Latif Anshori Kurniawan

Terima Kasih, Red Hat!

Diterbitkan pada dalam Blog.

Apa, Red Hat “membatasi kode-sumber (source-code)” Red Hat Enterprise Linux (RHEL)-nya? Sebagai pengguna Linux bertahun-tahun, sebagian kita pun akan terkejut mendapati warta ini. Namun, sebentar, sebelum kita menghakimi perusahaan di balik RHEL, yakni Red Hat, alangkah elok bila kita membaca secara perlahan dan cermat tulisan Mike McGrath yang menyampaikan perihal bagaimana CentOS Stream ke depan. Pos Mike tersebut yang menjadi salah satu biang dari kehebohan di pelbagai forum sumber-terbuka (open-source).

Kalau kita kembali pada tulisan Mike melalui pos blog resmi Red Hat tersebut, ia menyebut bahwa kode-sumber CentOS-lah yang akan tersedia untuk publik. Sebagai judul posnya, penekanan Mike adalah pada CentOS Stream, bukan pada RHEL. Dengan kata lain, kode-sumber RHEL tidak tersedia untuk publik bukan berarti harga mati. Pelanggan (customer) RHEL masih dapat melihat kode-sumbernya. Namun, bagi publik, masih tersedia pilihan dengan publikasi kode-sumber CentOS. Masih fair, bukan?

Belum lama ini, sebelum pemberitaan di atas, Red Hat juga mengumumkan bahwa paket program/aplikasi LibreOffice tidak lagi dirawat oleh tim pengembang di Red Hat secara resmi. Dengan kata lain, pengguna tidak mendapati LibreOffice di RHEL lagi. Pro-kontra berseliweran. Namun, tenang, kita masih dapat memasang LibreOffice di RHEL. Pengguna dianjurkan menggunakan LibreOffice di RHEL dari Flathub (melalui Flatpak) yang langsung dikelola oleh The Document Foundation. Sebelumnya pula dikabarkan bahwa Fedora memang memfokuskan pada paket-paket Flatpak secara asali. Well, Red Hat dan Fedora memang tidak dapat dipisahkan, bukan?

Kembali ke isu RHEL, pelbagai reaksi dilontarkan warganet, terutama yang berkecimpung di dunia Linux dan open-source atas kabar limitasi kode-sumber RHEL tersebut. Salah satunya sebagaimana disampaikan Chris Titus dalam vlognya. Chris tidak sendiri, sebagian besar menyayangkan sikap Red Hat yang hanya mempublikasikan kode-sumber kepada pelanggan mereka. Tentu hal ini pun dapat berdampak meluas, salah satunya dikhawatirkan dapat mempengaruhi pengembangan proyek Linux berbasis Red Hat, selaik: AlmaLinux, Rocky, Oracle Unbreakable, dan lain-lain. Pendek kata, kode-sumber RHEL yang hanya tersedia untuk pelanggan menjadikannya tidak dapat dibagikan untuk publik (dapat dilihat, tetapi tidak diizinkan didistribusikan ulang—selaik konsepsi lisensi sumber-terbuka pada umumnya).

RHEL, pada dasarnya, masih dapat difaedahi secara free. Free yang masih memiliki keberbatasan dalam beberapa (lebih tepatnya: banyak) hal. Barangkali, kita dapat memaslahati alternatif RHEL yang bukan versi berlangganan, yakni RHEL versi no-cost untuk pengembang (developer). Syaratnya pun dapat dilalui, cukup meregistrasikan diri dengan akun developer, kita pun dapat mengunduh citra ISO RHEL yang tersedia. Untuk versi no-cost ini, tidak sepenuhnya “mudah” memang, tetapi paling tidak kita masih dapat mencicipi RHEL versi “sederhana”. Beberapa fitur tentu berbeda dengan bila Anda berlangganan (berbayar) resmi. Tidak masalah, versi no-cost dapat mengobati keinginan kita ber-RHEL.

