mereka luar biasa.

Omong-omong, terdapat pegiat Slackware kawakan yang berfokus pada bidang forensik digital, salah satunya adalah Linux LEO. Well, bagi Anda yang ingin mendalami Slackware, berikut informasi lumbung (repository, repo) yang mendukung perangkat lunak (software) dan sistem Linux matang ini. Apabila ingin memantau nomor versi paket program/aplikasi yang tersaji dalam Slackware secara asali, dapat pula mengunjungi sublaman Slackware di DistroWatch.com) yang selalu dinantikan oleh segenap slackers dari penjuru dunia. Berikut beberapa cermin repo Slackware yang hingga kini masih aktif.

Selain melalui saluran PayPal, Anda dapat pula mendukung PV melalui laman Patreon*-nya.

*Patreon merupakan platform/portal urun dana yang dibuat oleh Jack Conte dan Sam Yam.

Kebersahajaan Unix BSD

Slackware begitu sederhana. Ia mempertahankan tradisi kebersahajaan Unix/BSD dengan tetap berfondasi kernel Linux. Bagi pengguna yang telah terbiasa dengan Slackware, tentu tidak memerlukan waktu berlebih ketika bercanda dengan sistem Unix atau BSD. Sebagaimana telah disebutkan pada beberapa paragraf sebelumnya, BSD tidak dapat dilepaskan dari sistem Unix. Sekali lagi ditandaskan bahwa BSD merupakan pengembangan lebih lanjut dari Unix, sedangkan Linux adalah sekadar clone-nya atau Unix-like (ber-kernel mandiri, bukan turunan langsung Unix).

Salah satu hal yang menarik dari sistem BSD adalah ia cukup populer, selaik moyangnya. Ia teramat familiar bagi kalangan akademisi/peneliti, terutama di beberapa perguruan tinggi swasta di Amrik. Sebab telah jamak digunakan terlebih dahulu sebelum kelahiran Linux, BSD digunakan beberapa perusahaan teknologi guna mengembangkan produk mereka. Biasanya, kita mengenal sistem BSD dan Linux adalah untuk mendukung peladen/server atau workstation dari basis pangkalan data perusahaan, tetapi tidak sedikit yang membasiskan firmware produk perangkat keras mereka pada sistem BSD—salah satunya.

Saat kami masih ber-Slackware ria, sekitar lebih dari satu dekade lampau, komunitas pengguna dan pemerhati sistem operasi komputer berbasis keluarga Unix dari BSD (dalam bahasa Inggris: BSD Unix, sedangkan dalam bahasa Indonesia: Unix BSD) sangat aktif di Indonesia, di antaranya id-openbsd dan id-freebsd (melalui milis di Yahoo! mailing lists). Teringat salah seorang senior, yakni Pak Jim Geovedi, dan senior lainnya mengajari kita guna membangun how to fish kekhasan tiap diri (secara mandiri). Pak Jim pun akhirnya merilis ke publik (melalui platform Medium) perjalanan beliau bersentuhan dengan dunia IT (terutama berkait dengan keamanan jaringan dan open-source).

Kekinian, komunitas pengguna BSD di Indonesia yang masih aktif berdiskusi adalah Komunitas Belajar FreeBSD Indonesia yang diasuh Pak Andy Hidayat (pendiri IndoBSD, BelajarFreeBSD.or.id, dan grup Telegram Laskar FreeBSD). Terdapat pula grup Facebook: FreeBSD Indonesia. Sebagai wadah bernostalgia antarpengguna sistem BSD di Indonesia, dapat pula visitasi CoreBSD.or.id (salah satu pendirinya juga menginisiasi grup OpenBSD di LinkedIn). Omong-omong, wadah obrolan perihal BSD pun masih aktif hingga sekarang, masih teramat berlimpah, selaik: BSD Now, OpenBSD Journal dan OpenBSD di Lobsters, dan/atau pelbagai presentasi yang diselenggarakan oleh NYBUG, serta lainnya.

Sistem Unix BSD dikenal robust (“bandel”) dan menyenangkan, tidak kalah seru bila dibandingkan dengan Slackware (tepatnya, BSD lebih rumit daripada distro PV ini). FreeBSD dengan lingkungan GNOME merupakan desktop BSD pertama kami. Dokumentasi resmi di dalam handbook tim FreeBSD pun sangat membantu (sangat terperinci lengkap), termasuk bagaimana mengonfigurasi desktop GNOME. Yang kami gemari dari sistem BSD adalah kebersahajaannya. Bahkan, melalui tangan-tangan dingin engineer Apple, BSD yang sederhana dapat dipoles sedemikian rupa hingga menjadi ciamik dan menarik, dan masih tampak kesederhanaannya. Itulah mengapa, apabila kita mendapati macOS atau iOS/iPadOS, fungsionalitas fitur-fiturnya dikreasi sesimpel-simpelnya, tetapi tetap berdaya guna.

Sebagian teman di komunitas yang kami ikuti memiliki prolong engagement dengan sistem BSD (di samping Slackware). Terkhusus BSD, tampaknya porsinya lebih dominan, selaik macOS, FreeBSD, atau OpenBSD. macOS digunakan on a daily basis guna menyelesaikan tugas-tugas di kantor. Kami pribadi masih sering challenging diri sendiri dengan BSD dan Slackware. Well, dapat dikata, apabila kita hanya mengandalkan sistem BSD untuk mengover kebutuhan teknologi kekinian kita, barangkali sudah memadai—insyaallah.

