Latif Anshori Kurniawan

Letih Tatap Layar Ponsel?

Diterbitkan pada dalam Blog.

Alhamdulillah, kami sudah tiba pada titik letih berponsel. Tidak ingin menatap layar, tidak ingin mengetik dengan hanya dua jempol. Kami pun merefleksi bahwa waktu menatap layar (screen-time) pun tidak terlalu efektif. Bagi spesifik kami, berponsel cukup bila menjawab pesan penting dari layanan pesan instan WhatsApp (WA) dari individu. Ada beberapa aplikasi lainnya, tetapi (seperti biasa) sekadar nice-to-have.

Notifikasi WA pun terkondisikan sedemikian rupa. Untuk aplikasi lain, barangkali sepenuhnya kami matikan. Jamak grup WA telah kami sunyikan. Namun, hasrat berponsel kami sebelumnya masih meninggi. Entah khawatir belum merespons pesan seseorang, ingin mengetahui stori status kontak, atau sekadar aktivitas menghapus tiap lapis/ruas, baik pesan pribadi maupun di dalam grup, yang ada. Ya, kami tidak mengarsipkan pesan di WA.

Fitur arsip pesan WA, menurut hemat kami, kurang efektif. Lain hal dengan fitur simpan pesan Telegram, Twitter (dengan mengirimi diri sendiri), Instagram (kami masih belum aktif hingga detik ini), atau lainnya, Tidak semua hal mesti disimpan. Belum tentu juga bermaslahat bagi sesama. Toh tidak sedikit informasi yang dibagikan dalam layanan yang dianggap utama menggantikan fungsi telepon dan sms ini adalah dari media sosial lain. Potongan-potongan video, cuplikan-cuplikan citra foto/gambar yang bukan karya pribadi, tidak jarang menghiasi lini masa fitur Explore WA kita.

Pelbagai kabar dari layanan lain sudah mebanjiri, ditambah berlimpah pos ulang (re-post) atau unggah ulang (re-upload) informasi atau karya yang belum tentu kreasi pribadi. Tidak sedikit yang tidak menyertakan sumbernya dari mana/siapa. Penghargaan atas pemilik data awal pun tertindas, tiada nisbah pemberitaan dari sumber utamanya. Validasi pun terabaikan. Tidak jarang dimaksudkan untuk diviralkan, yang belum tentu viralitasnya bertahan lama, yang (terutama) belum tentu menjadi sebab bermaslahat bagi umat.

Paling tidak, kita mengurangi distraksi tsunami informasi yang tiada terkira dewasa ini. Beribu yakin, tidak sedikit di antara kita yang memfaedahi tidak sekadar WA. Seolah menjadi aplikasi wajib (must-have) sehingga merasa elok tidak tertinggal dari yang lain. Kalau sudah mengetahui informasi yang ada, lalu untuk apa? Kita pun disibukkan dengan ponsel atau gawai yang digunakan. Pemberitahuan screen-time yang sebelumnya diaktifkan pun ter-tabras (bisa jadi 11-12 ketika menekan snooze pada peranti alarm reguler).

Kita benar-benar disibukkan, nyaris jamak/mayoritas pada hal-hal bersifat duniawi saja. Kadar kecodongan kita pada dunia adalah berlebih. Non-sense bila kita masih dapat berujar bahwa kita dapat seimbang antara dunia dan akhirat. Adakah kita dapat menakar kadar keduanya? Adakah kita lebih baik dari segenap pendahulu kita? Tidak disangka, waktu telah beralih begitu cepat. Tiba-tiba sudah hari ini, seolah mendadak sudah jam sekarang. Serasa ingin memutar waktu, tetapi apa daya ia tidak dapat kembali saat di dunia ini. Lebih tepatnya, siapa kita, apakah kita berwenang soal waktu, baik sekarang maupun nanti?

Daftar tugas yang kita tunda pun makin meningkat. Belum selesai satu hal, hal lain telah menanti, atau bahkan sudah mulai terintis untuk dilaksanakan. Setiap hari adalah hari yang baru, tugas dan aktivitas lainnya pun tidak lagi sama. Semua hal tidak akan pernah sama di mata kita, lebih-lebih perihal kadarnya. Lagi: Siapa kita berwewenang menimbang kadar nilai-nilai kehidupan? Kita pun kurang dapat nyaman membersamai waktu yang Dianugerahkan-Nya, semoga bukan bagian dari kekurangsyukuran kita kepada-Nya. Astagfirullah.