Pascainstalasi RHEL no-cost, kita masih dapat mendaftarkan mesin hingga 16 buah. Secara berkala setiap tahunnya, kita perlu melakukan registrasi ulang. Lumayan ribet, ya? Mau bagaimana lagi, masih dapat bersyukur dapat mencicipi RHEL sedikit. Selain itu, terdapat satu lagi kekurangan RHEL no-cost, yaitu sistem tidak peroleh update (pembaruan) dan upgrade (peningkatan sistem) resmi dari Red Hat. Lagi-lagi, bagi kami (ahem), tidak masalah, masih banyak solusi atas keberbatasan tersebut.

Kita masih dapat menggunakan EPEL di RHEL no-cost sehingga dapat merasakan sensasi paket program/aplikasi populer khusus untuk sistem enterprise Linux (EL) di samping keluarga RHEL. Tidak perlu upgrade, cukup unduh lagi secara manual bila versi baru RHEL dirilis/diluncurkan. Ribet memang, tetapi kita ingin menggunakan RHEL, bukan? Kami pun menikmatinya. Hal ini sebagai upaya pembiasaan bila memang menghadapi sistem RHEL yang sesungguhnya, yang jamak digunakan di Amrik.

Kebijakan Red Hat (sebagaimana tulisan Mike) tersebut memang mengejutkan komunitas sumber-terbuka. Namun, agaknya tidak terlalu signifikan bagi sebagian pengguna Linux, terutama pengguna desktop rumahan. Hal ini sebagaimana disampaikan naravlog DistroTube (DT) yang menandaskan: “Siapa pengguna RHEL? Adakah kita semua menggunakannya?” Realitanya demikian, tidak semua pengguna desktop Linux menggunakan RHEL sehingga hal ini pun menjadi kabar yang masih “normatif”. RHEL populer di kalangan pengguna Linux enterprise, bukan pengguna biasa seperti kami. Hal berbeda tentu dirasakan oleh pengguna Linux rumahan, tetapi memang menggemari (keluarga clone) RHEL guna menopang server/peladen mereka.

Ya, dapat dikata hal tersebut cukup membuat sedih (kalau tidak boleh dikata “mengecewakan”) bagi sebagian pengguna kawakan clone RHEL (AlmaLinux, Rocky, dan kawan-kawannya). Bagaimanakah respons kita? Barangkali selaik DT, tetapi juga perlu mempertimbangkan pendapat Chris Titus serta warga komunitas Linux dan open-source pada umumnya. Atau, bebas-manasuka respons antarkita yang teramat bervariatif. Bagaimanapun pengembangan Alma-Rocky-dkk. ke depan, patut kita tunggu. Tidak masalah pula bila mereka membasiskan kode sumber pada CentOS, alias bukan lagi pada RHEL.

Kita masih optimis. Kebijakan Red Hat tersebut tidak begitu berpengaruh pada pengembangan Alma-Rocky-dkk. berikutnya. Masih banyak pengguna-penggemar fanatik Alma-Rocky yang terus menggunakan sistem yang ada, baik telah direpositorikan dengan EPEL, EL, ataupun masih normatif asalinya. Baru-baru saja, NASA mengumumkan menggunakan Rocky. Well, kabar yang menarik, kami pun masih tertarik dengan kestabilan Rocky, apalagi mendapati ulasan Chris Titus yang tidak kalah ciamik ihwalnya. Sementara itu, beberapa bulan sebelumnya, kita tahu bahwa Fermilab dan CERN menggunakan AlmaLinux. Tentu, baik Alma maupun Rocky, diharapkan masih terus bertahan.

Kita tetap berterima kasih kepada Red Hat. Terlepas dari ia kini telah di bawah IBM, tetapi ia masih mendukung pengembangan sumber-terbuka secara masif. Kerja keras Red Hat, atas Izin-Nya, menjadikan Linux terangkat ke ranah yang lebih serius, yakni enterprise. Kita realistis, idealisme kita dalam ber-Linux dan ber-open-source juga memerlukan dukungan finansial yang memadai, serta Red Hat merealisasikan dengan sangat apik dan masih dalam semangat dukungan konsisten terhadap komunitas. Terlepas dari bagaimana Red Hat memberlakukan kode-sumber mereka untuk tidak tersedia bagi publik, ataupun bagaimana mereka mengomersialisasikan produk-produk mereka, adalah sepenuhnya hak Red Hat. Red Hat pun masih terdepan dalam pengembangan open-source.