Adapun apabila FreeBSD atau OpenBSD dirasa masih terlalu sukar untuk dicoba, barangkali dapat mencoba turunannya yang dirilis dalam versi Live berbalut desktop yang indah. Untuk turunan FreeBSD, terdapat GhostBSD (pengembang dari Kanada) dan NomadBSD (dari Jerman). Polesan pada GhostBSD dan NomadBSD bisa jadi memaradigmakan sebagian pengguna baru bahwa keduanya bukan dari FreeBSD melalui kemudahan pengoperasiannya secara grafis. Sementara itu, untuk turunan OpenBSD, FuguIta cukup rekomendatif dan masih membawa kekhasan induknya (OpenBSD).

Ingar-Bingar KDE, GNOME, XFCE, dan Lain-lain

Perjalanan bersama komunitas open-source pun masih berlangsung hingga kini—masyaallah. Kami merasa banyak belajar bersama komunitas KDE internasional. Lebih dari satu dekade, kami menggunakan KDE. Sebagaimana telah disampaikan, semenjak menggunakan Mandrake (awal mula menggunakan Linux, sebelum konsisten bersama Slackware tahun-tahun berikutnya), kami lebih jamak bersama lingkungan desktop KDE. Komunitas pengembang KDE jamak didapati di Planet KDE. Patut disyukuri pula bahwa desktop unggulan di Slackware pun masih KDE—alhamdulillah.

Diinisiasi awal mula oleh Matthias Ettrich, KDE dikembangkan dengan basis kerangka pemrograman perangkat lunak Qt. Apabila Anda menggunakan KDE atau bahkan ingin develop/deploy kode-sumber (source-code) aplikasi KDE, Anda cukup mendalami Qt. Qt sendiri sejatinya merupakan C++ framework yang lintas platform (cross-platform). Dalam arti, ketika Anda mengembangkan aplikasi berbasis Qt pada sistem Linux/BSD, dapat dimungkinkan—insyaallah—Anda dapat men-deploy-nya pada Windows.

Berasal dari perusahaan Trolltech di Norway, sempat di bawah payung organisasi perusahaan besar Nokia di Finland, lalu menjadi independen setelah bersama Digia, Qt memantapkan diri sebagai bagian dari pelbagai ranah pengembangan teknologi mutakhir. Dari peranti embedded dan mobile, IoT, hingga kendaraan otonom/autonomous (self-driving vehicles) dewasa ini, Qt terimplementasikan secara proaktif. Terima kasih kepada Haavard Nord dan Eirik Chambe-Eng, para penemu/pendiri Qt.

Salah seorang penggawa teknologi informasi Tanah Air, yang luar biasa keren telah lama berkiprah di luar negeri—terkini di Negeri Paman Sam, yang membuat saya ber-KDE/Qt dalam waktu lama, adalah Pak Ariya Hidayat. Beliau menulis pelbagai tutorial pemrograman, terutama berbasis Qt atau KDE, dalam majalah InfoLINUX dan/atau dibagikan pada blog beliau (beliau sempat mengeblog di Blogger). Salah satu karya beliau yang saya gemari adalah kalkulator sederhana berbasis Qt, yakni SpeedCrunch. Currently, beliau menggeluti teknologi web (PhantomJS, Esprima, dan lain-lain nan luar biasa), memotivasi pengembangan perangkat lunak terbuka, serta beliau dikenal sebagai legenda di KDE.

Sampai sekarang, selama sistem/mesin komputasi masih dapat mendukung, kami masih ber-KDE. Atas Izin-Nya, mengenal developer di balik KDE adalah kesempatan yang tidak dapat dilupakan. KDE, (tentu saja) bersama komunitasnya, masih tetap solid dan luar biasa. Tidak jarang ditekankan bahwa KDE bukan hanya soal teknologi yang dikembangkan bersama, melainkan pula peran serta (kontribusi) komunitas adalah yang dijunjung tinggi. Seperti komunitas open-source lainnya, komunitas KDE juga tersebar di seluruh dunia, salah satunya di Indonesia, yakni Komunitas KDE Indonesia (Indonesian KDE Community, KDE-ID). At current, KDE-ID dapat ditemui di dalam grup Telegram atau bahkan grup Facebook. Setiap pengguna atau pemerhati KDE dan open-source dapat bergabung di dalamnya, welcome to join the chat and share every KDE stuffs there. Kami bukan bagian dari KDE-ID, tetapi kami mendukung atas inisiasi komunitas pengguna KDE di Indonesia ini.

KDE is collaborative, open, and privacy aware. With a vast scope of interesting projects after 22 years, we continue to push the boundaries of what is possible and fun.”

Jonathan Riddel (2018), Leader tim pengembang KDE neon, salah satu senior KDE

Walaupun KDE lebih populer di Jerman dan Eropa, saya tentu tidak melupakan serba-serbi open-source dari Amrik, selain Slackware. Salah satunya adalah Fedora. Apabila ingin ber-KDE di Fedora, telah disediakan variannya dalam rupa spin, yakni Fedora-KDE. Pelbagai insights menarik dari Fedora-KDE ini dapat ditengok pada blog Daniel Vrátil (salah seorang developer KDE). Selain Fedora, FreeBSD-KDE pun tidak kalah menarik. Untuk versi ini, barangkali blog Adriaan de Groot (pengembang dari Belanda) dapat dijadikan pengantar. Yup, pengembangan dan komunitas KDE masih sangat aktif hingga kini. Hal ini dapat ditengok pada web Planet KDE.

