Perlu Bermigrasi dari Twitter ke Mastodon?
Diterbitkan pada dalam Blog.
Kami tidak mengikuti (kalau tidak boleh dikata: tidak peduli) lagi-lagi drama Pak Elon Musk di Twitter. Alhamdulillah, atas Izin-Nya, Twitter masih terfaedahi, dengan umpan (feed) lini masa yang tiada penampakan warta yang menyinggung serba-serbi Pak Elon. Entah kebetulan atau kami sengaja? Sengaja dengan memang memilih topik atau akun mana saja yang boleh tampak pada beranda kami. Terima kasih kami pada algoritma Twitter yang tidak menampilkan kegelisahan warganet perihal Pak Elon sama sekali.
Masih percaya pada platform yang memang tidak diinisiasi oleh Pak Elon tersebut. Tidak sedikit yang masih bertahan memanfaatkan jejaring yang nyaris jarang bergalat itu. Sebagian besar tokoh yang menginspirasi masih berbagi di dalamnya, terutama beberapa figur kawakan dan konsisten dalam bidang beliau-beliau. Sebagian besar ulama, asatiza (segenap ustaz), beserta ikhwah, yang kami ikuti masih memfaedahi Twitter pula. Tidak sedikit pula dari beliau-beliau menjadikan Twitter sebagai salah satu media sosial publik utama (bukan Facebook/Instagram, lebih-lebih TikTok).
Kalaupun di luar Twitter mesti terfaedahi oleh para alim tersebut, terdapat WhatsApp, Telegram, YouTube, SoundCloud, Spreaker, Mixlr, dan lainnya, yang beliau-beliau jadikan saluran untuk menyampaikan risalah. Tidak terbatas di Twitter, tetapi tidak juga semua platform jejaring sosial perlu digunakan. Bukan menutup kemungkinan ke depan barangkali makin bertambah platform yang termanfaatkan—insyaallah. Kita tentu bergembira, masih Diizinkan-Nya mendapati pelbagai faedah dan nasihat perihal kehidupan melalui media sosial di dunia maya.
Selain sejatinya sekadar nice-to-have, secara pasif, kami sebagai pembaca sunyi atas twit-twit yang berseliweran. Lebih nyaman bermedia sosial sekadar menikmati bacaan atau simakan dari pelbagai pihak yang memang layak kadarnya dalam menyampaikan amanah kehidupan—di mata kami. Kami meyakini bahwa tidak setiap kita sejatinya diizinkan untuk tampil dan berbicara, kecuali mengabarkan kembali ilmu-ilmu yang berfaedah bagi umat pada batas-batas yang memang dapat dilakukan. Sharing faedah ilmu adalah dianjurkan dan tetap diupayakan dibagikan, terlebih kala maslahatnya lebih berlimpah daripada mudaratnya. Namun, tetap perlu mempertimbangkan kesesuaian dengan konteks dan porsi masing-masing diri kita, bukan?
Ya, kami ber-Twitter sepanjang bila memang media sosial (yang sempat menjadi favorit, salah satunya pula sebab semenjak awal ia telah dikenal bersinggungan dengan komunitas open-source) ini masih digunakan orang-orang yang kami ikuti di sana. Sama sekali tidak mengikuti apakah Twitter masih akan dipimpin oleh Pak Elon atau dapat digantikan orang lain sebagai CEO-nya. Nan pokok, Twitter masih ada, dan banyak pegiat dakwah Islam yang kami ikuti masih memaslahatinya pula. Kalaupun Twitter barangkali telah tiada dan digantikan platform yang lain, bukan masalah berarti bagi kami.
Kala Sebagian Tweeps Berduyun-duyun ke Mastodon
Dikabarkan bahwa beberapa petinggi dan investor dunia teknologi (salah satunya adalah Pak Paul Graham) beralih ke platform yang lebih terbuka dengan konsep terdesentralisasi dan teramat lekat (sejatinya) dengan nilai-nilai komunitas open-source, yakni Mastodon. Nyaris jamak yang diwartakan di media digital asing berbahasa Inggris menyampaikan bahwa tidak sedikit para ahli telematika atau teknologi informasi dan komunikasi yang menggaungkan diri berpindah ke Mastodon.
