Latif Anshori Kurniawan

Nasihat … untuk Kami

Diterbitkan pada dalam Blog.

Pada suatu hari yang random, saat sudah tiba di meja kerja lebih awal daripada hari biasanya, saat habis menyeruput kopi instan dari dalam botol gelas beberapa saat, tiba-tiba kedatangan tamu istimewa, yakni salah seorang senior dosen. Saya acap gembira bila mendapati beliau datang. Hal ini sebab selalu saja, insyaallah, ada ibrah dari banyak hal yang beliau share-kan. Tema wicara beliau cukup menggelitik, perihal bagaimana, tidak jarang, sebuah nasihat dimaknai lain saat disampaikan kepada orang lain.

Saya pun teringat dengan diri sendiri sesaat setelah obrolan pada pagi hari di ruang kantor tersebut. Terutama saat ada beberapa orang yang pernah singgah dan pernah mengingatkan saat atas pelbagai hal. Variasi mengingatkannya pun tentu beraneka rupa, ada yang langsung to-the-point, ada pula yang merepresentasikan dengan kisah lain sehingga barangkali saya dapat mengambil hikmahnya. Bersyukur kepada Allah masih dapat menerima segala bentuk nasihat, tidak terkecuali (bahkan) dari teman-teman mahasiswa (yang notabene lebih muda).

Salah seorang ustaz (katakanlah Ustaz A) pun pernah menandaskan bahwa berbahagialah bagi orang yang masih dapat menerima nasihat, itu pertanda masih dapat ia menerima kebenaran. Masalahnya utamanya, yang menjadi pokok bahasan pada tulisan kita kali ini, tidak jarang kita mendapati nasihat, tetapi kita pun enggan. Kita pun tersinggung, seolah tidak terima dengan nasihat tersebut. Ustaz lain (misalnya sebagai Ustaz B) pun pernah memberikan teladan, sekalipun beliau tahu ilmunya, tetapi beliau tetap mendengar nasihat dari peserta yang hadir di dalam majelisnya—subhanallah. Beliau diam dan menyimak, bahkan dengan perhatian berlebih (saksama), padahal menurut kami (yang sama-sama hadir), beliau barangkali lebih berilmu soal itu. Alhamdulillah, teladan seperti ini yang kita perlukan.

Fitrah manusia bila kita ingin di-orang-kan, dianggap ada, barangkali tidak ingin disalahkan (kalau tidak boleh dikata direndahkan atau dihinakan). Mungkin memang tiada maksud untuk itu, tetapi hati si penerima nasihat pun siapa yang dapat menerkanya. Kita pun saling berbatas prasangka. Prasangka-prasangkan yang tidak jarang begitu mudah dilepas. Namun, sejatinya, bukankah saat ada orang yang menasihati, belum tentu ia menyalahkan? Tersinggung sesaat, barangkali lumrah adanya. Namun, menjadikan hal ini sebagai tungku pemicu permusuhan (padahal masih sesama) tentuk bukanlah hal yang elok, apalagi bila dipendam (sekian waktu).

Kadar sensitifitas tiap persona pun beraneka rupa. Dengan dalih agar peka, sejatinya mengedepankan kesensitifan. Dengan dalih bercanda, seringkali pula melanggar norma-norma ruang hati yang barangkali tetap bervariatif antarindividu. Pun dengan pemberi nasihat, tentunya tepat dalam porsinya, tidak berlebih, tidak pula kurang. Berlebih hingga membuat ujaran hingga melebar-luas tidak terkendali, sekali lagi: dengan dalih mempererat keakraban, juga kurang khair. Lebih-lebih, tidak sama sekali, padahal ia berwenang menyampaikan nasihat guna mendamaikan banyak (tidak semua) pihak.

Kadar-kadar memberi dan/atau menerima nasihat memang tidaklah pasti. Namun, insyaallah, sebab ada syariat-Nya, masih berlimpah alternatif solusi untuk kebaikan bersama. Sebagai manusia biasa, kita sekadar berupaya semampu kita, semaksimal kita memaknai kehidupan ini dengan penuh sukacita sabar dan merundung diri dengan penuh kesyukuran. Menjaga lisan memanglah tidak mudah, lebih banyak diam (alhamdulillah) justru acap kali Diselamatkan-Nya. Mudarat pun dapat diminimalisasi sedini mungkin.

Salah satu orang tua di kampung halaman pernah menasihati agar kami bergembira atas datangnya nasihat, apa pun itu. Menyimak berlebih, berterima kasih berlebih. Ya, tentu amat berterima kasih, terutama atas nasihat tersebut. Tidak perlu ditimpali, cukup diterima dengan suka hati. Penerimaan yang baik tentu menghasilkan luaran yang baik pula (insyaallah). Hal ini sebab, esensinya, kitalah yang membutuhkan nasihat, setiap saat. Peroleh nasihat ibarat peroleh hikmah-Nya dari serbaneka makhluk-Nya, yang barangkali tidak setiap insan memperoleh hal serupa. Bukankah nasihat tersebut dapat disampaikan kepada kita lantaran atas Izin-Nya? Mari belajar bersama!