Insyaallah, tidak melupakan kenangan bersama KDE. Sebab beberapa teman dan kenalan lebih acap ber-GNOME—sedikit demi sedikit, kami mencoba bersahabat dengan lingkungan desktop yang pengembangannya berbasis di Negeri Paman Sam ini. Tidak kalah dengan KDE, Planet GNOME (global) pun masih meriah. Berbasis GTK, desktop GNOME lebih populer daripada KDE kekinian, terutama pada lini enterprise. Terlebih, sistem-sistem populer didistribusikan secara asali dengan GNOME. Beberapa aplikasi open-source populer juga lahir dari fondasi GTK (dan/atau untuk GNOME), selaik GIMP, Inkscape, GNU Octave (bagi Anda yang familiar dengan MATLAB), dan banyak lainnya. Omong-omong, Miguel de Icaza, pendiri GNOME, memiliki preferensi atas sistem Apple pula.

KDE dan GNOME memiliki basis pengguna fanatik dan berlimpah, basis keduanya pun menjadi bagian fondasi pokok untuk pelbagai software populer, salah satu misalnya Blender, yang mengintegrasikan GTK-wx-Qt. Tidak dimungkiri sebab kehadiran KDE-GNOME menjadi pionir dan semangat motivatif pengembangan yang lingkungan desktop (desktop environment, DE) berikutnya. Sebab termasuk desktop senior dan masih aktif dikembangkan hingga sekarang, fitur-fitur di dalam keduanya teramat kaya, sampai-sampai hal ini pun berpengaruh pada kinerja berkomputasi sebagian pengguna yang masih menggunakan perangkat keras lawas. Alhamdulillah, terdapat alternatif desktop lainnya yang lebih ringan digunakan, salah satunya adalah XFCE (dapat pula diketik/ditulis: Xfce) yang diinisiasi oleh Olivier Fourdan pada 1997.

Xfce, pada dasarnya, berbasis toolkit GTK. Walaupun GNOME berbasis GTK, Xfce bukan fork GNOME (sehingga tidak sama dengan GNOME). Dengan mengedepankan kesederhanaan fitur yang disematkan, Xfce terbilang ringan, teramat lebih ringan daripada KDE dan GNOME. Kami pribadi sempat mengomparasikan ketiga desktop tersebut berdasar indikator keringanan saat digunakan di atas mesin lawas seri 2009 kami: Xfce, KDE, dan GNOME. Ya, entah GNOME cukup berat di atas mesin tersebut (beberapa di antaranya sempat kami ulas sebagai konten blog ini), lebih-lebih bila ber-Wayland (yang kami rasa tidak lebih ringan daripada X11).

Xfce menjadi jajaran desktop ringan membersamai varian lainnya. Terdapat MATE, Cinnamon (oleh pengembang utama Mint), LXDE dan LXQt, Budgie, serta banyak lainnya. Dalam dunia open-source BSD-Linux, sejatinya, DE tidak selalu berkait dengan desktop sepenuhnya. Terdapat window-manager (WM) yang digunakan untuk mengelola jendela aplikasi/program yang terdapat dalam DE. Tentu saja, beberapa WM berseliweran di dunia maya turut menyemarakkan blantika keindahan dunia FOSS kita. Dengan kata lain, sebab open-source pula—insyaallah, DE satu dapat kita konfigurasi dengan WM dari desktop lain (atau bahkan WM independen—bukan bawaan DE tertentu). Semua DE dan WM yang ada pun dapat dipasang pada mesin kita bila memang memungkinkan (bergantung ruang penyimpanan yang tersedia), mengapa tidak. Terima kasih berlebih kita kepada segenap komunitas FOSS di seluruh dunia!

Lumbung ISO Sistem Terbuka Populer

Kita dapat memfaedahi sistem BSD-Linux secara bebas dan terbuka. Begitu dengan mudah kita dapati citra ISO sistem berbasis sumber-terbuka populer nan dapat difaedahi melalui internet. Berikut pumpunan markah (bookmark) pranala (hipertaut, beberapa tautan) berkas ISO yang dimaksud. Sistem-sistem terbuka berikut, jamak di antaranya, merupakan proyek terbuka untuk sistem mayor (sistem utama, bukan turunan/derivative dari sistem lain) dalam versi stabil (stable) dan/atau terkini (current). Kami sekadar menyajikan sistem yang lebih umum digunakan. Untuk sistem BSD-Linux lainnya, sila memaslahati DistroWatch.com.

Sebab pembaruan terkini, jamak di antaranya bukanlah versi stabil (alias unstable), melainkan versi current atau terkini/terbaru. Di antaranya, terdapat versi rilis rolling (seperti: Tumbleweed, Arch), terdapat pula masih dalam tahap development branch (Slackware current), atau bahkan sifatnya masih mentah factory (Fedora rawhide). Sebagai informasi, alih-alih versi fixed, versi rolling menjanjikan ketersediaan perangkat terkini/terbaru sehingga pengguna merasakan pengalaman berkomputasi dengan paket program/aplikasi terkini tanpa perlu melakukan upgrade. Tidak sedikit terdapati bug berlebih sebab memang sifatnya cenderung unstable. Hal ini justru menguntungkan sebab pengguna dapat berkontribusi dengan melaporkan bug yang terdapati kepada pengembang/komunitas. Syukur bila pengguna dapat turut menyumbang ideasional patch sehingga bug atau permasalahan yang ada dapat teratasi—alhamdulillah. Asyik, bukan?