Kalau dirunut secara mendalam, apa yang dilakukan Red Hat tersebut memang membuat sedih sebagian (lebih banyak) kita. Kode-sumber yang semestinya tersedia untuk publik menjadi tertutup. Sebagian kontributor sumber-terbuka yang telah bertahun-tahun berkontribusi untuk kode-sumber RHEL barangkali perlu memperoleh haknya pula bila memang dikomersialisasikan, demikian sebagian menandaskan. Hal ini memang menjadi pro dan kontra. Namun, alih-alih kita menyibukkan diri dengan Red Hat dengan banyak kebijakan mereka yang telah dinaungi IBM, tentu kita perlu hemat energi untuk hal lain yang lebih bermanfaat. Para pengembang, terutama Rocky, amat optimis bagaimana kelanjutan Linux besutan mereka ke depan, sekalipun tanpa kode-sumber RHEL—insyaallah. Semoga, kedua belah pihak, yakni Red Hat dan komunitas open-source, masih dapat “bertemu”.

Tidaklah elok bila kita mengabaikan peran Red Hat, Canonical (induk Ubuntu), SUSE (induk openSUSE), atau beberapa perusahaan teknologi yang berfokus pada pengembangan teknologi open-source lainnya, untuk komunitas. Mereka pun teramat kuat mendukung komunitas, mereka masih berkontribusi dalam pengembangan teknologi sumber-terbuka. Tidak sedikit pengembang yang mereka rekrut resmi menjadi bagian perusahaan dan tetap mendukung pengembangan di komunitas. Mereka mengambil profit pun sah-sah saja, dan mereka masih menyematkan lisensi terbuka atas kode-sumber terbuka yang digunakan. Segmentasi pasar mereka bervariatif, tidak melulu perihal pangsa yang penuh profit, tidak sedikit sumbangsih/dukungan untuk organisasi nirlaba. Mereka menawarkan pelbagai solusi dan layanan yang luar biasa baik.

Tidak mengapa layanan mereka tersebut berbayar, toh memang servis dan produk yang diberikan berlebih. Varian versi gratis pun masih berlimpah, alternatifnya tidak sedikit. Edisi gratis-nya cukup memandirikan kita, bukan? Perangkat lunak open-source memang diidealkan dan diidamkan bebas/gratis digunakan, tetapi tidak menutup siapa pun berkesempatan untuk mengomersialisasikannya, entah berbalut support ataupun pengembangan khusus dari insinyur yang bekerja secara profesional bagi mereka. Kalaupun enggan dikomersialisasikan, sekali lagi, ranah nonprofit masih terbuka. Siapa pun boleh berdonasi guna mendukung pengembangan yang ada. Sering kali, sebagian perusahaan teknologi juga turut menjadi donatur tetap untuk level yang paling prima atas beberapa proyek open-source, salah satunya untuk Linux Foundation.

Produk-produk Free & Open-Source Software (FOSS) teramat perlu dikembangkan untuk enterprise. Hal ini sebab kalangan korporat memang teramat membutuhkannya. Terbilang teramat genting memerlukan peran serta FOSS dalam implementasi infrastruktur teknologi yang terdapat di dalam perusahaan. Server-server reliabel di seluruh penjuru dunia nyaris disokong oleh pelbagai sistem FOSS. Bukan berarti membatasi hubungan antara komunitasi (sebagai core-nya) dan kalangan industri. Komunitas dan kalangan enterprise tetap dapat berjalan bersama, berjalin kelindan bahu-membahu dalam pengembangan FOSS demi kebaikan bersama—insyaallah.

Alhamdulillah, terima kasih kita kepada Allah Yang Mengizinkan kehadiran teknologi open-source di dunia ini. Terima kasih telah membaca. Wallahu A’lam.