Teknologi Generative-AI dalam Mesin Pencari
Diterbitkan pada dalam Blog.
Beberapa bulan terakhir, kita tersibukkan dengan kepadatan pewartaan yang menggejala luar biasa di samudra teknologi informasi. Tren-tren yang ada menjadi fenomena tersendiri. Pengembangan teknologi Blockchain, Web3, Metaverse, platform terdesentralisasi dan terfederasi terbuka, hingga pewicaraan kecerdasan buatan yang bersifat menggeneratif (‘Generative-AI’) menjadi kabar yang nyaris diberitakan setiap hari pada tahun kemarin hingga awal tahun ini.
Pewartaan ChatGPT mengantarkan kita terkerucut-tergiring pada diskusi hangat perihal generative-AI berbasis Large Language Models (LLMs). Generative-AI, pada prinsipnya, menguraikan proses penggunaan algoritma untuk mengkreasi (generate) konten baru. Ia didesain dapat mempelajari segudang berlimpah informasi set data sedemikian rupa guna dapat mengkreasi hal-hal baru berikutnya secara mandiri. Luarannya pun dapat jadi lebih inovatif, kurang tersangkakan sebelumnya. Inilah yang diinisiasi ChatGPT sehingga ia pun menjadi topik hangat obrolan bahkan hingga hari ini. Berikut artikel menarik perihal bagaimana cara kerja ChatGPT (oleh Stephen Wolfram), dan hardware ChatGPT dengan NVIDIA A100 (oleh Patrick Kennedy).
ChatGPT mengembangkan teknologi ‘lawas’, yakni chat-bot, dengan lebih baik. Dengan kata lain, pada dasarnya, ia merupakan produk teknologi berbasis chatbot yang terlatih sedemikian rupa berdasar LLMs yang menghasilkan luaran ‘bagus’ (tetapi masih jauh dari kata sempurna—tentu saja), seperti esai, artikel, puisi, syair, bahkan program komputer sederhana. Terlebih, pascainvestasi yang tidak main-main dari Microsoft pada induk ChatGPT, yakni perusahaan OpenAI, produk ’bot-obrolan’ cerdas tersebut menghebohkan blantika maya.
Omong-omong, selain ChatGPT, yang menghangatkan pula obrolan di kalangan penggemar AI adalah Claude dari startup Anthropic. Anda pun dapat mendaftar supaya dapat mengakses awal Claude melalui earlyaccess.anthropic.com. Terdapat beberapa pihak yang telah mengulas dan mengomparasikan antara ChatGPT dan Claude. Hasilnya pun cukup menarik, sekalipun poin bagus masih dipegang ChatGPT. Tentu, di luar sana, selain ChatGPT dan Claude, terdapat chatbot cerdas lainnya, yang dikembangkan sedemikian rupa dan belum terpublikasikan sama sekali—insyaallah. ChatGPT dan Claude barangkali masih bagian dari pengembangan AI untuk chatbot, tetapi bukan tidak mungkin keduanya pun dapat membantu perusahaan dalam data analitik yang lebih presisif sehingga putusan kebijakan yang diambil lebih tepat guna—mengapa tidak.
Google pun tentu tidak tinggal diam sebab, benar saja, Microsoft mengintegrasikan ChatGPT ke dalam engine utama mesin pencari Bing mereka. Tidak seheboh publikasi Microsoft perihal Bing terbaru mereka, lazimnya perusahaan teknologi pada umumnya yang terus berproses, Google masih terus mengembangkan mesin pencari berbasis AI mereka. Bukankah Google memiliki segenap insinyur yang direkrut tidak sembarangan dan memiliki beberapa laboratorium eksperimental guna mengkreasi produk inovatif tertentu?
Google termasuk tidak ‘terlambat’ menyambut kehebohan ChatGPT di dalam Bing lantaran pemberitaan Bard (produk AI Google) tidak sekeren ChatGPT. Kalau kita cermati, mereka terus memoles luaran mesin pencari mereka dari waktu ke waktu. Sejatinya, baik Google maupun Microsoft, ‘sama saja’ soal mesin pencari berbasis AI tersebut, toh ujung-ujungnya kita, sebagai pengguna biasa, yang menjadi ‘pasar’ mereka. Sebab menjadi pangsa pasar besar bagi kedua perusahaan tersebut, tentu elok kita perlu menyiapkan regulasi yang lebih rapi dan menguntungkan semua pihak—sila baca pos sebelum ini: perihal regulasi lokal untuk teknologi LLMs.
Salah satu mesin pencari pengembangan baru, yang mengusung konsep bahwa mesin pencari wajib terbebas dari iklan dan terhindarkan dari ‘intimidasi pemantauan’ bisnis pihak-pihak tertentu, adalah Neeva. Neeva tidak seperti Google atau Bing yang seolah gratis, tetapi pengguna terjejali iklan. Sebab Neeva menawarkan mesin pencari dan mereka tetap perlu menopang pengembangan yang ada, mereka menerapkan monetisasi kepada pengguna melalui metode berlangganan.
Tidak hanya bagi pengguna berlangganan, pengguna free pun dapat menggunakan NeevaAI dalam bahasa Inggris, tetapi tetap dalam keadaan log-masuk (login). NeevaAI baru tersedia secara berbatas di beberapa negara, tetapi tidak menutup kemungkinan tersedia secara mengglobal dan mendukung bahasa-bahasa di seluruh dunia, termasuk bahasa Indonesia.
Apa yang diusung Neeva, sejatinya, adalah me-reinvent cara kita meramban mesin pencari di internet. Mereka menjanjikan luaran hasil pencarian kita terbebas dari iklan pihak ketiga. Namun, untuk metode berlangganan dan pengguna perlu log-masuk terlebih dahulu, agaknya masih kurang nyaman digunakan, terutama bagi sebagian kita di Indonesia (yang telah terbiasa dengan Google salah satunya—yang sebagian kita tidak mempermasalahkan pelbagai iklan yang ditampilkan).
Toh iklan yang tampil pada Google, misalnya, barangkali tidak begitu mengganggu, ya. Kita pun dapat mengatur personalisasi (dengan menata konfigurasi pengaturan atau Settings pada akun Google kita) atau bahkan menonaktifkan fitur personalisasi sehingga iklan generik yang tertampil mendampingi hasil pencarian (bukan berdasar riwayat/histori atau kukis). Well, kita tetap dapat mengapresiasi Neeva, terutama bagi sebagian kita yang lebih mementingkan privasi dan kenyaman menelusuri pencarian tanpa terganggu iklan.
Kita saksikan saja perkembangan Neeva ke depan. Apakah ia mampu menjadi bagian atau mengambil ceruk kue yang masih didominasi Google (dan mencoba disusul Bing dengan integrasi ChatGPT). Atau, dapat pula, apakah menjadi sekadar alternatif dan perlu berkolaborasi dengan engine Duckduckgo, misalnya, sehingga privasi pengguna benar-benar menjadi concern utama. Terlepas dari kesemua platform/layanan mesin pencari yang ada, semoga terdapat mesin pencari dalam negeri yang populer berlebih alih-alih Google dkk. tersebut. Wallahualam bisawab.