Latif Anshori Kurniawan

AI nan Elok Open-Source

Diterbitkan pada dalam Blog.

Pergunjingan perihal pengembangan teknologi kecerdasan buatan (AI) belum usai. Nyaris jamak perusahaan teknologi besar mengambil peran. Tidak terkecuali Google, mereka mengembangkan Bard yang digadang-gadang “mampu mendampingi” ChatGPT dari OpenAI. Dari peneliti, warganet pada umumnya, kalangan jurnalis, hingga naravlog di pelbagai platform, telah mengulas Bard dan mengomparasikannya dengan ChatGPT. Naga-naganya, ChatGPT masih memperoleh masukan yang lebih positif, lebih-lebih media-media menghiperbolakannya. Namun, secara konseptual, Bard tidak kalah saing. Alhamdulillah, beberapa anggota dewan di pemerintahan Amerika Serikat (Amrik) juga tidak tinggal diam, singgungan ideasional regulasi juga telah berkembang, beberapa kali disampaikan di publik supaya semua aware atas kedua produk AI tersebut.

Regulasi yang masih terus digodok, Google mengumumkan, dalam perhelatan Google I/O beberapa hari lalu, bahwa mereka menggunakan pemodelan bahasa meluas (skala luas) (large language model, LLM) baru mereka, yakni PaLM 2. Dengan PaLM 2, sekitar 3,6 triliun token (karakter dari kata) dilatih sedemikian rupa. Google menandaskan bahwa PaLM 2 menggunakan teknik baru yang disebut “compute-optimal scaling”. PaLM digadang-gadang lebih berdaya (powerful) daripada LLaMA Facebook/Meta atau bahkan ChatGPT.

Salah seorang jurnalis The Verge, yakni Elizabeth Lopatto, melakukan eksperimen sederhana dengan Bard. Ia pun menguji kecerdasan Bard perihal berbahasa. Ke-“lucu”-an pun terjadi, Bard merespons beberapa kali pertanyaan Lopatto perihal berapa huruf “e” pada kata “ketchup”. Agaknya hal ini berbeda dengan candaan tidak kalah serupa di ChatGPT yang hasilnya cenderung lebih mendekati akurat. Ya, Bard merespons dengan kelucuan-kelucuan. Tidak masalah, Bard masih terus belajar.

Lopatto menandaskan bahwa Bard masih perlu belajar banyak. Hal tersebut merupakan bagian dari problematika pemodelan LLMs. Bahasa tetaplah sebuah medium yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia, dan ia tidak sama dengan pengetahuan (kognitif). Dengan kata lain, Bard masih perlu dilatih dengan pengetahuan kognitif manusia normatif. Begitu pula dengan ChatGPT dan pelbagai tool kecerdasan buatan yang menggunakan pemodelan LLMs lainnya. Pendek kata, produk AI yang diinisiasi sekarang masih jauh dari kata mengerikan.

Lopatto meyakini dan menukil teori dari Rodney Brooks (pada 1987) pada artikel “Intelligence without Representation” (PDF) yang masih relevan dengan situasi sekarang, terutama berkait dengan isu kecerdasan berbahasa buatan ala Bard dan ChatGPT. Lebih lanjut, Lopatto menekankan bahwa dalam berbahasa, apabila kita abai dengan kecerdasan pengetahuan yang kita miliki (berdasar pengalaman berkehidupan dan serbaneka konteksi warna-warni lainnya), sebagaimana dihasilkan dari LLMs, hasilnya masih jauh dari harapan. Ya, apabila saat ini kita berpendapat bahwa luaran LLMs merupakan dari olah pikir, sungguh anggapan ini lebih berbahaya. Mungkin lebih baik memang sekadar alat bantu, misalnya membuat karya seni berbasis ASCII sebagaimana uraian pada laman AI Weirdness.

Mungkin Bard-ChatGPT sekadar membantu kita memformulasikan teks iklan yang terpersonalisasi sesuai dengan kebutuhan pengguna. Barangkali, keduanya lebih cerdas dalam teks-konteks sederhana, terutama untuk entrian pada boks mesin pencari. Kalaupun diminta memformulasikan sesuatu, coba perhatikan dengan saksama: luarannya pun masih tergolong sederhana, tidak sekompleks yang diperkirakan, lebih-lebih diminta mengolah kebijakan yang sesuai untuk diri keduanya sendiri. Masih teramat sederhana, dan masih dimungkinkan untuk terus dikembangkan supaya lebih cerdas dan sesuai kebutuhan manusia pada umumnya. Jadi, sila mengobrol dengan keduanya tentang hal-hal ringan, misalnya bagaimana prakiraan cuaca sepekan ke depan dan apa saja yang perlu dibeli/disiapkan, daripada diajak mengobrol perihal sesuatu yang lebih berat semacam konsepsi berpikir filosofis secara mendalam.