Cermin-cermin Lokal/Terdekat

Tentu kita tidak dapat bergantung dengan lumbung perangkat lunak yang memang lokasi asalinya jamak di luar Indonesia. Hal ini tentu pula dapat memakan lebar-pita (bandwidth, beda istilah dengan broadband alih-alih pita-lebar) internet berlebih ke luar. Alih-alih kebergantungan tersebut, elok kita memiliki sumber daya yang dapat mengakomodasi kebutuhan tersebut secara lokal (di negeri sendiri). Untuk hal tersebut, kita memerlukan cermin (mirror) yang (seperti diistilahkan tersebut) dapat me-mirror-kan lumbung-lumbung yang terdapat di luar Tanah Air.

Berikut senarai cermin untuk berkas citra ISO sistem operasi terbuka (terutama BSD dan Linux) dan sekaligus sebagai repositori banyak hal terkhusus perangkat lunak sumber-terbuka yang tersedia di Indonesia. Dengan memfaedahi cermin lokal, salah satu maslahatnya adalah kita dapat menghemat lebar-pita internet ke luar negeri, hal ini mengingat berkas citra ISO yang jamak berukuran tidak kecil (bergigabita). Sekalipun ada yang ke luar, kita masih dapat memanfaatkan cermin yang tersedia terdekat wilayah Tanah Air, salah satunya adalah dari Singapura. Berikut beberapa di antaranya.

Selain beberapa mirror, apabila hendak belajar berlebih perihal Linux, dapat mengunjungi beberapa kanal daring (baik YouTube maupun platform lainnya) yang memang khusus mengetengahkan Linux dan open-source. Di antaranya: Onno Center (Pak Onno W. Purbo), Pak Budi Rahardjo, Pak Ariya Hidayat (pendiri siniar Semesta MARPEL, grup Telegram @marpel_id), TemanMacet (dari Pak Ronald Widha), Linux Scoop, Chris Titus Tech, Indonesia Belajar, OldTechBloke (telah meninggal dunia), Adi Setiawan, dan banyak lainnya (baik dalam bahasa Indonesia maupun dalam bahasa asing Inggris). Alhamdulillah, begitu mudah belajar banyak hal baik dan positif kekinian dari pelbagai platform daring di dunia maya—masyaallah.

Terdapat Pula: Sistem Alternatif

Sistem bebas-terbuka, pada dasarnya, tidak sekadar sistem BSD dan berbasis kernel Linux. Banyak pehobi, bahkan terseriusi oleh organisasi komunitas, sampai pun beryayasan—yang kecenderungannya nirlaba, mengkreasi pelbagai sistem alternatif lain, yang tidak kalah menarik. Ya, mereka benar-benar independen, tidak berbasis Unix/BSD ataupun kernel Linux. Barangkali, terinspirasi dari Unix/BSD dan Linux, tetapi sama sekali bukan turunan kedua basis sistem terbuka tersebut. Benar-benar dikreasi oleh individu dan/atau komunitas dengan renjana berlebih sehingga masih aktif dikembangkan hingga kini.

Enggan menyebut sebagai sistem “alternatif”, sejatinya, atas sistem-sistem non-BSD/Linux yang dimaksud. Hal ini sebab mereka hadir, sejatinya, bukan alternatif, melainkan memang dikembangkan dengan rasa hati yang tidak kalah serupa. Tidak sekadar hobi, meskipun belum pada taraf seserius sistem-sistem populer besar, lebih-lebih yang bersifat komersial, tetapi memiliki potensi yang tidak dapat dipandang sebelah mata. Sistem lain tersebut di antaranya: ReactOS (desktop bersensasi Windows Server 2003), Haiku (membawa kenangan berdesktop BeOS), KolibriOS (mengingatkan kembali pada gim-gim retro), OpenIndiana (sensai ber-SunOS, lanjutan dari illumos), FreeDOS (tidak diragukan lagi, DOS menjadi salah satu legenda), SerenityOS, Wayne OS (variasi turunan ChromeOS), Icaros Desktop (pernahkah Anda menggunakan sistem Amiga?), Visopsys (sistem mini dikembangkan sejak 1997), TempleOS (lain dari yang lain, dari Terry A. Davis, telah nonaktif), dan beberapa lainnya.

Berdasar sistem-sistem yang ada tersebut, jamak mengusung konsep retrokomputasi, kecenderungan diketengahkan bagi pehobi. Sebagian besar antarmuka yang disajikan mengingatkan kita akan pengalaman berkomputasi pada dekade-dekade sebelumnya. Kami pribadi terkesima dengan proyek Haiku dan SerenityOS, berasa berkomputasi dengan desktop yang baru, yang barangkali kurang populer di Indonesia. Dari sisi teknologi, ReactOS, FreeDOS, dan Icaros Desktop membawa kita ke momentum nostalgia masa lampau. Bukan tidak mungkin, sistem-sistem non-BSD/Linux tersebut menjadi besar, tidak sekadar untuk hobi, dan menjadi salah satu pemain yang memberikan dampak baik bagi dunia IT.

