‘Chatbot’ yang Makin Menawan
Diterbitkan pada dalam Blog.
Hei, sungguh saya kurang dapat bersabar menunggu Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa merilis padanan kata untuk chatbot (chat-based robot) sehingga kiranya diizinkan menyentil diksi yang dapat mewakili, saya mengusulkan ‘botobrol’. Agak memaksa, ya, tetapi tidak mengapa, bukan, untuk coba diusulkan? Barangkali, dapat diusulkan nanti, eh ‘kelak’–wallahualam.
Sebelum memperoleh padanan yang pas untuk chatbot, masih jamak kosakata dalam dunia teknologi informasi (TI) yang belum diserap atau ditemukan padanannya dalam bahasa Indonesia, salah satunya adalah sumber-terbuka alih-alih open-source. Terlepas dari itu, saya belum ingin memperpanjang diskusi ihwal logawiah ini, langsung kita merapat pada pewicaraan chatbot yang makin menarik dari hari ke hari.
Berbicara mengenai chatbot, mengingatkan saya pada obrolan yang terjadi beberapa tahun lalu di salah satu kantin kampus di Kota Semarang. Perbincangan yang dilakukan bersama teman sejawat sesama ‘anak bahasa’ yang memiliki asa ingin mengembangkan sesuatu, dalam ranah TI, yang masih berkait dengan dunia kebahasaan, syukur dapat dirintiskan (menjadi start-up). Namun, nyaris jamak teman menyerah lantaran sudah banyak produk TI yang nyaris ‘menghegemoni’ ranah kebahasaan kita, terutama dalam bahasa Indonesia. Betapa tidak, banyak produk TI kekinian, yang telah menjamur sedemikian rupa sehingga tidak dapat dihitung dengan jari lagi, telah tersedia dalam antarmuka bahasa Indonesia. Yang lebih mengerikan lagi, jamak di antaranya adalah produk andalan bukan dari dalam negeri sendiri.
Siapa yang dapat menepis bila Google Assistant kekinian telah mahir berbahasa Indonesia? Siapa yang dapat mengelak bahwa kita cukup terbantu dengan kecanggihan teknologi Google Translate ketika menerjemahkan banyak hal ke dalam bahasa Indonesia? Sebelum kedua produk Google tersebut dimutakhirkan pada awal tahun ini, saya sedikit memberikan asa kala mengobrol di kantin itu, ada yang masih kita ‘kuasai’ dan dapat kita kembangkan secara mandiri, di antaranya adalah khazanah konten kearifan lokal dan potensi dari kegemaran kita mengobrol.
Kita tidak dapat memungkiri bahwa serbaneka konten lokal adalah kita yang pegang, semestinya ini menjadi ‘senjata pamungkas’ yang baik untuk kemandirian kita ke depan. Tidak masalah, telah banyak putra-putri bangsa yang mengkreasi pelbagai konten yang amat atraktif di media sosial berbasis pada video semacam YouTube dan foto-video semacam Instagram. Saya fokuskan pembicaraan pada hal yang kedua, yaitu kegemaran masyarakat kita yang suka mengobrol, apalagi mengobrol ngalur-ngidul, baik dalam ranah lisan maupun tulis.
Kalau ranah lisan, semua jamak mengetahui dan mudah mendapatinya di warung-warung kopi atau di tempat ramai. Barangkali, hal ini telah lama menjadi tradisi. Begitu pula dalam ranah tulis, betapa para pendahulu kita acap menggemari berkirim pesan surat untuk sekadar menanyakan kabar kerabat keluarga dan sahabat, lebih-lebih kala teknologi berkirim pesan singkat sms mem-booming.
Siapa yang tidak tergila-gila dengan sms pada masa-masa kejayaannya? Nyaris setiap insan Tanah Air, yang memiliki ponsel yang dapat digunakan untuk bersmsan, riang gembira dengan salah satu fitur komunikasi teks dalam ponsel berlayar monokrom waktu itu. Kebiasaan ini terus melebar lebih luas pada ranah yang lebih masif dan dapat dilakukan melalui perangkat komputer personal yang menyajikan pelbagai kanal internet relay chat yang ada. Layanan mengobrol melalui pesan pada layar komputer pun makin berkembang, jamak kelahiran media sosial tidak mengabaikan fitur berkirim pesan, hingga pada akhirnya masyarakat mulai terbiasa dengan BBM dan WhatsApp (WA).
