Latif Anshori Kurniawan

Satu Hari, Satu … (Tulisan)?

Diterbitkan pada dalam Blog.

“Satu hari, satu puisi.” Demikianlah petuah dari Bapak Dr. Muhammad Rohmadi, M.Hum., dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (Progdi PBSI), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Dosen senior yang mengajar pada Program Pascasarjana ini pun menandaskan bahwa salah satu cara memperjuangkan dan memaslahatkan bahasa dan sastra Indonesia adalah melalui aktivitas menulis di mana pun dan tidak berbatas ruang dan waktu. Salah satu upaya kecil yang dapat dilakukan adalah menyempatkan dapat menuliskan karya dalam rupa puisi setiap harinya.

Hal tersebut bukan tanpa sebab. Saya terngiang kembali mutiara nasihat beliau tersebut pascasemuka dengan salah seorang mahasiswa yang ingin menerbitkan kumpulan puisinya (berkolaborasi dengan salah seorang temannya). Saya amat mengapresiasi upayanya tersebut, belum lulus kuliah, tetapi sudah berkarya. Lebih menggembirakan lagi adalah dalam proses kreatif penyusunan puisi-puisinya, ia mengambil dari pelbagai intisari ibrah kehidupan. Semoga Diizinkan-Nya lekas terbit dan saya dapat menikmati puisi-puisinya.

Teringat awal mula menginisiatifkan blog ini. Saya ingin menulis sebuah tulisan atau tayangan (post) dalam sehari. Apa pun temanya, apa pun topiknya, manasuka pikiran dan ibrah yang terlalui pada hari itu. Awal-awalnya sangat bersemangat, hingga pada kelanjutannya menyudutkan ‘kesibukan’ berkuliah. Berkonsistensi dengan perkataan sendiri ternyata tidak mudah, ya.

Sempat bersemangat lagi mengeblog, tetapi lebih banyak kendur-nya. Lagi-lagi seperti sebelumnya, mengeluhkan serbaneka aktivitas yang lain. Hidup ini memang dihiasi dengan pelbagai persoalan, pelbagai prioritas. Tentunya, meluangkan prioritas untuk sesuatu hal itu dibutuhkan upaya yang tidak sekadarnya.

Teringat pula masa-masa masih mengisi buku harian pada waktu sekolah dasar dan menengah dahulu. Walaupun sejatinya muara luarannya adalah prosa-liris, yang lebih mendekati puisi, frekuensinya pun tidak setiap malam. Ya, pada malam hari. Apa yang terjadi seharian, dan apa saja pelajaran yang dapat dipetik, secara sederhana saya masukkan ke dalam diary yang tidak saya gembok itu—hingga pada suatu hari yang random ibu pun membacanya dan saya pun malu tak ketulungan.

Namanya juga anak-anak. Gaya bercerita lebih mudah mengalir. Banyak imajinasi terurai ke dalam wuju narasi yang runtut bak dongeng ninabobo. Sejatinya demikian hingga sekarang, daripada mengimajikan kata-kata nan penuh nilai estetis, lebih mudah bercerita selaik bertutur lisan keseharian. Ah, spirit itu barangkali makin memudar sekarang.

Kalau dipikir-pikir, sejatinya, jamak aktivitas kita kekinian, baik dalam ranah-ranah ringan sehari-hari hingga pada ranah profesionalisme pekerjaan di pelbagai bidang, nyaris tidak dapat lepas dari aktivitas “berkata-kata”. Dalam sekali duduk saja, kita dapat melisankan banya hal. Kalau dialihkan ke dalam bentuk tulis, barangkali sudah jadi satu buku dalam sekali duduk tersebut—atas Izin-Nya.