Barangkali Bard masih sekadar dapat diakses melalui platform web Google. Hal ini berbeda dengan ChatGPT yang telah tersedia secara resmi di toko aplikasi App Store setelah agenda hearing (dengar-pendapat) dan testify (pernyataan kebersaksian) Sam Altman (CEO ChatGPT di kongres pemerintahan Amrik). Kehadiran ChatGPT “asli” dari OpenAI tersebut menjadi salah satu kabar gembira bagi sebagian pengguna iOS. Hal ini sebab begitu berlimpah aplikasi mengatasnamakan seolah ChatGPT, ada yang gratis, tetapi tidak sedikit yang berbayar. Dengan peluncuran ChatGPT orisinal di platform iOS, makin memudahkan segenap pemelajar kecerdasan buatan berbasis bot-obrolan (chatbot) tersebut melalui ponsel atau gawai perangkat/peranti Apple.

Walaupun Apple mengizinkan rilis aplikasi resmi ChatGPT di toko aplikasi yang superketat mereka, segenap pimpinan internal Apple dirumorkan tidak mengizinkan para insinyur Apple menggunakan layanan dari OpenAI tersebut. Hal ini tidak dapat dimungkiri sebab ChatGPT mengandalkan penghimpunan data yang kemudian dianalisis dengan metode LLMs, yang bisa jadi dapat menyentuh sekelumit informasi rahasia perusahaan yang berlokasi di Cupertino tersebut. Kekhawatiran yang teramat berdasar, mengingat pula, pun, sejatinya, ChatGPT masih dalam tahap eksperimental. Belum soal regulasi yang oleh pemerintah Amrik sendiri masih belum diketok palu.

Berdasar gelagat ChatGPT tersebut, bisa jadi, Bard pun tidak kalah dirilis di toko aplikasi populer Play Store (dan juga App Store). Google tidak menggemborkan bahwa Bard bisa jadi telah tersemat di dalam sistem pencarian Google. Microsoft, yang lebih dahulu mengimplementasikan teknologi ChatGPT di dalam pondasi dasar mesin pencari Bing bisa jadi perlu berjuang lagi sebab sebagian perusahaan teknologi yang menyematkan mesin pencari dalam teknologi mereka, salah satunya Samsung, masih mempercayakan pada Google. Valuasi Google, terutama induknya, yakni Alphabet, barangkali masih lebih tinggi daripada Microsoft untuk saat ini. Namun, kehadiran Bing berbasis ChatGPT menjadi salah satu tantangan yang tidak ringan bagi Google sehingga mau tidak mau Bard mesti terimplementasikan dengan teramat maksimal ke dalam engine/sistem pencarian berbasis kecerdasan buatan Google dalam pelbagai produk mereka ke depan.

Hal tersebut pun telah dialami oleh Neeva, salah satu teknologi mesin pencari baru yang akhirnya menyerah dengan perkembangan AI (dalam mesin pencari) yang ada. Sebagaimana diketahui, teknologi mesin pencari masih memiliki potensi yang luar biasa. Itulah mengapa tidak sedikit mesin pencari yang ditawarkan peramban web kepada pengguna. Masing-masing tool pencarian mengusung keunggulan yang sifatnya bervariatif. Ada yang mengedepankan AI, tidak sedikit yang mengedepankan privasi—yang seolah menyindir search-engine yang lebih populer. Tim Neeva memutuskan berhenti, tetapi tim engine pencarian yang lain, salah satunya adalah You.com masih terus bertahan. Dengan terbuka, You.com menandaskan bahwa mereka menyediakan akses pengguna untuk mengontrol AI dalam luaran hasil penelusuran, bukan sebaliknya. Menarik. Sebagian kita peduli privasi, sebagian kita tidak ingin dikenal, bukan?