Mengapa FOSS

Sebelum Anda melanjutkan, barangkali dapat membaca terlebih dahulu salah satu laman dari Pak Jan Peter Alexander dengan topik “Mengapa FOSS Penting”. Banyak indikator kebermanfaatan bila jamak pengguna teknologi informasi mengetahui faedah dari pemanfaatan FOSS. FOSS tidak sekadar soal penggunaan sistem BSD ataupun sistem berbasis kernel Linux saja, ia pun mengait pelbagai banyak hal. Dari remah-remah hingga berskala besar selaik infrastruktur sistem informasi organisasi/institusi perusahaan swasta. Baik nirlaba maupun prolaba, yang menginginkan mayoritas operasionalitasnya stabil dan robust. Termasuk di dalamnya bagaimana supaya hal-hal krusial di dalam tubuh organisasi tetap safe dan secure.

Teknologi yang dikembangkan dengan/dalam konsep FOSS menjadi sangat kuat, salah satunya, disebabkan setiap pihak yang berpartisipasi di dalamnya peduli dengan keamanan jaringan infrastruktur komputer, baik berskala kecil maupun lebih-lebih berskala besar dan global. Hal ini mengingat teknologi dikreasi sedemikian rupa bukan hanya membantu kehidupan menjadi lebih mudah, tetapi juga tetap memperhatikan pelbagai aspek yang melindungi privasi para penggunanya. Oleh karena itu, soal-soal privasi sangat menjadi pertimbangan utama dalam dunia open-source. Mengimplementasikan dan menggunakan lisensi sumber-terbuka pun terbilang mudah dilakukan, tersedia berlimpah, tinggal disesuaikan dengan kebutuhan.

Dalam pengembangan open-source, keamanan privatif Anda, dari data, jaringan, hingga layanan, perlu terjamin ketersediaannya—insyaallah. Hal inilah yang menjadi prioritas utama mengapa jamak pihak/organisasi telah beralih ke sistem/platform yang dikembangkan secara open-source. Salah satu organisasi yang tidak kalah berperan di dunia sumber-terbuka dan lebih menandaskan pada aspek privasi dan bagaimana mengamankannya adalah Electronic Frontier Foundation (EFF). Organisasi nirlaba yang berbasis di Amrik ini tidak jarang merilis pelbagai panduan dan pedoman bagaimana memanfaatkan pelbagai tools open-source guna mengamankan aktivitas berinternet, salah satunya mereka membagikan artikel perihal Linux Tails yang ditestimonikan Edward Snowden sebab keandalannya dalam menjaga privasi.

Selain perihal juga amat lekat dengan dunia intelijensi artifisial (artificial intelligence), perangkat lunak sumber terbuka juga mengedepankan keamanan jaringan. Perangkat untuk melakukan tes penetrasi uji-coba sistem ataupun pertahanannya (salah satunya dengan Linux Kali) tersedia luas dan dapat dipelajari. Kalau mengunjungi kanal YouTube DEF CON, hal-hal atau pengembangan produk teknologi berbasis terbuka yang berfokus pada sekuriti jaringan/sistem elektronik, sudah menjadi standar asali (default) apa pun topik yang dibahas. Hal ini juga mendorong kita, sebagai pengguna biasa (salah satunya di internet misalnya), juga lebih acuh/peduli dengan dunia network-security yang tidak berbatas pada mengganti sandi (password) secara berkala hingga ranah rumit kriptografi neural-network di dunia robotika. Cenderung, banyak pengembangan telah berprinsip pada open-source.

Development (dan deployment) perangkat lunak/keras pun terbuka lebar (wide open) sehingga ketika ditemukan sebuah celah atau kekeliruan pengodean (diistilahkan sebagai bug atau security hole), siapa pun dapat menyumbangkan penambalnya (patch-nya). Tidak jarang, developer dari perusahaan teknologi besar, seperti Google (induk YouTube dan sistem Android), Microsoft, Meta (induk Facebook, Instagram, dan WhatsApp), Twitter, serta/atau lainnya, berkontribusi dengan energi dan waktunya untuk turut serta memberikan patch yang diperlukan. Bahkan, mereka pun bergabung mendukung Linux Foundation.

Tidak salah sebut, Microsoft, perusahaan teknologi yang (barangkali) dikenal sebagai pengembang close-source dan propietary-software sebelumnya juga acuh open-source beberapa tahun terakhir. Tidak dapat dimungkiri awal mula kelahiran open-source lebih dari dua dekade lalu tidak jauh dari benturan dengan mereka. Salah satu hal yang teramat terasa adalah saat di Indonesia sekitar 2000-an, betapa tidak mudah menyadarkan masyarakat atas legalitas perangkat lunak. Perusahaan yang berasal dari Redmond tersebut pun mendistribusikan software mereka dengan lisensi tertutup dan berbiaya tidak murah. Saat itu, seolah menghiasi laman-laman warta digital lokal yang mengetengahkan beberapa aktivitas penindakan atas penggunaan software bajakan, terutama area kota-kota besar.

