Singkong dan Asa Bahasa Pemrograman Lokal Lainnya
Diterbitkan pada dalam Blog.
Kami (narablog, pengelola blog ini, dan tim) masih memegang pendirian bahwa berbahasa Indonesia di dunia maya eloklah tetap di atas teknologi sendiri. Paling tidak, peladen atau pusat data layanan yang digunakan terdapat di Indonesia. Tidak bermaksud menyatakan perang dengan produk luar negeri, tetapi lebih pada agar kita sama-sama tersadar bahwa sudah terlalu banyak teknologi luar yang masuk dan dalam keadaan siap digunakan oleh segenap rakyat. Kalau dipaksa memilih teknologi luar, kami lebih acap condong pada teknologi dari Negeri Paman Sam. Namun, sekali lagi, bukan ini yang kami maksud.
Tidak lain dan tidak bukan adalah agar kita lebih prihatin atas realita produk teknologi yang ada sehingga tidak sekadar bermimpi selaik yang kami lakukan kemarin. Melakukan nasionalisasi atau naturalisasi atas produk luar dengan sekadar menerjemahkan antarmukanya adalah bukan solusi. Kita perlu benar-benar belajar, belajar dalam kuantitas dan kualitas berlebih. Barangkali, kita dapat teladani India dan Tiongkok, betapa mereka teramat gencar atas inovasi dalam negeri.
Kalau dirasa jauh bila mengejar kemajuan kedua negara dengan populasi yang tidak kalah serupa dengan Indonesia tersebut, barangkali kita dapat melihat Brazil. Mungkin beberapa aplikasi dan permainan dari negeri Samba tersebut kurang begitu dikenal di sini, tetapi apabila melihat dari sumber daya dalam ranah TIK mereka, semestinya kita dapat ‘mengimbangi’ negeri yang terletak di Amerika Selatan tersebut. Siapa sangka, sekelas bahasa pemrograman populer Lua, yang lahir dari Brazil, yang sampai sekarang masih digunakan oleh para pengembang gim besar.
Walaupun tidak sekokoh Python, lebih-lebih Java, atau bahasa populer lainnya, Lua pun tidak dapat dipandang enteng. Kecenderungannya memang untuk scripting, tetapi ia tidak kalah berdaya. Mendapati bahasa script Lua ini mengingatkan pula pada bahasa kreasi putra bangsa. Kita tentu tidak melupakan bahasa NUSA yang dikembangkan oleh Pak Bernaridho Immanuel Hutabarat (pada masa 2000-an, beliau merupakan salah seorang kolumnis pada majalah PCMedia). Sungguh sedih, proyek pengembangannya pun terhenti.
Alhamdulillah, Allah Menyayangi kita, masih ada bahasa pemrograman dalam negeri yang masih eksis dikembangkan hingga sekarang. Tersebutlah Singkong, bahasa pemrograman yang dikembangkan oleh Dr. Noprianto. Kami salah satu penggemar Pak Nop, yang pada masanya selalu menulis untuk majalah InfoLINUX. Telaah beliau perihal Linux di atas sistem Linux Singkong (turunan Slackware yang beliau kembangkan sendiri) amat dinanti. Kehadiran bahasa Singkong pun cukup menggembirakan, terlebih bahasa ini bersifat (tentu saja) open-source.
Sekalipun difondasikan pada bahasa pemrograman Java, Singkong terbilang ringan. Sebab Android dari Google berbasis Java, barangkali tidak menutup kemungkinan pengembang aplikasi lokal di Play Store dapat memfaedahi Singkong. Apabila masih boleh bermimpi, apabila BandrOS dilanjutkan kembali pengembangannya, lebih-lebih diutamakan dengan Singkong, hal ini tentu lebih dari sekadar membanggakan dan luar biasa. Tidak berlebih, memanfaatkan dan/atau mendorong penggunaan sumber daya lokal adalah lebih baik daripada bergantung terus-menerus seolah tiada putus (entah sampai kapan).