Kita kembali ke AI. Belum selesai ingar-bingar Bard yang baru saja dilebih-hiperbolakan dalam event Google I/O, terdapat sebagian peneliti kecerdasan buatan yang bereksperimentasi dengan metode DragGAN guna memanipulasi citra objek 3-D. Selengkapnya dapat pula mencermati hasil penelitian tentang hal tersebut pada artikel berikut (PDF). Hal ini cukup terang bagi masyarakat umum seperti kita, teknologi AI untuk pengolahan citra gambar/foto, bahkan video, juga turut mendapat perhatian di samping chatbot Bard-ChatGPT. AI pun telah lama memasuki ranah-ranah rekognisi visual yang lebih rumit lagi, tentu untuk pengolahan produk citra yang telah terekam (seperti gambar/foto-video) lebih mudah lagi dilakukan. Hal ini pun dibuktikan oleh AI chatbot Bing yang dapat membuat grafis diagram (chart) sehingga memudahkan siapa pun, terutama peneliti, untuk menyajikan data secara visual yang lebih nyaman dipandang.

Salah satu yang diharapkan oleh pengguna teknologi, apa pun produk AI yang dikembangkan, adalah ketersediaannya secara terbuka (berbasis sumber-terbuka/open-source). Dengan di-open-source-kan, siapa pun dapat mempelajarinya dan barangkali dapat turut serta mengembangkannya lebih lanjut. Hal ini selaik yang dilakukan Stability AI yang mengumumkan bahwa mereka merilis proyek terbuka StableStudio (tersedia di GitHub), yakni sebuah varian sumber-terbuka dari aplikasi web AI teks-ke-citra/gambar DreamStudio. Kabar ini menjadi hal yang baik mengingat makin banyak ketersediaan teknologi kecerdasan buatan yang bersifat open-source, makin menguatkan sisi transparansi mereka, makin berlimpah orang yang dapat mempelajarinya, terutama untuk menunjang pelbagai kebutuhan yang teramat positif.

Well, kita tidak pernah tahu ke depan seperti apa. Salah satu pekerjaan rumah kita, di samping soal regulasi, adalah transparansi dari pihak pengembang kecerdasan buatan tersebut menyampaikannya kepada publik, terutama dari mana data tersebut diperoleh dan dilatih. Lebih-lebih di-open-source-kan, lebih-lebih diberlimpahkan pelatihan/kursus guna mendalaminya selaik yang dilakukan Prof. Andrew Ng pada pelbagai platform kursus pemrograman. Well, Google, OpenAI, dan beberapa pengembang AI lainnya, sudah melakukannya; diharapkan lebih banyak lagi yang terdapati di lumbung terbuka GitHub. Ketika AI bersifat open-source, semuah pihak diuntungkan. Pengembang memperoleh masukan dan terbantu atas peningkatan mutu yang diperlukan, pengguna (terutama korporasi) juga dapat menyelaraskan dengan kebutuhan privat perusahaannya, serta hingga regulator akan dengan mudah mengontrol demi kemaslahatan umat—insyaallah.

Konsepsi open-source tidak melulu soal bebas biaya, ia pun tetap dapat dibisniskan sepanjang memang memenuhi kelayakan bisnis open-source pada umumnya, yang biasanya berkait dengan pemanfaatan teknologi lebih lanjut/dalam dan dukungan teknis berlebih. Toh sebagian lisensi terbuka juga mengizinkan komersialisasi atas produk open-source yang didistribusikan. AI dapat dijadikan alat bantu yang mengakomodasi semua kalangan/profesi alias tidak menggantikan. Bisa jadi, ia juga akan mengubah gaya bagaimana orang-orang (salah satunya software developer) bekerja ke depan. Win-win solutions, jamak pihak dimungkinkan dapat terakomodasi, dan AI pun menjadi sekadar produk teknologi yang dapat membantu manusia menjadi lebih baik—insyaallah.

Peneliti perlu terus-menerus melakukan riset berlebih, hasil temuan pun dapat beraneka rupa dan terus berkembang. Sebagai contoh, pada salah satu pos blog ini sebelumnya, kita sempat pernah menyingung bahwa tidak sedikit tool yang dikreasi peneliti guna mendeteksi apakan produk tulisan/esai dibuat oleh penulis yang menggunakan ChatGPT atau selainnya. Salah satu riset terkini merespons dengan cukup apik, tim peneliti menemukan bias bila penulisnya bukan penutur asli bahasa Inggris (PDF). Temuan ini amat menarik, mengingat kecenderungan bahasa yang masih terdukung produk AI secara asali (default) adalah bahasa Inggris. Hal ini juga dapat dijadikan pertimbangan penutur native bahasa lain guna mengkreasi AI bahasa mereka sendiri. Bagaimana dengan bahasa Indonesia? Kami harap demikian, kita tidak bergantung pada Bard, ChatGPT, dan lainnya. Kita mesti mandiri—insyaallah. Mari berproses positif bersama, terima kasih telah membaca!