Lekat dengan Fonofobia
Diterbitkan pada dalam Blog.
Saya baru mengetahui bila ada sebuah fobia yang disebut fonofobia. Badan Bahasa pun telah mendefinisikannya. Selaik yang disampaikan Detikcom, agaknya saya memang dilanda hal ini. Terutama beberapa bulan terakhir, saya tidak mudah menerima panggilan telepon/suara. Lebih-lebih panggilan video dari lawan jenis nonmahram, makin memerahlah wajah saya tidak dapat menyembunyikan kecemasan diri.
Tidak hanya untuk orang tua, pasangan, kerabat dan sahabat, atau orang-orang terdekat lainnya, lebih baik saya telepon balik bila memang genting. Namun, memang sejatinya tidak memegang ponsel. Sungguh, tidak berponsel/bergawai menjadi makin rutin dilakukan beberapa pekan terakhir. Waktu me-time di rumah begitu terfaedahi.
Barangkali, bedanya, sejatinya ponsel malah jarang saya senyapkan. Ya, maklumlah bukan orang penting, ponsel jarang berdering. Namun, saya tetap tidak dapat menepis bila saya cenderung terlanda fonofobia. Teringat ketika berkuliah dahulu, saya begitu mudah cemas, banyak hal terlalu mesti tertakar keidealannya.
Beiring waktu berlalu, idealisme tetap ada, tetapi dengan porsi yang cukup fleksibel guna menggapai maslahat berlebih. Alih-alih berbicara melalui sambungan panggilan suara, saya lebih memilih mengobrol tuntas secara bersemuka. Pernah, pada suatu ketika, seorang kenalan ingin mengajak berkolaborasi bisnis. Ia pemilik, sedangkan saya pemodalnya.
Ia mengawali melalui panggilan reguler. Hal ini lantaran saya memang menggemari ditelepon dengan nomor fisik dari kartu SIM operator alih-alih via aplikasi pesan instan. Bolehlah FaceTime, tetapi tidak acap dengan WhatsApp. Belum sempat semenit ia menyampaikan perinciannya, saya langsung memohon izin untuk di-cut dan langsung membuat appointment kapan dapat bersemuka.
Kemudian, kami pun bertemu dan mengobrol seru berlimpah hal, di samping deal yang tidak terduga—masyaallah. Well, saya tidak jauh berbeda selaik orang tua pada umumnya. Mengobrol secara langsung, berhadapan, dengan memandang mata atau wajah mitra wicara saya, adalah menyamankan. Lebih tenang rasanya.
Kalau berwicara berlama-lama via telepon suara sejatinya bukan masalah. Namun, sense dan vibrasinya sangat jauh berbeda. Tidak masalah dengan fonofobia saya, tetapi bila sangat memerlukan umpan-balik secara teknis dan terperinci, lebih baik cuap-cuap langsung dengan santai di sebuah warung kopi.
Tentu dengan tetap memperhatikan physical-distancing (sebuah gaya hidup pada masa New Normal kekinian—masyaallah), hal ini lebih baik lantaran lebih bermakna (mengandung a meaningful sense). Aktivitas tradisional ini memang makin tergerus barangkali, tetapi begitulah ibu saya mendidik kami (dengan kakak perempuan).
Ketika mau mengobrol hal penting dengan ibu, saya cenderung mengabarkan waktu kepulangan terlebih dahulu dan sedikit pengantar esensi obrolan setiba di kampung halaman. Ibu pun lebih menghendaki demikian. Memang dapat tersampaikan melalui panggilan telepon, tetapi lantaran kebiasaan ini, saya lebih mudah menjalani konsep lampau yang mensyaratkan perjumpaan yang menenangkan.
Salah satu hal yang saya gemari ketika berjumpa adalah mencermati (sekaligus memahami—kalau tidak boleh dikata mempelajari) ekspresi bahasa, wajah, dan tubuh mitra tutur. Banyak hal dapat diambil ibrahnya, terutama perihal pemerimaan-nya dan kejujuran-nya atas kehadiran kita.
Fonofobia, menurut saya, bukan sesuatu hal yang menakutkan dan mesti benar-benar dihindari. Saya rasa siapa pun, ada kala, tidak jarang tidak mengangkat panggilan telepon dengan disengaja bukan tanpa sebab. Saya tetap mengakuinya bahwa fonofobia melekat pada diri saya. Namun, apabila Anda ingin mengobrol dengan saya dengan nyaman (sekalipun membahas hal serius, tetapi tetap santai), perkenan kita bersepakat skedul untuk bersemuka melalui laman kontak, yiha.