Pengembangan Singkong mesti perlu dilanjutkan dari waktu ke waktu. Caranya bagaimana bila kita sejatinya adalah bukan developer atau engineer? Salah satunya dengan mencoba mempelajarinya dan menggunakannya, sekalipun sekadar ingin mencetak tulisan, “Hello, World!“, hehehe. Alhamdulillah, masih ada asa untuk Singkong, lebih-lebih bila ada bahasa pemrograman kreasi putra-putri bangsa lainnya (yang barangkali belum terpublikasikan sedemikian rupa). Ada? Siapa tahu, mengingat karakteristik kita yang masih tidak jarang malu-malu untuk menunjukkan sesuatu, hehehe.
Selain Singkong yang berbasis Java, kami pribadi berharap mendapati bahasa pemrograman lokal berbasis bahasa-bahasa yang terbilang sederhana, selaik Pascal. Ya. Di samping untuk bernostalgia, di Pascal, sintaksnya cenderung cepat dipahami–insyaallah. Itulah mengapa kami belajar bahasa ini saat SMA dahulu. Terlebih, saat itu, banyak tutorial dari tabloid Komputek perihal Pascal. Dari hal-hal kecil hingga mengkreasi gim sederhana, tim redaksi yang bermarkas di Surabaya tersebut acap membagikan kode sumber Pascal yang dapat dikompilasi sendiri oleh pembacanya.
Masih teringat betul, tidak jarang ke rental komputer, yang tidak selalu terhubung internet (pada masa itu, rental komputer dan warung internet merupakan dua entitas yang berbeda). Lalu, mencoba memasang Pascal dan mengetik beberapa kode, yang diharapkan menampilkan sesuatu pascakompilasi. Masih berbasis DOS, tetapi hal ini menggembirakan kami. Alhamdulillah, di dunia BSD-Linux pun, tersedia varian Pascal, yakni Free Pascal. Tidak sekadar tersedia untuk platform open-source, tetapi juga untuk platform lain, selaik SPARC, Windows, dan lainnya. Masyaallah.
Komunitas pengguna Pascal ternyata masih berlimpah, meskipun sudah kurang populer bila dibandingkan dengan bahasa pemrograman yang lebih modern, selaik Python. Nah, komunitas pengguna Python di Indonesia pun terbilang besar. Kami berharap ada pengembang yang menurunkan bahasa pemrograman, mungkin untuk spesifikasi tertentu, dari bahasa yang dikreasi awal mula oleh Guido van Rossum ini. Kami menggemari statistika, mungkin kami juga bermimpi ada pengembang lokal yang mengkreasi derivative dari bahasa R, hehehe.
Mengapa mengkreasi bahasa pemrograman yang diturunkan dari bahasa mayor lainnya (sebagai induknya)? Sejatinya tiada masalah atas hal ini. Terlalu besar resources yang diperlukan bila mengkreasi bahasa pemrograman benar-benar dari 0. Terlalu berat bila masih perlu menginisiasi pemrograman setara C, lebih-lebih Assembly (atau bahkan bahasa mesin). Kita dapat belajar dari C++, Python, Perl, Java, C# (oleh Microsoft), dan jamak lainnya, yang diturunkan dari C.
C sendiri diturunkan dari Assembly. Sama sekali tidak masalah. Yang penting adalah proses pengembangan berkelanjutan berikutnya dan penggunaannya yang masih. Hal ini memang perlu dukungan dari banyak pihak. Kita sebagai pengguna kecil-kecilannya, ada perusahaan swasta yang mendukung pendistribusiannya, dan banyak lainnya. Kita masih memiliki penggawa TIK yang masih sugeng hingga saat ini, selaik Pak Onno W. Purbo, Pak Romi Satria Wahono, Pak I Made Wiryana, dan banyak lainnya. Kita hanya perlu saling mendukung. Siapa lagi kalau bukan kita (yang mendukung dan mendoa, setelah qadar Allah Yang Mahakuasa)? Tabik!