Latif Anshori Kurniawan

Gelombang Presensi Platform Terbuka

Diterbitkan pada dalam Blog.

Berkomputasi dengan sistem terbuka (open-source) adalah pilihan. Memilih sistem tertutup (closed-source, proprietary) seperti Windows (dari Microsoft) pun, selama legal, disilakan. Ini adalah sebuah sikap dan prinsip tersendiri, bukan untuk membenturkan antara open dan close. Pada banyak sempat, kami pun tetap masih merekomendasikan nyaris siapa pun untuk menggunakan yang kodenya (source-code) dibuka untuk publik. Apalagi kalau bukan sistem Unix BSD dan berbasis kernel (“jantung” sistem operasi) Linux? Selengkapnya perihal BSD-Linux ini, sila ramban laman “FOSS” blog ini.

Keseharian kita nyaris pada dua sistem tersebut, yakni BSD dan ber-kernel Linux. BSD melalui iOS/macOS, sedangkan distro (kernel dengan pelbagai konfigurasi/kustomisasi tambahan, termasuk aplikasi/program dukungan) Linux salah satunya diwakili oleh Android. Jamak pengguna perangkat mobile menggunakan dua sistem terbuka ini, bukan? Berkomputasi pun tidak terbatas pada komputer desktop dan laptop, berponsel atau bergawai kekinian, secara tidak langsung, dapat terkategori melakukan aktivitas berkomputasi. Bagaimana tidak, ponsel-gawai kita terhubung internet, kita banyak meramban dan mengakses pelbagai informasi yang terolah sedemikian rupa, atau bahkan mengolah informasi yang merupakan bagian dari “berkomputasi” ringan.

Antara sistem BSD dan distro Linux, tidak sedikit survei yang mengindikasikan bahwa Linux lebih jamak digunakan. Pewartaan terkini adalah pengguna gim di Linux telah melewati pengguna gim di macOS. Linux, yang sebelumnya dikenal untuk mendukung kebutuhan workstation dalam ranah enterprise, menjadi cukup “buas” beberapa bulan terakhir dalam ranah gim. Terima kasih kita kepada Valve yang merilis Steam Deck berbasis Linux Arch dengan lingkungan desktop KDE. Untuk kelas desktop, apalagi bagi pengguna harian/rumahan, barangkali memang masih belum seberdaya Windows yang memang telah lama melintang di dunia perkomputasian. Namun, tidak sedikit pengguna komputer yang telah terbiasa dengan KDE dan GNOME. Terlebih, pembaruan antarmuka makin memudahkan pengguna, bahkan memberikan beragam alternatif yang belum terdapat pada sistem tertutup. Bukan tidak mungkin jamak pengguna lebih memilih Ubuntu alih-alih Windows sebab mereka telah terbiasa dengan Android?

Bukan mustahil, makin banyak pengguna Chromebooks, terutama di kalangan pengguna bidang pendidikan, makin meningkatkan pula ketertarikan pengguna untuk mengoprek ChromeOS yang notebene berbasis Linux Gentoo (yang dikonfigurasi sedemikian rupa secara “semi-tertutup” oleh Google). Well, nonpengguna Chromebook pun masih dapat mencoba ChromeOS Flex, bukan?

Kami pun, di dunia nyata, tidak jarang menyinggung nama-nama distro Linux. Tidak jarang, sebagian rekanan/mitra dapat dengan mudah menyampaikan bahwa Ubuntu yang mereka ketahui sebagai Linux (dan tidak sedikit menganggap bahwa Linux terkira hanya sebatas Ubuntu—menarik). Tidak mengejutkan, tetapi juga tidak mengherankan. Ini merupakan salah satu pertanda baik bahwa Linux bukan masalah besar pengguna komputasi kekinian.

Paradigma kita perihal menggunakan komputer pun bergeser. Aktivitas berkomputasi ringan, semacam meramban web, cukup dapat diwakili secara mobile. Hal ini menyebabkan tidak sedikit pengguna yang tidak lagi membedakan antara perkomputasian di desktop/laptop dan berponsel/bergawai. Ujaran-ujaran semacam, “Tolong edit video ini, dong,” sudah cukup dapat dilakukan melalui ponsel. “Apa, sih, ya, esensi belajar bahasa Indonesia itu?” dapat langsung dilisankan melalui layanan pencarian populer yang ada. Pemaknaan aktivitas pencarian yang sekadar mengandalkan Google pun makin bergeser, lebih-lebih kecerdasan buatan (A.I.) ChatGPT dan kawan-kawannya makin mencuat dan dapat diakses siapa saja hingga detik ini.

Pengembangan sistem AI pun, salah satunya adalah LLaMA versi 2 dari perusahaan Meta (induk dari Facebook, WhatsApp, Instagram-Threads, Oculus, dan lain-lain) ini menarik, juga dikembangkan secara “terbuka”. Pada ranah perangkat keras (hardware) “ukuran mini”, semacam RISC-V, makin menyemarakkan pengembangan terbuka. Hal ini belum mengait bahwa nyaris jamak media sosial populer menjanjikan ketersediaan kode (source-code) perangkat/platform mereka, terutama berkait algoritma bagaimana mereka memberlakukan (“mengolah”) data pengguna.