Alhamdulillah, open-source dan BSD-Linux pun, selanjutnya, sedikit demi sedikit mulai memperoleh perhatiannya di Indonesia. Beriring dengan awal-awal penetrasi penggunaan internet melalui ruang-ruang warung internet, yang dibersamai pula kehadiran pusat permainan berbasis internet dan intranet (game center). Kehadiran Linux di sini pun tidak sekadar menjadi alternatif, tetapi juga membuka positivisme baru bahwa menggunakan software perlu diberi ruang kebebasan yang memadai tanpa mengabaikan legalitasnya. Orang-orang pun tidak perlu khawatir dengan komersialisasi Microsoft melalui produk-produk mereka sebab di Linux pun mereka dapat melakukan banyak hal—alhamdulillah.

Siapa pun dapat berubah, siapa pun boleh mengambil jalan lain di kemudian hari. Seperti apa yang telah dilakukan Microsoft merupakan hal yang wajar (lumrah dapat terjadi). Bahkan, mereka pun menunjukkan kelebihseriusan mereka pada open-source, selain bergabung di Linux Foundation, melalui akuisisi GitHub—salah satu portal berbagi kode-sumber antarpengembang (yang tentu saja: sangat open-source). Serius, mereka pun banyak merilis beberapa produk andalan menjadi open-source—terima kasih kepada Satya Nadella.

Tidak jarang beberapa portal web warta digital khusus teknologi mengetengahkan pengembangan atau produk sumber-terbuka pada tiap bulannya—insyaallah, baik dari The Verge, TechCrunch, hingga banyak lainnya. Open-source pun makin rise dari waktu ke waktu. Melalui kanal YouTube, CNBC memberikan ulasan menarik perihal bagaimana keadaan dunia sekarang. Teknologi modern kekinian tidak dapat mengesampingkan peran serta open-source dan BSD-Linux.

Tidak hanya perusahaan yang telah disebut atau beberapa perusahaan teknologi besar lainnya, terdapat Google (yang cukup berlebih mengambil porsi kontribusi mereka di dunia open-source—salah satunya untuk distro Debian), proyek open-source Meta/Facebook (salah satunya berkait open-source AI dan merilis teknologi Llma), serta lainnya. Bahkan, sekelas NASA sekalipun, perusahaan antariksa di bawah pemerintah Amrik, juga beralih ke Linux sekitar 2013 yang lalu, terutama untuk lini International Space Station (ISS). Well, tidak hanya Linux, FreeBSD di Mars sebagai buktinya. Bahkan, pengembangan teknologi perangkat keras mereka pun tidak lepas dari nilai open-source. Terima kasih kita kepada NASA—selengkapnya pada laman ini.

Ya, tidak salah lagi, FreeBSD, yang notabene barangkali masih kurang populer bagi pengguna dekstop Windows 11 di Tanah Air. Faktanya, untuk kebutuhan workstation, FreeBSD mengambil porsi besar mewakili sistem BSD. Barangkali Anda telah mengetahuinya, selain difaedahi NASA, ia merupakan basis peranti konsol game populer PlayStation (Sony), Swtich (Nintendo), bahkan penopang utama layanan Netflix dan WhatsApp. Luar biasa! Barangkali, inilah dalih mengapa begitu mudah mendapati orang Jepang di dalam komunitas BSD, salah satunya adalah Jun-ichiro “itojun” Itoh Hagino. Perihal bagaimana merawat (me-maintenance) sistem FreeBSD, artikel dari DigitalOcean barangkali dapat dijadikan alternatif rujukan.

Tidak kalah dengan FreeBSD, kekinian (2021), lahir peranti konsol gim yang cukup advance (nyaris dapat disandingkan dengan daya laptop/PC), yang menyesaki kedigdayaan Nintendo Switch dan gawai gim lainnya, yakni Steam Deck. Sistem yang terpasang dalam Steam Deck disebut sebagai SteamOS, sistem ini berbasis Linux Arch dengan balutan teknologi KDE. SteamOS versi 1 dan 2 berbasis Debian, sedangkan SteamOS 3 baru dibasiskan pada Arch dan dikonfigurasi khusus sehingga optimal di Steam Deck. Steam Deck dapat dikata masih terbilang baru bila dibandingkan pemain lama Nintendo dan lainnya, tetapi ini menjadi bagian dari gebrakan yang menggembirakan, lebih-lebih pondasi sistemnya yang open-source.

Jangan ditanya di Amrik, nyaris jamak perusahaan teknologi besar dan beberapa departemen di pemerintahan yang mengurusi pelbagai permasalahan krusil mempercayakan pondasi sistem BSD-Linux guna mengakomodasi pelbagai data penting internal perusahaan. Di Eropa pun, badan nuklir mereka, yakni CERN, mengandalkan open-source (terutama Linux). Kembali ke Negeri Paman Sam, Matt Mullenweg, CEO Automattic dan Tumblr (2022), menandaskan bahwa ia percaya pada nilai-nilai open-source sehingga berhasrat meng-open-source-kan semua produk perusahaan yang ia pimpin.

Perusahaan swasta bonafide HashiCorp pun turut mengembangkan produk-produk mereka dengan basis open-source. Tidak sedikit berpendapat bahwa open-source software took over the world, salah satunya sebagaimana disampaikan Mike Volpi TechCrunch. Pada 2017, Datamation (melalui Cynthia Harvey) merilis senarai 35 perusahaan terkemuka dunia yang memfaedahi perangkat lunak open-source. Selengkapnya, dapat menelisik senarai pengadopsi Linux dunia di Wikipedia. Omong-omong, salah satu perusahaan mobil elektrik yang masih menjadi primadona, yakni Tesla, ber-open-source (Linux) pula, lo.

