Latif Anshori Kurniawan

WordPress 5.0: Berpakem Gutenberg

Diterbitkan pada dalam Blog.

Fitur Gutenberg telah digulirkan Automattic pada versi WordPress sebelumnya. Penggunaannya masih bersifat opsional, pengguna dapat mencoba terlebih dahulu. Lain hal pada engine WordPress versi terbaru (5.0), fitur Gutenberg telah resmi ditetapkan—secara asali (default)—sebagai komponen utama tulis-menulis.

Pada lini masa media sosial, terutama beberapa status atau kicauan beberapa pengembang, persentase ketidaksetujuan atas kehadiran Gutenberg ternyata masih lebih mendominasi. Tepatnya, barangkali, kebelumterbiasaan dengan fitur yang nyaris 100% berbeda dengan sebelumnya.

Jamak lebih menganjurkan untuk penggunaan mode penulisan sebelumnya (Classicklasik). Hal ini sebab dirasa lebih praktis dan lebih simpel. Serius, Gutenberg benar-benar cukup ‘memaksa’ pengguna atas hal baru. Terlepas dari pro dan kontra, terutama oleh para veteran WordPress, saya ‘mencobanya’.

Hal-hal baru memang tidak mudah untuk menarik di awal, begitu pula dengan kehadiran fitur baru Gutenberg di WordPress. Namanya juga fitur baru, tentu—bisa jadi—lebih memerlukan upaya yang tidak sebentar untuk dapat meyakinkan pengguna. Awalnya, saya pun tidak ingin menggunakan Gutenberg pada versi WordPress sebelumnya. Rasanya perlu belajar beradaptasi lagi, beberapa penempatan fitur dirasa kurang efisien—saya mengamini bahwa bebarapa subfiturnya malah dirasa membingungkan. Hanya saja, pascarilis WordPress terbaru, saya agak tertantang untuk mencobanya.

Beberapa elemen baru coba ditawarkan tim WordPress melalui Gutenberg. Bagi Anda yang menginginkan kebutuhan untuk tulis-menulis dan bebas distraksi—seperti saya, rasanya Gutenberg belum begitu diperlukan.

Apabila mengingat kala menggunakan WordPress untuk pertama kali, banyak hal yang perlu diupayakan agar terbiasa. Masih ingatkah Anda menggunakan WordPress.com untuk pertama kali, kala awal-awal 2000-an, setelah kepopuleran Blogger (apalagi pascaakuisisi Google)? Kebiasaan menulis di WordPress versi awal, baik di WordPress.com maupun host mandiri dengan mengunduh dari WordPress.org, pun membutuhkan waktu yang tidak singkat. Mau tidak mau, kita belajar ‘hal baru’ juga kala itu. Begitu pula dengan sekarang, rasanya tidak jauh berbeda dengan awal-awal berlatih memaksimalkan fitur penulisan WordPress awal.

Ya, lagi-lagi soal bagaimana kita beradaptasi atas kebaruan yang ada dan mulai membiasakannya. Bisa saja pihak Automattic akan mengubah kebijakan Gutenberg sehingga mereka pun ‘menghilangkan’-nya begitu saja (selaik yang dilakukan Google atas aplikasi pesan instan Allo). Atau, bisa jadi juga mereka dengan mudah mengubah konsep Gutenberg menjadi hal lain, mungkin kita akan menulis di WordPress berbasis realitas virtual (virtual reality)? Atau (lagi), kita pun dapat menulis dan mengepos tulisan cukup dari dalam pikiran. Who knows, siapa yang dapat menebak. Hal yang lumrah terjadi, kita bukanlah ‘raja’, bergantung (kalau tidak boleh dikata ‘terserah’) pada mereka mau berbuat apa.

Yang cukup membuat saya kurang familier dengan beberapa subfitur di Gutenberg, di antaranya adalah keberadaan istilah subfitur block. Pertanyaan sederhana saya: mengapa diistilahkan block? Mengapa tidak elemenruas, atau lainnya—lagi-lagi, ya, ‘terserah’ mereka, dong. Namun, bukan masalah besar, ‘tinggal klik-klik’ dan diketahuilah apa maksud subfitur tersebut. Anda dapat menyematkan konten teks, beberapa subjudul, citra/grambar, senarai, dan banyak hal lainnya. Selain itu, penempatan fitur penulisan bila ingin berbasis kode murni HTML5 yang terletak di sebelah kanan. Tepat sekali, alih-alih fokus pada konten yang dituliskan, Anda sedikit ‘disibukkan’ dengan hal-hal membangun elemen laman yang Anda inginkan.