Tidak dimungkiri bahwa jamak penyedia layanan jejaring sosial tersebut pun menggunakan pelbagai perangkat lunak open-source. Tidak jarang, para pendiri platform teknologi populer mengungkapkan bahwa mereka sekadar memanfaatkan tools terbuka yang jamak tersedia “gratis” di dunia maya, serta para engineer mereka juga acap bersentuhan dengan komunitas. Hal ini teramat menarik, siapa pun sejatinya dapat mengkreasi teknologi di balik platform media sosial. Namun, bagaimana ideasional dan dukungan banyak faktor, serta momentum yang menjawab “permasalahan” warganet, menjadi harga yang tidak murah. Dari reveal para co-founder tersebut menyiratkan bahwa “siapa pun” dapat mengkreasi platform bersosialisasi.

Seolah jamak menyiratkan bahwa kita, di mana pun kita berada, dapat secara “mandiri” berdikari dengan teknologi yang dikembangkan sendiri. Hal ini menjadi salah satu, lagi-lagi, pekerjaan rumah yang tidak mudah bagi Tanah Air kita, Indonesia. Kami bukan penggemar peristilahan made-in-Indonesia atau perusahaan yang dipuji-puji sebagai kreasi “anak bangsa”. Tidak sekadar pada peristilahan bila memang keteknologian yang dikembangkan malah sejatinya milik “investor” dari bangsa lain. Non-sense dengan peristilahan. Namun, bagaimana kita memang benar-benar tidak sekadar menjadi pasar yang berlarut-larut.

Kebergantungan kita sudah hampir “mengakar”. Hal ini perlu diwaspadai lebih ketat dan cepat lagi dengan regulasi yang memerdekakan. Selaik perang antarmedia sosial yang terjadi, bagaimana antarorganisasi perusahaan satu dapat menawarkan idealisme mereka secara mandiri. Protokol terbuka (open-protocol) menjadi salah satu penanda yang menggembirakan meskipun gayungnya masih kurang bersambut sebab memang belum terbukti lebih baik daripada “yang sudah-sudah”. Namun, minimalnya, pegiat protokol terbuka untuk bermedia sosial tersebut dapat memantik kreativitas komunitas lain yang mengembangkan keprotokolan tidak kalah serupa.

Threads, salah satu media sosial terbaru dari Meta, yang merupakan “turunan” dari pengembangan teknologi dari tim Instagram di bawah Adam Mosseri, juga menawarkan “janji manis” tersebut. Jejaring sosial yang seakan “meniru” Twitter/X ini pun memanfaatkan teknologi ActivityPub dan digadang-gadang dapat terhubung dengan belantara dunia Fediverse, yang merupakan pumpunan layanan media sosial terdesentralisasi. Hal ini tentu makin meramaikan suasana sebab telah ada basis teknologi Mastodon yang telah lebih awal muncul ke permukaan semenjak 2017. Mastodon, sebuah jejaring mengeblog mikro (micro-blogging) yang banyak diharap dapat menjadi alternatif Twitter telah menjadi primadona di dunia Fediverse.

Mastodon tidak sendiri. Beberapa komunitas lain juga memanfaatkan teknologi ActivityPub untuk mengkreasi platform yang sesuai ideasional mereka. Selain Mastodon, terdapat PixelFed (barangkali dapat disandingkan dengan Flickr atau Instagram?), PeerTube (alternatif YouTube?), Lemmy (adakah Anda sering ber-Reddit ria?), Bookwyrm (barangkali ingin menjajal hal lain di luar Goodreads?), dan banyak lainnya. Mundur lagi ke belakang, sebelum era Mastodon, terdapat Proyek Diaspora dengan semangat terdesentralisasi dalam format yang berbeda.

Luar biasa! Dari waktu ke waktu, perkembangan keduniawian yang begitu cepat berubah, diikuti perbondongan banyak pengembangan teknologi kehidupan yang terkoneksi jaringan internet ke ranah-ranah yang lebih bersahabat, salah satunya melalui open-source. Berkait sumber-terbuka, pada sisi yang tidak kalah serupa, kami tertarik pada platform dengan protokol terbuka (open-protocol platform) yang diberdayakan dengan teknologi Nostr dan AT Protocol. Alih-alih ActivityPub, kami lebih tertarik dengan Nostr. Mendapati Nostr perdana melalui pos Jack Dorsey (kopendiri Twitter) di Twitter/X dan kemudian mencobanya secara mandiri melalui aplikasi iOS Damus. Semangatisasi para peminat Nostr luar biasa, kami pun juga turut terpersuasi dengan beberapa hal di dalamnya. Salah satunya ketika mendapati perhelatan Komunitas Bitcoin Indonesia yang menghadirkan Jack secara daring diwawancara oleh Pak Gita Wirjawan.