Barangkali, WA yang masih dapat bertahan hingga kekiniaan, penggunanya terus tumbuh dari waktu ke waktu. Sekalipun telah diakuisisi oleh Facebook, WA makin menancapkan akarnya sebagai platform mengobrol via pesan teks (yang kemudian pula layanan pesan suara melalui panggilan audio ataupun video). Kehadiran BBM, Line, Facebook Messenger, fitur Direct Message (DM) Twitter, Telegram, WeChat, dan beberapa pesan instan (instant messaging) lainnya seolah belum mampu menggeser kedigdayaan WA hingga sekarang.
Kembali pada pembahasan chatbot. Chatbot lahir bukan tanpa sebab, ia muncul lantaran teknologi pesan instan yang ada dikembangkan sedemikian rupa atas kebiasaan orang yang nyaris menanyakan hal serupa dari waktu ke waktu. Alih-alih manusia yang mesti merespons sebuah obrolan yang nyaris serupa, yang biasanya dilakukan oleh para penjual jasa atau produk tertentu, dicetuskanlah sebuah ide bagaimana bila yang menanggapi adalah sistem yang telah diatur sedemikian rupa. Salah satu hal inilah yang ditangkap dan dibidik para penyedia layanan pesan instan, dan hal inilah yang pernah saya ‘gadang-gadang’ dalam obrolan bersama rekan ‘anak bahasa’ di kantin kampus tersebut.
Sebagai ‘anak bahasa’, apabila ia adalah Anda, pengembangan chatbot tentu lebih lekat dengan Anda. Bagaimana tidak? Anda yang mempelajari bahasa secara mendalam. Anda yang mengetahui bagaimana rona wicara komunikasi manusia, terutama dalam ranah teks/tulis, lebih mudah diarahkan pengembangannya. Anda yang memiliki ilmu bahasanya, tinggal bersemuka dengan orang-orang TI, lalu berembug bersama.
Omong-omong, berpanjang lebar membicarakan chatbot hingga beberapa paragraf ini, kesejatian esensi chatbot selaik bagaimana, sih? Mudahnya, chatbot merupakan sebuah program yang disematkan ke dalam sebuah aplikasi–jamak aplikasi pesan instan–yang ditujukan untuk membuat rekaan atau simulasi percakapan dengan algoritme kecerdasan buatan (artificial intelligence). Di Tanah Air, chatbot sudah memegang peran penting untuk mendukung roda bisnis dan industri yang ada.
Pengembangan chatbot pun sudah mulai marak, banyak pelaku bisnis telah mengetahui potensi chatbot ini dan telah memasuki ceruk yang serupa. Jangan salah, beberapa pebisnis besar di Indonesia tidak memandang remeh sama sekali atas potensi chatbot.
Mungkin saja para pelaku bisnis telah menyediakan laman frequently asked questions (FAQ, daftar pertanyaan yang acap ditanyakan), tetapi selalu saja pelanggan lebih tertarik untuk bertanya pada layanan pelanggan (customer service). Di sinilah, si chatbot dapat berperan, ia membantu organisasi perseorangan atau perusahaan untuk berkomunikasi dengan pelanggan.
Teknologi di dalam chatbot, sejatinya, bukanlah hal baru. Pada awal kelahiran komputer terdahulu pun, telah dikembangkan teknologi kecerdasan buatan yang merespons perintah dari pengguna komputer, mirip interaksi kita dengan chatbot kekinian. Interaksi inilah yang menjadi salah satu fondasi utama dalam pengembangan chatbot. Bukan teknologi baru memang, tetapi sekadar baru disadari kala beberapa penyedia pesan instan populer, selaik LINE dan Messenger dari Facebook, mengembangkannya dengan keren.
Kalau kita membaca media warta digital daring, kita akan dengan mudah mendapati beberapa perusahaan rintisan lokal telah berfokus pada pengembangan chatbot ini. Ada Bang Joni (yang fokus di LINE), ada start-up kata.ai, dan banyak lainnya. Kalau kita menengok di luar, ada Woebot yang telah dikembangkan oleh para peneliti kecerdasan buatan di Stanford University. Sebenarnya, tidak hanya Woebot, masih ada Simsimi (meskipun sekadar permainan, yang telah mendukung banyak bahasa–tidak sekadar bahasa Inggris), ada banyak lainnya dengan tujuan pengembangan yang bervariatif. Siapa yang dapat menampung semua yang ada?
Lalu, bagaimana dengan Anda, sebagai ‘anak bahasa’, ketika mendapati fenomena chatbot ini? Inginkah mengembangkannya pula? Bagaimana kalau ditanggapi, “Yuk!”