Dalih mereka masih serupa. Salah satu dalih mereka adalah enggan dengan keberadaan Pak Elon di Twitter, terlebih berkait dengan kebijakannya yang barangkali dinilai semena-mena. Apa yang disikapkan Pak Elon tersebut memang memantik pro-kontra. Terdapat pihak yang merundungnya, tentu ada pula yang mendukung. Nan tentu untuk saat ini (entah hingga kapan), Pak Elon masih menjabat sebagai CEO Twitter sebab kepemilikan saham berlebih beliau di dalam platform tersebut. Hal ini tentu diketahui dan diakomodasi oleh pelbagai pengampu kepentingan di dalam tubuh organisasi Twitter, dan mereka masih bersamanya, bukan?
Beberapa pihak seolah ingin membenturkan antara Twitter dan Mastodon. Bagi kami, hal ini kurang tepat sebab keduanya bisa jadi penting dibutuhkan dalam pengembangan teknologi dunia digital ke depan. Twitter tetap perlu dipertahankan eksistensinya, dan disilakan pula bagi Mastodon untuk berkembang sebab lantaran memang diinisiasi dengan konsep pengembangan teknologi yang tidak jauh dari dunia blockchain dan aset kripto. Keduanya sama-sama tidak menolak dengan konsep terdesentralisasi, keduanya mendukung teknologi di balik NFT. Sunggu kami masih belum menemukan titik temu bila ada yang memversuskan antara Twitter dan Mastodon.
Fenomena sebagian pengguna Twitter berbondong-bondong ke Mastodon bukan menjadi jawaban bahwa Mastodon akan menggantikan eksistensi Twitter. Hal ini tidak jauh berlainan dengan saat awal-awal kelahiran Telegram. Hingga kini, apakah Telegram telah menggantikan posisi tawar WhatsApp? Keduanya tetap eksis, bukan, dan memiliki basis pengguna loyal tersendiri? Bahkan, sah-sah saja bila ada pengguna yang menggunakan layanan dua (atau lebih, barangkali plus Signal?) platform pesan instan tersebut secara masif terfaedahi bersamaan.
Tidak hanya Mastodon yang mencoba membayang-bayangi Twitter. Terdapat media sosial yang eksis lebih awal dan/atau bersamaan dengan “Si Burung Biru” (selaik Facebook dan Instagram milik Meta, Discord, Reddit, dan lain-lain), muncul pula medsos yang memang terkreasi guna menjawab kegelisahan atas sikap-sikap yang dicuatkan Pak Elon, di antaranya: Post, Spill, dan lain-lain. Bahkan, terdapat platform medsos yang dikreasi secara mandiri oleh pehobi untuk diri mereka sendiri (dan/atau bersama kerabat/keluarga dan orang-orang terdekat/tercinta). Adakah? Ada—insyaallah. Atas Izin-Nya, dunia ini diisi oleh orang-orang idealis dan kreatif yang luar biasa, bukan?
Di samping Mastodon, terdapat engine platform terbuka lain, bahkan kemunculannya lebih mengawali daripada Mastodon, yaitu ada Diaspora, Fediverse (mengusung konsep bahwa bersosialisasi dapat terfederasi), Pixelfed (bisa jadi dapat di-head-to-head antara Instagram dan TikTok?), PeerTube (akankah dapat mengungguli YouTube?), serta banyak lainnya—yang telah akrab di blantika FOSS. Sama-sama terbuka dengan Mastodon, dan cukup terpantau bagi kita yang berkecimpung di komunitas Linux & open-source. Beberapa media sosial lawas sebelum konsep komunitas dan keterbukaan tersebutkan pun masih eksis hingga kini, salah satunya adalah Plurk. Ada yang masih menggunakan Plurk? Masih ingat kehadirannya beriring dengan kepopuleran Friendster, sebelum BlackBerry Messenger sempat masyhur pula di Tanah Air?