Dikabarkan, sebelum mendukung Nostr, Jack berinvestasi pula di pengembangan teknologi AT Protokol, salah satunya untuk platform Bluesky. Lebih-lebih, tidak sedikit tokoh Amrik yang menggunakan platform yang memang diinisiasi sebagai alternatif awal ketika terjadi kegaduhan di Twitter/X. Tidak sedikit pihak menganggap Bluesky menjadi alternatif kuat untuk Twitter/X alih-alih Mastodon. Namun, barangkali sebab pengguna baru perlu memperoleh kode invitasi terlebih dahulu sebelum dapat menggunakan platform dengan logo langit biru berawan ini, tidak sedikit calon pengguna baru yang kemudian menyerah. Kami tidak turut menyerah, hingga pada akhirnya Bluesky mengundang kami dan mendapati hal-hal menarik di dalamnya.

Ber-Bluesky tidak sesering ber-Twitter/X. Sosok-sosok populer yang kami ikuti juga mengepos hal-hal yang tidak kalah di Twitter/X. Bahkan, daripada di Bluesky, Threads, Mastodon, ataupun lainnya, mereka cenderung lebih jamak di TwitterX (terutama para ulama dan asatiza). Lain hal di Nostr, beberapa pos Jack, Edward Snowden, ataupun lainnya, yang terbaru nyaris tidak ada di Twitter/X (jangan harap di Bluesky dan Mastodon, lebih-lebih Threads dari Meta yang sebelumnya santer diisukan bermasalah pada aspek privasi). Cukup menggunakan aplikasi (layanan web) Primal.net, kita pun dapat mengakses dunia Nostr. Selainnya, terdapat Damus (yang terhubung dengan Snort.social), Iris, dan banyak lainnya. Kami pribadi lebih acap di Damus.

Pengembangan Nostr teramat lekat dengan dunia Bitcoin dan kawan-kawannya. Tidak sedikit begawan Nostr menandaskan bahwa Satoshi Nakamoto menyinggung sekadar perihal Bitcoin, bukan peristilahan blockchain dan semacamnya. Sebab teknologi di balik Bitcoin memungkinkan banyak hal terekap, banyak pengguna di platform terbuka Nostr ini mewanti-wanti supaya kita lebih berhati-hati lagi dengan segala apa yang kita pos. Pos-pos yang ada cenderung tidak dapat dihapus. Ia terekam di dalam teknologi Nostr dan terus-menerus berada di sana hingga entah kapan. Kami pun cukup senang dengan keadaan ini sebab hal ini lebih memantik kita untuk lebih bertanggung jawab.

Beberapa pos yang menjadi tren di Nostr juga terbilang positif dan kokoh. Tiada pornografi, tiada unsur kekerasan, meskipun oleh admin atau moderator server dari tiap provider tidak menandaskan sebagai kebijakan yang harus ditaati pengguna (code of conduct). Terbilang cukup liberal, tetapi masing-masing sudah sadar dengan sendirinya. Seakan semua sudah otomatis saling menghargai dan menjaga diri di Nostr. Bukan maksud kami mempromosikan Nostr, tetapi demikian keadaan di platform terbuka ini. Semoga tetap baik ke depannya.

Tentu saja, Nostr dan semua platform terbuka dikembangkan secara open-source. Sebab terbuka, tidak perlu gelisah bila ada lebih banyak orang “menyerang”. Hal ini justru menjadi lahan kita untuk senantiasa belajar dari waktu ke waktu. Untuk memperbaikinya, untuk merevisinya, untuk memvalidasi diri, untuk menjadikannya “lebih baik”. Terbuka bukan berarti bebas tanpa aturan, bukan? Terbuka memang berkelindan dengan kebebasan, tetapi kebebasan yang masih dapat dipertanggungjawabkan. Alhamdulillah, masih banyak orang baik yang membantu kebaikan pula. Atas Izin-Nya, komunitas open-source senantiasa bertumbuh, beriring dengan ideasional tiap individu di dunia. Pengembangan teknologi baru cenderung “dibuka” sehingga semua kalangan dapat saling membelajarkan dan saling “nasihat-menasihati”.

Hal tersebut selaik konsepsi ilmu pengetahuan yang perlu diketahui banyak insan. Bukankah belajar itu dapat melalui medium apa saja dan dari mana saja? “Kita belajar dari orang lain, atau kita yang menjadi bahan belajar mereka.” “Learning to live together.” Belajar perlu bersama-sama, bertukar pikiran menjadi salah satu kunci pemantik pemahaman. Terlepas “berkeselarasan” atau malah gagal paham. Tidak masalah, bisa jadi dapat pahami pada waktunya, bisa jadi tidak. Semua butuh waktu, begitu pula dengan belajar dengan sesama di dunia open-source, berbagi pengetahuan untuk kemajuan bersama. Tidak kalah penting, open-source yang dikembangkan (disemarakkan) di negeri Tanah Air sendiri—insyaallah. Wallahualam bisawab.