Hal baru lagi adalah, ketika ingin memperbarui artikel, tombol Update tampak belum siap bila menu Settings belum diklik. Bukan masalah lagi—lagi-lagi dan lagi—sebab hal ini diakomodasi dengan kombinasi pintasan (shortcuts) papan ketik. Sejauh ini, yang dapat saya sampaikan dari Gutenberg sebagai hal unggulan adalah soal kecepatan, aksesisasi fitur-fiturnya amat ringan.

Ada rasa berbeda pula bagi Anda yang terbiasa dengan apps yang bebas distraksi (tidak terlalu banyak fitur yang ditampilkan), selaik Simplenote—sama-sama dibekengi tim Automattic. Hal ini barangkali menjadi salah satu maksud dari tim pengembang WordPress atas Gutenberg, mereka ingin kita (pengguna) agar … mengoptimalkan konten yang ingin diposkan/ditampilkan!

Barangkali, hanya terjadi pada saya, ada sesuatu yang kurang nyaman pada Gutenberg. Ketika mau menyisipkan pranala URL sebuah laman pada diksi yang diinginkan, tidak sesimpel pada mode Classic. Hal yang sangat klasik yang dilakukan pada mode Classic bila pengguna ingin menyematkan pranala-pranal guna mendukung rujukan/referensi konten.

Cukup aneh dengan fitur yang amat-sangat standar ini, tetapi tidak mudah dilakukan di Gutenberg. Hal ini akan terasa kala Anda mau menyisipkan URL pranala laman dan memilih opsi agar dapat dibuka pada tab baru peramban, tampilan fitur penyisipan pranala masih tampak, sekalipun Anda sudah mengeklik Update. Lebih mengherankan lagi adalah pointer tik Anda seakan meloncat ke bagian paling atas (awal) tulisan Anda. Apakah hal ini dapat dikategorikan sebagai bug?

Saya masih berhusnuzan. Barangkali—bisa jadi—hal ini lantaran tema WordPress yang digunakan sekarang adalah kurang kompatibel. Barangkali, lo. Ketika pembaruan melalui klik Update telah dieksekusi, belum tentu tampilan penyematan [Paste URL or type to search] akan disembunyikan dengan sendirinya. Lagi-lagi adalah ‘kutu’ yang mesti lekas dilaporkan?

Apabila keterangan Post updated dan View Post telah muncul pascaklik Updates, masih ada harapan, Anda dapat tayang konten melalui View Post terlebih dahulu—untuk memastikan apakah sudah tersematkan atau belum. Apabila belum, klik Edit Post atau Edit Page untuk menyunting. Mudah atau malah ribet? Saya mengakalinya dengan menyunting versi kode HTML5-nya, tetapi rasanya malah aneh—tidak seperti biasanya. Apakah Anda mendapati hal ini? Please let me know.

Mm, lagi-lagi hal ini soal pembiasaan diri barangkali. Tentu saja, Anda masih dapat beralih menggunakan mode penulisan klasik bila tidak ingin menggunakan Gutenberg, masih ada opsi untuk itu, yaitu mengganti menu pokok penulisan ke Classic (Classic: use the classic WordPress editor). Err, entah bagaimana cara paling simpel untuk benar-benar kembali ke mode Classic, tetapi plug-in berikut cukup/sangat membantu—walhamdulillah.

Belum ada siratan untuk menggunakan mode penulisan klasik lagi, masih ada waktu ‘berlatih’. Semoga memang dapat bersahabat dengan Gutenberg di WordPress terbaru ini meskipun baru mendapati salah satu kendala pemuatan URL laman sebagaimana saya sebut di atas.

Selamat mencoba Gutenberg! Selamat menikmati pengalaman baru di WordPress 5.0! Dan, tolong yakinkan saya agar masih bertahan menggunakan Gutenberg!