Bukan menjadi rahasia umum lagi bila software terbuka menjadi bagian dari dominasi pergerakan bisnis kekinian. Pendek kata, roda bisnis dunia dapat dikata sudah terbiasa dengan FOSS, baik sekadar memanfaatkan, mengimplementasikan, maupun turut serta dalam serba-serbi pengembangannya. Menukil dari WhiteSource, minimalnya terdapat 10 perusahaan populer besar dunia yang turut serta berkontribusi dalam pengembangan perangkat lunak sumber-terbuka. Lebih-lebih fenomena terbaru (2022), sebagaimana disebutkan VentureBeat, terdapat beberapa startup yang khusus mengembangkan bisnis berbasis open-source.

Lebih dari itu. Dari kecerdasan buatan (intelijensi artifisial, artificial intelligence/AI: pengembangan machine-learning [ML], deep-learning, chatbot, ataupun large-language-models [LLMs]—populer atas kemunculan ChatGPT dari OpenAI, yang disusul Google dengan Gemini), otonomi digital, hingga realitas teraugmentasi (augmented reality/AR) dan blockchain, serta banyak pengembangan teknologi lainnya yang belum terkover, tidak dapat dilepaskan dari open-source. Hal ini menandaskan bahwa nyaris tiada perusahaan besar yang tidak mengimplementasikan open-source, terutama di dalam tubuh perusahaannya. Kalangan industri makin tidak terpisahkan dengan ranah pengembangan teknologi sumber-terbuka.

Peladen pemerintah Indonesia pun telah disokong oleh workstation bersistem Linux, tidak sedikit perangkat/peranti mereka pun bersistem BSD. Alhamdulillah, departemen lain di pusat pemerintahan juga telah menggunakan Linux dan BSD untuk mendukung pelbagai banyak tugas harian. Kita pun masih berharap semoga digalakkan lagi dan makin menggeliat gerakan Indonesia Goes Open-Source (IGOS) selaik lebih dari satu dekade lampau. Terima kasih kepada LIPI (terutama kepada Pak Nana SuryanaTwitter, Pak Ibnu Yahya, dan segenap tim) yang mengembangkan Linux IGOS Nusantara (IGN, turunan dari Fedora). Selain IGN, ada pula BlankOn (turunan Debian, terima kasih kepada Estu Fardani, Herpiko Dwi Aguno, dan segenap tim)—kita dapat membantu pengembangan Linux kreasi lokal ini melalui laman Kitabisa.com. Terdapat distro Linux lokal lainnya yang masih aktif pula, salah satunya adalah LangitKetujuh (turunan dari Void).

Apple, Inc. nan Acuh Open-Source

Apabila ada sebagian Anda yang telah menggunakan sistem BSD selaik macOS, hal ini tentu lebih mudah dalam melakukan adaptasi sebab pada dasarnya sistem yang dikembangkan Apple ini bersifat terbuka. Walaupun belum seterbuka 100% sistem BSD-Linux pada umumnya, tetapi Apple masih berkenan menyematkan prinsip open-source (terdapat beberapa hal yang menjadi bagian close-source sejatinya, terutama pada sisi driver perangkat keras) pada sistem utama mereka (macOS, iOS, iPadOS, WatchOS), Anda pun dapat dengan bebas mendapati kode-sumbernya. Lumrah adanya, macOS dikembangkan berbasis BSD dan sekaligus dikomersialisasikan ke dalam perangkat/peranti Apple untuk menyokong ekosistem mereka. Tidak sedikit beberapa aplikasi open-source, yang jamak tersedia pada platform Linux-BSD, pun tersedia versi untuk platform macOS.

Anda pun dapat memfaedahi Open Source Mac. Apabila ingin mendapati kelengkapan lainnya, sila kunjungi MacUpdate, FileHorse, dan lainnya—GiYF; berlimpah aplikasi Mac dapat dicoba (sila unduh sesuai dengan kapabilitas pembaruan sistem terakhir macOS Anda—sebab tidak jarang aplikasi tidak dapat dipasang sebab OS yang disyaratkan kurang dipenuhi). Aplikasi favorit kami, di antaranya: Alfred, Things, Bear, Overcast, dan lainnya. Bacaan yang selalu hangat dengan isu-isu Mac, yang dapat difaedahi, di antaranya: 9to5Mac, MacRumors, Cult of Mac, favorit kami: kanal iPad di Reddit, serta (tentu saja) Official Apple Support (lainnya mungkin dapat merujuk di sini).

Banyak proyek lain yang mendukung ke-open-source-an di Mac. MacPorts dan Homebrew merupakan sekian proyek yang menjembatani agar Anda dapat tetap menggunakan perangkat utilitas open-source umumnya di Mac. Sebagian antusias atau pehobi pun masih sangat perhatian dengan macOS versi awal—dengan induk BSD Darwin. Mereka pun masih aktif dalam proyek PureDarwin. Sistem Mac pun cukup andal sebagai peladen/server (salah satunya diakomodasi oleh MacStadium).

Well, tidak jarang kita dapati sebagian pengembang software memiliki preferensi ber-Mac berlebih sebab keandalannya dan sekaligus didukung komunitas. Hal ini terlepas sistem yang digunakan adalah macOS bawaan (ataupun retasan OCLPahem) ataupun BSD-Linux lainnya, segenap pengembang percaya pada Apple. Sampai-sampai, ada pula di kalangan komunitas yang mengkhususkan menggemari open-source dan sekaligus produk Mac, sekalipun seri lawas—bahkan lebih kawakan, salah satunya adalah Joshua Stein.