Rupa-rupa orang dapat menulis, rupa-rupa mereka pula bagaimana akan menyikapi tulisan-tulisannya. Ada yang sekadar dituliskan apa adanya (terlepas ada yang membaca atau tidak)—selaik saya. Ada pula yang benar-benar serius berkarya lantaran mata pencaharian pokoknya adalah dengan menulis. Selaik serbaneka hal dalam kehidupan ini, kita Disodori-Nya dengan pelbagai-banyak pilihan. Apa pun yang kita pilih, tetap akan dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya kelak. Ya, menulis adalah kegiatan menyisihkan sebagian waktu untuk menorehkan sesuatu, entah bernilai atau tidak. Tulisan-tulisan yang dirilis dari dahulu hingga kelak nanti bersifat “abadi”, entah akan mengantarkan kita ke arah kebaikan atau justru sebaliknya. Sekali lagi, yang sangat pasti, kita akan Dimintai-Nya pertanggungjawaban atas segala yang kita tulis.

Saya terharu bahagia dengan sebagian orang yang berkenan berbagi tulisan gratis untuk yang lain. Entah itu Wikipedian (Wikipediawan—istilah ini dicetuskan oleh Pak Ivan Lanin), entah narablog yang tidak memonetisasi blognya sedikit pun, entah kontributor pelbagai proyek sumber terbuka (open-source)—baik menulis kode sumber perangkat lunak maupun sekadar menulis dokumentasinya—yang tersebar di penjuru dunia. Mereka juga menulis, mereka tetap menulis, tetapi mereka tidak menjual tulisan mereka dengan nilai mata uang.

Bahkan, bisa jadi, para penulis “gratisan” tersebut tidak peroleh penghasilan tambahan dari aktivitas berkontribusi gratis seperti itu, tetapi mereka tetap melakukannya. Mereka tidak menjadi dikenal, bahkan sebagian besar menggunakan nama yang bukan nama lengkap aslinya di dunia nyata, mereka tidak terkenal. Namun, mereka tetap menikmati proses yang mereka lakukan dari waktu ke waktu. Mereka menulis untuk umat manusia, berbagi pengetahuan secara bebas untuk kemaslahatan bersama. Indah, bukan?

Hal tersebut mengingatkan pula pada apa yang terjadi pada para pendahulu kita, para ulama Salaf, yang tidak berhenti menulis. Aktivitas menulis dan mutu tulisan mereka tidak dapat kita nilai dengan pertimbangan duniawi. Mereka, semoga Allah senantiasa Menyayangi mereka—rahimahumullah, menulis—salah satunya—agar dapat berfaedah bagi generasi umat setelah mereka. Betapa banyak kontribusi mereka tersebar di penjuru dunia, bermanfaat bagi kaum muslimin yang haus akan ilmu, tetapi tidak ada dinar dan dirham yang cucu-cucu keturunan mereka peroleh. Benarlah kalam dari-Nya bahwa mereka (para ulama tersebut) adalah pewaris para nabi. Generasi-generasi setelah mereka pun dapat belajar ilmu Islam yang sahih berabad-abad tahun setelahnya dari segala hal yang telah mereka tuliskan—walhamdulillah.

Semestinya, dengan adanya medium yang lebih memudahkan untuk catat-mencatat kekinian, lebih memotivasi kita untuk bersemangat menulis. Betapa tidak sedikit dari sebagian Salaf kita yang berupaya untuk menorehkan pemahaman sebuah ilmu pada medium yang teramat terbatas ketika itu, selaik dedaunan kering, bebatuan, goresan di kayu, dan sebagainya—ketika kertas belum ditemukan.

Kala kertas ditemukan pun, tidak sedikit yang tidak langsung menulis di kertas lantaran biaya kertas yang tidak dapat dikata murah kala itu. Kala kertas lebih murah dan diproduksi masal pun, para pendahulu kita tidak berboros-boros penggunaannya, mereka amat persisi untuk memanfaatkan sudut-sudut kertas yang digunakan agar dapat digoreskan apa-apa yang perlu disampaikan.

Sangat jauh dengan kebiasaan kita sebelum mengenal ponsel pintar atau gawai kekinian, bukan? Bahkan, ketika mengenal internet sekarang pun, tidak jarang kita masih menyia-nyiakan kertas dan berboros-boros penggunaan—wallahul musta’aan.

Masihkah akan menulis rutin tiap hari dan mengeposkannya di sini? Serius, satu tulisan untuk satu hari di sini? Wallahu A’lam.