Tidak salah, Mastodon begitu reliable. Konsep terdesentralisasinya dan terfederasinya diharapkan dapat menjembatani setiap insan di Bumi untuk dapat saling terkoneksi tanpa batasan platform tertentu. Mastodon, pada dasarnya, adalah sebuah engine bersifat terbuka. Setiap kita dapat memasang Mastodon di dalam peladen/server yang kita kelola. Mastodon bukanlah sebuah situs web. Namun, sebab sifatnya yang terbuka dan terdesentralisasi, siapa pun yang memasang, menggunakan, memiliki akun, dan lain-lainnya, dalam lingkup jejaring Mastodon, dapat saling terhubung antara satu dan lainnya.
Pendek kata, Mastodon diinstal di mana pun server, siapa pun (meskipun menggunakan Mastodon di lokasi yang berbeda) dapat saling mendapati dan merespons konten yang diposkan/diunggahkan di dalam Mastodon (melalui fitur Explore). Hal ini tentu menarik sebab mencuatkan banyak pro dan kontra bagi sebagian kita, terutama sifatnya yang memang teramat terbuka-bebas. Tidak diragukan, amat-sangat bebas dan terbuka. Tentu kita, selaku pengguna, masih dapat menyaring mana saja pos/unggahan yang boleh tampak pada lini masa dan mana saja yang elok direduksi alih-alih menyibukkan diri pada bilah menu Explore.
Lantaran teramat liberal dan open di Mastodon, kami justru kurang nyaman sebab kurang percaya diri. Namun, ada sebagian yang pro bahwa justru apa yang dapat kita tuangkan pun akan terdapati oleh pihak-pihak lain, yang barangkali lebih memiliki kewenangan dan kuasa membantu ideasional yang tertuang. Atau, kita barangkali diharapkan makin terbuka atas banyak hal di dunia ini. Barangkali, memang bukan kami bila memang demikian. Hal ini sebab itu justru terlalu memampangkan kepada keseluruhan publik di belantara Mastodon yang semestinya tidak semua orang perlu melihatnya/membacanya. Well, Mastodon pun dapat diset/ditata secara privat/berbatas, tetapi mereka (secara default) dimaksudkan dapat mengakomodasi setiap insan/golongan di seluruh penjuru dunia.
Sifat bebas-terbuka Mastodon agaknya memang bukan untuk semua orang/kalangan. Kami, saat ini, masih sekadar mengamankan nama pengguna di Mastodon, berpulang pada konsep nice-to-have yang acap kami dengungkan bila disentil soal pemanfaatan media sosial. Sekadar memiliki akun, tetapi belum memfaedahinya. Barangkali akan lebih memfaedahinya bila beberapa proyek open-source Linux-BSD telah jamak menggunakan hanya Mastodon sebagai platform untuk berbagi mereka. Tidak perlu disaksikan, kami bukan kreator konten, yang kiranya dapat terus-menerus menyemarakkan lini masa yang ada di Mastodon.
Dapat dikata bahwa, atau dengan kata lain, kami masih menunggu bagaimana arahan dan sikap yang dituntunkan segenap pihak yang kami ikuti di komunitas dan atas preferensi personal/privat kami hingga benar-benar Mastodon terfaedahi—insyaallah. Pos ini bukan sebagai kampanye mendukung atau menyudutkan pihak mana pun, baik Twitter, Mastodon, maupun lainnya. Kami tetap belajar di tengah, dan tetap berikhtiar objektif senetral mungkin. Namun, kami tentu masih berharap bahwa negeri ini dapat pula mandiri tanpa bergantung pada eksistensi Twitter, Mastodon, dan/atau media sosial apa pun dari luar—semoga Diizinkan-Nya.
Apakah Anda masih lebih memilih YouTube, Instagram, dan TikTok, alih-alih Twitter dan Mastodon, sebagai platform bersosialisasi? Di mana pun Anda memfaedahi media-media tersebut, semoga senantiasa Dilindungi-Nya dalam kebaikan-Nya. Terima kasih telah membaca. Wallāhu A’lam.