Pada akhirnya, Anda pun mengetahui bahwa perangkat dan peranti Apple menjadi andal bukan atas kemewahan-nya. Masyaallah, talenta-talenta insinyur di dalam tubuh organisasi perusahaan Apple melahirkan produk-produk yang teramat berimpak bagi banyak hal kekinian. Mereka mengkreasi sistem, software, perangkat, dan/atau peranti, yang memang berdaya guna (powerful). Terima kasih, Steve Jobs! Walaupun terdapat beberapa isu (di antaranya menjadi sebagian dalih helloSystem dikreasi—berbasis FreeBSD) yang menjadi pekerjaan rumah tersendiri, Apple terus berkreasi dan tidak mengabaikan komunitas open-source.

Bebas Digunakan, Bebas Didistribusikan

Sistem BSD-Linux yang bersifat gratis acap memperoleh pandangan tersendiri. BSD-Linux memanglah gratis, tetapi paradigma gratis di sini tidak selalu dimaknai dan dikaitkan dengan pembiayaan, tetapi lebih ditekankan pada kebebasan untuk mendistribusikannya dan mempelajarinya. Kendali distribusi BSD-Linux adalah di bawah lisensi bebas dan terbuka yang disematkanya sehingga BSD-Linux pun dapat dikenal secara masif. Siapa pun dapat dengan bebas/gratis menggunakannya, mempelajarinya, dan/atau bahkan dapat dijadikan sumber inspirasi untuk pengembangan serbaneka produk open-source lainnya.

Tentu saja masih saja yang didapati sebagian orang menyangsikan keandalan BSD-Linux. Tidak perlu dibuktikan bahwa divisi pertahanan Amrik (salah satunya melalui agensi penelitian DARPA), serta/atau pemerintah negara-negara maju lainnya, selaik Jepang, Singapura, dan beberapa negara lainnya juga percaya pada keandalan BSD-Linux. Pemerintah negara maju demikian, lebih-lebih perusahaan swasta startup, baik yang baru merintis maupun sudah melangkah lebih jauh ke arah publik, seperti Gojek, Tokopedia, dan kawan-kawan-nya pun menggunakan BSD-Linux dan perangkat/peranti open-source lainnya. Perihal IT Governance, artikel Pak Muki (Arrianto Mukti Wibowo) berikut dapat dijadikan rujukan.

Kami pun masih memotivasi mahasiswa untuk tidak asing dengan BSD-Linux, sekalipun mereka masih sepenuhnya ber-Windows. Bukan masalah, semua orang berhak memilih. Mengapa kami memotivasi agar mereka ber-BSD-Linux adalah karena kebutuhan untuk belajar sistem komputasi lebih terakomodasi—insyaallah. Secara otomatis, apabila menggunakan BSD-Linux, tidak pantang untuk banyak belajar hal-hal baru, benar-benar lain dari sistem Windows sebelumnya. Barangkali, paradigma awal dan utamanya adalah mahasiswa peduli apakah Windows dan perangkat Office yang mereka gunakan genuine atau tidak sebelum benar-benar memutuskan diri untuk menggunakan BSD-Linux.

Koda

Siapa pun dapat turut serta berkontribusi di dunia open-source BSD-Linux. Bahkan, seorang dokter spesialis tertentu atau apa pun profesi Anda, tidak tidak menutup kemungkinan untuk urun rembug bersama di dunia yang teramat terbuka ini. Kontribusi yang dapat dilakukan tidak sekadar perihal pemrograman atau coding, menyumbang beberapa kata atau kalimat untuk dokumentasi yang diperlukan pun dapat. Well, kita menggunakan produk open-source BSD-Linux saja sudah cukup membantu pengembangan berikutnya.

The open-source & BSD-Linux communities are fantastic. They are always believe in sharing & openness. They share code freely, being volunteer for any kind of open-source events, they born to code (for humanity). They contribute to the projects is not for money, mostly have the motivation to make a better world with technology. They believe in it. The FOSS communities serve anyone with patience and/or give great insights for every BSD-Linux users. By Allah’s Hand, they made the communities alive and made sense that BSD-Linux is really easy for use. All issues are answered well—walhamdulillāh. Thank you, thank you, thank you very much to them—the communities.

Open-source is not only about the licenses, but importantly about the community. From the community, many developers born and giving very great support to push the technology-based start-ups business successfully across the globe these days. In the other word, the open-source people are the part of the great-unicorn start-ups these days. And sure, mostly in international big tech companies today, that popular build in Silicon Valley, from the founders (and co-founders) to the employees, are taken from and/or being part of the open-source world.

Your programming languages, from Python, Ruby on Rails, PHP, and many more, are develop in open-source models. Your mobile systems maybe mostly are opened-source, too. The founders/developers learn from the open-source communities & resources, and mostly give feedback to the communities in various contributions. Everyone can contribute, everyone can use, everyone can build a better world together. By Allah’s Hand, we can not imagine how the world today without the open-source movement.

Selamat ber-FOSS! Selamat menuai pelbagai faedah dari pengembangan teknologi bebas (free) dan terbuka (open-source)!