Saat “Saat Ini”
Diterbitkan pada dalam Blog.
Sebagai makhluk Allah, atas Izin-Nya, tiada hari bagi kita untuk tidak belajar. Belajar apa pun, terutama dari rona kehidupan yang acap kali dijalani dengan sangat random. Tiap harinya adalah hari yang baru. Belum tentu hari ini serupa dengan hari kemarin, entah hari-hari mendatang. Acap kita sok-tahu dengan hari-hari sebelumnya, yang barangkali kita pun masih berbatas memahaminya. Teramat berbatas, dan kerap masih dalam tataran merasa pahami, tetapi sejatinya entah. Siapa sangka, sampai detik ini, alhamdulillah, kita masih Diizinkan-Nya belajar, belajar, dan belajar.
Kita tidak jarang menjadi bahan pelajaran/ibrah bagi orang lain. Begitu pun orang lain, acap kali kita sok-turut merenungi “keadaan” mereka. Padahal, bukan kewenangan kita untuk mengambil ibrah dari mereka, yang biasanya justru terjatuh pada sekadar prasangka. Lagi-lagi prasangka, “Sangkaanmu belum tentu sama dengan sangkaanku.” Yang disangka pun belum tentu kesejatiannya sebagai yang layak disangkakan. Atau, justru kita sekadar yang menyangkakan pada “artefak privatif” orang per orang yang mestinya kita lindungi?
Hari-hari pun berlaru begitu cepat. Ada sekat takut dan harap yang beradu dengan pikiran-pikiran yang entah didudukkan pada singgana yang mana. Ujung-ujungnya, waktu pun tak kembali, ia roboh bersama dengan kepingan-kepingan sepercik ingatan, yang bisa jadi akan Diputar-Nya kembali sebagai pertanggungjawaban kepada-Nya, yang bisa jadi malah sekadar bias dari sangka-sangka yang menguntungkan diri sendiri.
Kita pun sempat terlupa bahwa kehidupan duniawi ini akan berakhir dan berujung pada mati, sebuah jembatan ke fase kehidupan berikutnya. Semua kita akan mati, sama sekali bukan sebuah derita yang mesti dikhawatirkan. Jalan menuju ke arah sana pun belum tentu selaras dengan bualan asa, yang penting kita sudah berikhtiar baik. Berharap melalui doa-doa baik adalah kuncinya (agar Dia Mengantarkan kita dengan penuh kenyamanan). Hanya saja, kita kini acap silap kata, “Mati gara-gara ini dan itu (duniawi).” Padahal, maut itu datang sebab Izin-Nya, bukan?
Jalani saja takdir-Nya dengan kegembiraan, apa pun wujudnya. Iya, elok sambut dengan bahagia, mudah-mudahan Dihusnulkhatimahkan-Nya, kematian itu pasti datang. Masanya memang teramat misteri, menjadi bagian rahasia-Nya, bukan kewenangan kita sama sekali untuk memastikan kapannya. Kalau ingin bersemuka dengan-Nya, tentu wajib mempercayai-Nya, bukan? Sementara itu, kita masih acap abai bahwa ini semua disangka sebagai konspirasi kehidupan (dengan tidak mengingat-Nya sama sekali—astagfirullah). “Entah apa yang merasukimu, Kawan?”
Embusan napas masih tidak bergeming menjadi sesuatu yang teramat mesti disyukuri. Kapan lagi dapat merasakan kenikmatannya, nikmat bernapas adalah salah satu anugerah-Nya yang terindah. Bersyukur masih dapat mengembuskan udara-Nya nan tak kasat mata ini, bersuka cita masih dapat menikmati gerakan paru-paru yang mengiringinya. Mensyukuri nikmat napas dan waktu yang ada menjadi arena wisata kehidupan yang makin mengasyikkan kekinian. Alhamdulillah.
Belajar bersyukur dan berhusnuzan kepada-Nya, barangkali ini yang perlu kita dengung-dengungkan. Hal ini lantaran kita masih sibuk dengan husnuzan kepada diri sendiri. Merasa diri baik, merasa diri tampak lebih tinggi dari yang lain. Apa, sih, salahnya merasa sebagai pribadi buruk dan rendahan? Apakah kita adalah makhluk tanpa cela sehingga merasa agung? Mengapa mesti gengsi mendapati label-label miring duniawi untuk kita? Mengapa mesti malu bila dianggap amatir oleh orang lain?
Ayolah, hal-hal yang tampak rendah diri itu sama sekali “biasa saja” bagi sebagian pendahulu kita. Mereka malah jarang berprasangka baik untuk diri mereka sendiri, tetapi tetap berharap dijadikan baik oleh-Nya. Mengapa perlu merisaukan orang lain, yang mungkin saja masih menganggap ketiadakhadiran kita saat ini biasa saja? Bukankah elok merisaukan diri sendiri yang masih kering bekal ini?
Yang keliru adalah kami, mengapa masih enggan belajar hari ini. Mengapa masih enggan belajar. Belajar untuk diam, belajar untuk hanya beprasangka yang baik-baik kepada-Nya. Belajar untuk tidak percaya diri bahwa diri-diri ini sudah baik, belajar untuk dapat belajar sepanjang masih Diizinkan-Nya bernapas. Belajar dan terus belajar, serta hanya berharap kepada-Nya agar Diizinkan-Nya belajar baik. Semoga Dia senantiasa Mengampuni kita, Menaungi kita dengan pelbagai Kebaikan-Nya—amin, amin, amin.